Dialog Iblis dan Malaikat

Site Plan Kawasan Somba Opu ( http://www.skyscrapercity.com/showpost.php?p=65585635&postcount=2640)

Sejak munculnya berita tentang alih fungsi sebagian benteng Somba Opu menjadi kawasan wisata air (Waterboom), bird park dan elephant park berbagai pertanyaan muncul di kepala saya. Seperti sebuah dialog antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Saya menamainya dialog antara iblis dan malaikat. Sungguh, kejadian ini hampir sama dengan kejadian ketika Karebosi diserahkan kepada investor. Saat itu reaksi bermunculan dari mereka yang setuju dan tidak setuju, demikian juga suara-suara di kepala saya. Kali ini, perseteruan semakin kencang karena bagaimanapun benteng Somba Opu adalah aset sejarah kota Makassar. Di sana terekam jejak panjang kerajaan Gowa dalam melawan penjajah, melawan Portugis, melawan VOC bahkan melawan saudara sendiri.

Somba Opu pernah menjadi gerbang niaga yang begitu riuh oleh aktifitas perdagangan. Somba Opu yang dulu pernah diratakan oleh VOC kini akan diganggu kembali oleh para investor. Konsep awalnya mungkin tidak semua bekas benteng yang digunakan, tapi yakinlah kalau secara perlahan kawasan benteng itu akan larut dalam nadi kencang beraroma kapitalisme. Tanpa pengawasan yang ketat dari warga, sebuah rekam jejak sejarah salah satu suku bangsa di Indonesia ini akan hilang dengan sendirinya, atau setidaknya akan berubah dalam balutan yang katanya lebih modern yang mungkin akan menghilangkan esensi dasar dari jejak kebudayaan dan sejarah itu.

Berikut adalah dialog yang terjadi di kepala saya :

IBLIS : Memangnya kenapa kalau kawasan Somba Opu dijadikan tempat wisata Waterbom ? kan malah asyik, ada tempat wisata berkelas internasional. Makassar jadi kian mentereng sebagai kota metropolitan.

MALAIKAT : oh, memangnya semua kemajuan dan metropolitan itu harus ditandai dengan bangunan bertaraf internasional ? Bagaimana dengan jalan dan selokan yang hujan sebentar saja langsung tergenang ? Bagaimana dengan sistem transportasi massal yang sama sekali belum ada solusinya ? Bagaimana dengan kemacetan yang terus menggila setiap harinya ? Itu tanda kota metropolitan ? Kalau iya, maka saya lebih memilih Makassar jadi kota kecil saja. Lagipula kalau mau bangun tempat wisata kenapa harus di sekitar benteng Somba Opu ? Kenapa bukan di tempat lain ?

IBLIS : ya, soalnya benteng itu tak ada gunanya. Hanya bikin beban buat pemerintah provinsi. Sepi, tak ada pengunjung dan hanya jadi tempat mesum. Kebetulan ada yang mau menginvestasikan uangnya di sana, ya sekalian saja dipermak biar cantik.

MALAIKAT : Oke, benteng Somba Opu memang sepi dan tak terawat dan mungkin memang jadi beban bagi pemerintah. Tapi, itu salah siapa ? Kenapa tidak ada pemegang kekuasaan yang punya visi cemerlang untuk menjaga warisan budaya sekaligus mengkomersilkannya ? Dulu konsepnya sudah sempat bagus, kenapa tidak diteruskan saja ? Lagipula kalau mau cari investor, kenapa tidak cari investor yang mau merestorasi benteng Somba Opu saja ?

IBLIS : Tapi hei, yang mau dipakai kan tidak semua kawasan benteng. Masih ada bagian yang tidak disentuh sama sekali. Jadi tak usah khawatirlah, bentengmu masih ada koq.

MALAIKAT : Ya syukurlah, tapi bagaimanapun rencana itu tetap jadi pertanyaan besar. Seberapa lama benteng Somba Opu bisa bertahan dari kekuatan kapitalisme, awalnya cuma di luar wilayah dan tidak menganggu kawasan benteng dan rumah adat itu, tapi untuk berapa lama ? Apa jaminannya kalau segala macam pembangunan yang katanya demi modernisasi itu tidak menggerus kawasan benteng yang ada ? Apa jaminannya kalau waterbom itu laku kemudian benteng makin tersisihkan maka benteng itu bisa tetap dipertahankan ? Kami akan bersyukur kalau benteng itu nantinya akan direstorari juga, diubah sesuai fungsi dan tampang aslinya, itupun kalau pemerintah dan investor tidak lupa.

IBLIS : Ah, paling juga kalau waterbomnya jadi kamu akan jadi pengunjung tetapnya. Anak-anakmu juga pasti senang ada tempat seperti itu di Makassar dan ingat, Makassar juga bakal terlihat lebih maju dan modern dengan tempat-tempat seperti itu, ya kan ?

MALAIKAT : Modern..? hmmm..dari segi tampilan mungkin iya. Tapi, sebagai warga saya koq merasa banyak hal lain yang seharusnya lebih penting untuk dibenahi. Lagipula belum tentu juga saya akan enjoy mengunjungi tempat itu nantinya mengingat berapa besar jejak rekam sejarah yang sudah mulai dihilangkan di sana. Saya akan lebih senang membawa anak-anak saya berwisata ke tempat yang bersejarah, biar mereka bisa belajar banyak dari leluhur mereka, bukannya ke tempat rekreasi buatan orang barat itu.

IBLIS : Ah, kamu banyak omong. Terus sekarang kamu maunya apa ?

MALAIKAT : Saya hanya bisa ngomong karena saya tidak punya kuasa untuk mengubah atau membuat sebuah kebijakan. Saya hanya bicara berdasarkan akal sehat yang saya punya. Saya mungkin hanya warga tapi setidaknya saya punya harapan akan kota yang lebih maju tapi sekaligus lebih representatif buat warganya. Bukan hanya sekedar modern tapi tetap tidak nyaman dan malah jadi komersil, apalagi sampai mengorbankan jejak sejarah. Kota ini sudah kehilangan banyak rekam jejak sejarahnya, tak sepantasnya lagi dia kehilangan jejak sejarah yang lain. Saya hanya takut membayangkan anak-anak saya nantinya belajar budaya Sulawesi dari seberang lautan atau bahkan dari negeri Belanda sana.

IBLIS : Dasar keras kepala..!! sudah sana tidur, tak ada lagi yang bisa kau lakukan..pondasinya sudah mulai tuh..!!

MALAIKAT : .. (diam dalam sedih)

__

Dan, berakhirlah dialog di kepalaku itu. Entah siapa yang kalah dan siapa yang menang.

Nb : beberapa berita terkait “pemusnahan kedua benteng Somba Opu”

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/133313/2012_Benteng_Somba_Opu_Jadi_Waterboom

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/139489/OPINI_Pemusnahan_Kedua_Benteng_Somba_Opu

(sejarah benteng Somba Opu ) http://www.facebook.com/topic.php?topic=232&uid=149198555128595