Beratnya Kepabeanan Di Perbatasan
Dulu saya pernah punya teman yang orang tuanya bekerja di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kala itu saya tidak terlalu paham apa fungsi dan tugas Bea dan Cukai kecuali gambaran bahwa teman saya itu hidupnya nyaman, sedikit lebih nyaman dari kami teman-temannya. Muncul selentingan kalau DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) adalah lahan basah, apalagi karena bapak teman saya itu bertugas jauh di Batam sana. Hingga kemudian saya bertemu, berkenalan dan akrab dengan seorang bapak yang juga mengabdi di DJBC. Gambaran saya tentang bea dan cukai yang nyaman dan basah seketika berubah. Bapak kenalan saya itu adalah gambaran seorang pegawai Bea dan Cukai yang sederhana, tak pernah mengumbar kemewahan dan sama sekali tidak menggambarkan gaya pegawai Bea dan Cukai yang lahannya basah.
Seketika saya meragukan gambaran saya sendiri tentang pegawai Bea dan Cukai. Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang membayangkan kalau Bea dan Cukai adalah lahan basah yang memungkinkan para pegawainya untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari proses kepabeanan, utamanya di pelabuhan besar dengan aktifitas besar.
Seorang kawan yang penah lama bekerja pada seorang importir sering bercerita bagaimana nakalnya sebagian oknum DJBC di pelabuhan Tanjung Priok. Praktek kecurangan sangat sering terjadi di sana, setiap minggu sang teman harus menyediakan puluhan juta rupiah untuk melancarkan usaha ekspor-impor sang majikan, tentu uang itu tidak masuk ke kas negara sesuai aturan tapi masuk ke kantong pribadi oknum DJBC. Tapi, semua berubah ketika beberapa tahun lalu DJBC melakukan pembenahan besar-besaran dan berusaha menekan semua praktek kecurangan itu. Semua lebih transparan dan tentu saja celah untuk berbuat curang makin sempit bahkan nyaris hilang.
Sejatinya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai punya peran besar dalam menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia. Selain menarik bea masuk dan pajak impor secara maksimal untuk kepentingan keuangan negara, DJBC juga punya tugas untuk menjaga warga negara dari masuknya barang-barang berbahaya dan sekaligus memberantas penyelundupan.
Tugas itu makin terasa berat jika kita melihat langsung betapa luasnya negeri kita dan betapa panjangnya garis perbatasan yang memisahkan negara kita dengan negara tetangga. Garis perbatasan itu adalah celah paling besar tempat masuknya barang-barang berbahaya atau barang selundupan dari luar yang masuk tanpa melalui prosedur dan pengecekan yang seharusnya.
Daerah-daerah perbatasan memang rentan dengan ragam ancaman, selain ancaman dari luar (eksternal) ada pula ancaman dari dalam negeri sendiri (internal) serta ancaman internal-eksternal yang merupakan gabungan dari ancaraman eksternal dan internal dan kadang sulit dicari asal muasalnya. Semua ancaman itu tidak bisa berdiri sendiri, saling terkait dan membentuk jejaring ancaman lainnya.
Laporan Tempo 11 Februari 2007 melaporkan banyaknya senjata gelap yang masuk ke daerah konflik di Poso. Senjata dengan beragam jenis itu masuk dari Philipina atau Malaysia, dibawa melintasi bagian utara Indonesia yang sulit untuk dijaga petugas. Barang-barang itu kemudian diserahterimakan di tengah laut Sulawesi sebelum disebar ke beberapa tempat termasuk Poso dan Maluku yang saat itu masih sedang bergolak. Segitiga perbatasan Indonesia-Malaysia-Philipina itu hanya satu celah yang dimanfaatkan para penyelundup, di segitiga lainnya: Indonesia-Malaysia-Thailand praktek yang sama juga terjadi. Barang masuk melalui Penang dan Langkawi sebelum menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Sebenarnya bukan hanya barang-barang saja yang diselundupkan melalui celah-celah itu, tapi juga manusia.
*****
Tantangan di perbatasan memang berat, ada banyak sekali faktor yang menjadi kendala bagi para petugas di sana termasuk petugas Bea dan Cukai. Budaya di perbatasan adalah budaya yang sudah ada turun temurun, warga di perbatasan Indonesia secara historis memiliki kedekatan dengan warga di perbatasan negeri seberang. Mereka datang dari akar yang sama yang kemudian terpisahkan oleh batas teritori yang datang belakangan. Mereka tidak paham tentang aturan kepabeanan karena toh dalam kepala mereka tentangga sebelah adalah saudara sendiri yang sudah sama-sama hidup berdampingan ratusan tahun. Mengubah budaya seperti ini tentu tidak mudah, karenanya diperlukan pemahaman yang besar terhadap budaya dan akar warga setempat.
Tantangan lainnya, perbatasan juga lekat dengan kata terpencil. Jauh dari mana-mana, minim fasilitas dan dengan cepat menumbuhkan rasa bosan. Bayangkan bagaimana beratnya hidup di perbatasan bagi para petugas Bea dan Cukai yang datang dari pulau besar dan ramai seperti Jawa. Mereka yang terbiasa dengan keramaian tiba-tiba dihadapkan pada daerah sepi nan terpencil, jauh dari keramaian dan jauh dari keluarga. Rasa bosan pasti dengan cepat akan langsung membuat mereka sulit untuk fokus pada tugas utama.
Hidup di perbatasan memang tidak pernah mudah, apalagi buat para petugas yang datang ke sana dengan beban dan tanggung jawab besar. Saya belum pernah melihat sendiri perjuangan para petugas itu di perbatasan, tapi sudah banyak cerita langsung dari para petugas di perbatasan yang bercerita tentang beratnya tugas mereka di sana. Sayangnya karena tugas berat itu tidak diimbangi dengan perhatian yang setara, bukan hanya perhatian tapi juga pembekalan. Banyak petugas yang datang ditempatkan di lokasi perbatasan tanpa diberi pemahaman tentang budaya dan kebiasaan warga setempat.
Memasuki sebuah wilayah baru dengan membawa asumsi sendiri dan malas mencari tahu budaya warga setempat tentu hanya menumbuhsuburkan kesalahan berkomunikasi antara petugas dan warga. Pendekatan secara personal tentu sangat dibutuhkan di sini, selain menjaga komunikasi juga sebagai cara efektif untuk mensosialisasikan program kerja hingga pada tahap akhir bisa ikut membuat masyarakat merasa memiliki dan ikut membantu tugas DJBC.
Perbatasan Indonesia yang sedemikian panjang dan luas ini tentu jadi celah besar bagi para penyelundup atau pelintas batas tanpa ijin. DJBC dan aparat lainnya tentu punya kesulitan untuk mengawasi perbatasan yang sedemikian luas dan panjang itu. Jumlah petugas sangat tidak sebanding dengan luas daerah yang harus dijaga, pun dengan alat tugas mereka. Karenanya sangat masuk akal untuk menjalin kerjasama dan pendekatan dengan warga sekitar perbatasan agar mereka juga tergerak membantu dan meringankan tugas DJBC dan tugas negara. Mereka bisa menjadi mata dan telinga yang ikut mengawasi penyelundupan yang ada di sekitar mereka.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memang belum bisa bekerja dengan sempurna, kitapun masih bisa mendengar pejabat-pejabat DJBC yang terjerat hukum karena melakukan kecurangan dan pelanggaran, tapi kita juga masih sering mendengar bagaimana DJBC menyita dan menggagalkan penyelundupan utamanya penyelundupan barang-barang berbahaya. Selalu ada harapan untuk jadi lebih baik, begitupun dengan DJBC, yang harus dicari hanya titik temu antara DJBC dengan warga. Mencari titik yang nyaman buat bekerja bersama dan saling mendukung. Harapan terbesar tentu ada pada dukungan buat keuangan negara yang datang dari bea barang impor serta berkurangnya ancaman masuknya barang-barang gelap yang berbahaya ke negeri kita. [dG]
nice gan! pertamax!