Bad Boy

Tadi pagi (rabu 27/2) saya ke kantor dengan sebuah penampilan yang tak biasa. Kemeja putih lengan panjang yang disetrika licin plus celana kain warna hitam yang juga tak kalah licinnya dan disempurnakan oleh sepatu kulit warna hitam yang mengkilap karena baru disemir. Penampilan saya ini tak urung menimbulkan pertanyaan pada beberapa orang teman yang saya temui sepanjang koridor kantor menuju ke ruangan saya. Pertanyaan paling umum adalah, “ lagi ada acara apa ?, tumben rapih..”, sebagian ada yang tak bisa menahan tawanya melihat penampilan “aneh” saya pagi itu.

Saya tidak menyalahkan mereka. Pagi itu saya memang kelihatan beda dan aneh. Biasanya saya menyambangi kantor dengan kostum yang relatif santai kalau tidak mau dibilang cuek. Kemeja lengan pendek (sebagian besar bermotif kotak-kotak) dengan jins atau celana kargo dan cukup dilengkapi dengan sandal gunung atau malah kadang sandal jepit. Yah,itulah kostum sehari-hari saya. Sangat berbeda dengan kebanyakan teman pria di kantor yang selalu rapi jali.

Penampilan saya ini kemudian melengkapi image sebagai “anak bandel” yang sudah melekat cukup lama di jidat saya. Yah, sejak beberapa tahun belakangan ini saya bermetamorfosis menjadi seorang anak bandel yang doyan melawan perintah atasan. Berbeda dengan kondisi saya sebelum masuk milenium kedua, saat itu saya adalah anak manis yang penurut dan tak banyak tingkah.

Tadi pagi, entah angin apa yang membuat saya terbangun dengan sebuah ide untuk tampil rapih. Rasanya saya sudah lupa bagaimana rasanya ke kantor dengan penampilan serapih itu. Sudah lama sekali saat terakhir kali saya menggunakan kostum yang licin dan rapih seperti ini.

Saya sendiri hampir tidak sadar sejak kapan dan alasan apa yang membuat image saya berubah. Seingat saya ini gara-gara semakin banyaknya aturan-aturan baru yang-bagi saya-kedengaran aneh bin ajaib bin konyol. Beberapa aturan baru tersebut lahir tanpa pertimbangan yang jelas, unsur keadilan kadang diabaikan, sehingga terkadang aturan-aturan tersebut terkesan artifisial dan tidak menyentuh kebutuhan dasar sebagai karyawan. Sebagian lagi terkesan menakut-nakuti karyawan. Secara tidak sadar aturan-aturan tersebut kemudian memantik api pemberontakan dalam diri saya yang sepertinya memang sudah lama tak menyala. Hingga tanpa sadar, saya sudah menjadi seorang anak bandel.

Keadaan makin diperparah dengan munculnya berbagai acara dan seremonial yang-sekali lagi bagi saya-intinya tak jauh-jauh dari licking ass dan cari muka demi keselamatan sendiri. Hal yang sangat gampang memicu rasa mual dari perut saya.

Sekedar intermezzo, saya suka heran dan tergeli-geli sendiri melihat beberapa orang teman kantor dengan gampangnya tertawa terbahak-bahak mendengar guyonan boss kami yang bagi saya sangat garing dan jauh dari kesan lucu. Kadang saya berpikir, mungkinkah selera humor saya sudah sangat jeleknya sampai-sampai sebuah guyonan yang mampu membuat orang lain tertawa terbahak-bahak ternyata sama sekali tak mengusik saya bahkan untuk sekedar tersenyum simpul. Ataukah itu memang salah satu bagian dari praktek licking ass..??.

Dan..waktu yang bergulir kemudian semakin membuat saya jadi bandel. Dan cap itu seakan-akan terbuat dari sebuah besi yang dipanaskan dan ditempelkan di jidat saya. Tak urung, mulai dari atasan langsung saya, direktur di divisi saya hingga manager HRD sepakat dan mufakat dengan satu kata; Ipul memang bandel..!!!.

Penolakan saya bukan dalam bentuk kata-kata melainkan dalam bentuk perbuatan dan disempurnakan dengan bentuk penampilan. Meski tak terlalu ekstrem hingga mencoba tampil tak sopan namun penampilan saya bisa dibilang sangat jauh bila dibandingkan beberapa orang teman yang lain. Khususnya dalam hal memilih alas kaki. Dalam beberapa bulan terakhir, baru tadi pagilah saya memilih sepatu untuk menemani saya ke kantor. Selain itu hanya ada sandal gunung atau sandal jepit yang jadi kawan akrab saya. Dasarnya saya memang tak suka bersepatu, dan itu kemudian mendukung pemberontakan saya. Well, untungnya sekarang saya sudah tak betah berambut gondrong, tidak seperti 6 tahun lalu saat saya memelihara rambut hingga sepundak.

Berbagai ancaman, gosip miring dan kecaman tak henti-hentinya saya terima. Satu-satunya suara yang sempat membuat sedikit melemah adalah suara lembut dari atasan saya, seorang wanita yang saya hormati. Tapi cuma sebentar, karena selanjutnya saya kembali asyik memberontak dengan cara saya sendiri. Entah sampai kapan…