Derita Lelaki Gondrong

Musisi Rock Berambut Gondrong

Cerita ini masih ada hubungannya dengan perjalanan ke Taka Bonerate

Salah satu peserta Trip AM ke Taka Bonerate kemarin adalah seorang kawan baik yang lebih sering menggunakan nickname Lelaki Bugis. Lelaki gempal berkacamata ini sudah lama kami kenal meski memang tidak terlalu aktif di komunitas Anging Mammiri. Sehari-harinya dia lebih sering aktif di Kampung Buku atau penerbit Ininnawa. Keikutsertaannya ke Taka Boneratepun sebenarnya tidak disengaja. Hanya karena kebetulan dia menyimak timeline twitter yang berisi kicauan kami tentang trip itu sampai akhirnya dia ikut nimbrung dan ingin ikut serta. Jadilah kemudian dia ikut dalam rombongan.

Si Lelaki Bugis ini punya ciri khas selain tubuhnya yang gempal yaitu rambut gondrongnya yang ikal dan cenderung kerinting. Dan rambut gondrongnya itulah yang membuat beberapa cerita lucu mewarnai perjalanan kami ke Taka Bonerate.

Rambut gondrong bagi lelaki biasanya diidentikkan dengan macho dan sangar. Lihat saja para musisi rock jaman dulu, bagaimana mereka memamerkan ?kelelakiannya? dengan rambut gondrong sebahu plus beberapa tatto di sekujur tubuh. Bagi orang tua, anak muda dengan rambut gondrong pasti langsung dianggap sebagai preman atau anak yang tidak benar. Ada juga yang mengidentikkan rambut gondrong sebagai ciri khas seniman.

Karena dianggap macho dan sangar itu hingga kemudian muncul banyak pantangan bagi para lelaki gondrong. Pantangan yang kadang tidak masuk akal, tapi tercipta karena anggapan macho dan sangar yang menyertai geraian rambut sebahu itu.

Contoh pantangan itu adalah : gondrong tidak boleh naik becak karena akan dianggap cengeng. Adalah lebih terhormat bila gondrong jalan kaki. Gondrong tidak boleh minum susu, karena minum susu adalah kebiasaan anak kecil dan kaum perempuan saja. Gondrong minum susu hanya akan membuat kredibiltasnya jadi turun. Gondrong tidak boleh pake payung, terlalu feminin dan kebanci-bancian. Gondrong lebih terhormat bila membiarkan tubuhnya basah kuyup terkena air hujan daripada harus menggunakan payung. Apalagi payung warna-warni atau warna pink. Habis sudah kesan sangarnya kalau sampai itu terjadi.

Banyak lagi pantangan yang kadang disematkan kepada orang-orang gondrong itu, sehingga kadang-kadang terasa kalau mereka itu bukan manusia karena sudah kehilangan banyak hak sebagai manusia biasa.

The Gondrongs

Derita sebagai orang gondrong jugalah yang membayangi si Lelaki Bugis selama kurun waktu perjalanan ke Taka Bonerate. Derita pertama adalah ketika kami bersiap melintasi lautan dengan kapal kayu dalam rentang waktu 7 jam. Sebelum naik ke kapal, Daeng Mappe ( salah seorang peserta trip ) membagikan Antimo sebagai bahan untuk penghalang mabuk laut. Semua peserta menelan pil anti mabuk itu, termasuk si Lelaki Bugis.

Ketika peserta yang lain menenggak pil kecil itu, tidak ada yang berkomentar. Tapi lain halnya ketika si Lelaki Bugis yang melakukannya. Saya secara refleks langsung bekomentar : gondrong koq minum antimo ? Dan peserta yang lain sontak tertawa geli. Begitulah, antimo dianggap sebagai salah satu barang haram untuk disentuh para lelaki gondrong karena potensial menurunkan kadar macho dan sangar mereka.

Siksaan untuk Lelaki Bugis menyangkut kredibilitasnya sebagai lelaki gondrong terus berlanjut. Setibanya di pulau Tinabo ketika kami semua mencicipi air laut yang bening itu, si Lelaki Bugis juga menceburkan diri. Parahnya, ternyata dia tidak bisa berenang dan jadilah dia menikmati laut dengan safety jacket melekat di tubuh. Awalnya dia masih sangat ketakutan. Tidak berani berenang jauh dari kayu di dermaga dan memilih berpegangan erat di kayu dermaga. ?Belakangan dia mulai berani berenang agak jauh, masih dengan life jacket di tubuh dan sekarang ditambah dengan memegang erat tambang yang terikat ke dermaga.

” Woii..gondrong koq pake pelampung ? Pake pegang-pegang tali pula..”, itu gurauan yang saya lontarkan. Semua tertawa riuh. Dan si Lelaki Bugis hanya menjawab, ” daripada saya mati tenggelam..? ”

Siksaan belum berakhir. Dalam perjalanan pulang kami menumpang kapal kecil dan mendapati malam di lautan lepas. Suasana yang temaram dan hanya dihiasi jutaan bintang di angkasa potensial membuat pikiran melayang ke sana ke mari. Orang sekarang menyebutnya galau. Dalam perjalanan, ada waktu di mana semua jadi diam dan hanya menatap bintang. Termasuk si Lelaki Bugis.

Saya kembali menyelutuk dengan isengnya, “ gondrong koq galau ? “ Ah sekali lagi si Lelaki Bugis harus menerima siksaan karena rambutnya yang gondrong itu. Sungguh kasihan.

Begitulah, kadang-kadang karena sebuah atribut yang melekat di tubuh kita sampai kita dianggap bukan manusia biasa lagi. Dianggap sudah tidak membutuhkan beberapa hal yang seharusnya juga menjadi hak dasar kita sebagai manusia. Gondrong, meski sering dianggap sebagai perlambang kemachoan dan kesangaran sesungguhnya tetaplah manusia biasa. Gondrong juga punya hak untuk memakai payung, naik becak, minum susu, pake life jacket dan menggalau.

Bagaimanapun gondrong juga manusia. Bukan begitu Lelaki Bugis ?