Aroma Idul Fitri
Sehari sebelum Idul Fitri, saat mampir di sebuah toko bahan bangunan, tak sengaja hidungku mencium aroma ketupat yang sedang dimasak. Kontan sel-sel otakku saling bekerja sama memutar kembali kenangan-kenangan Idul Fitri bertahun-tahun silam. Kenangan saat merayakan Idul Fitri di sebuah tempat yang sering kuanggap sebagai “kampung halaman”.
Tempat itu sebenarnya tidak pas disebut kampung karena jaraknya yang hanya belasan kilometer dari ibukota propinsi. Meski begitu, belasan tahun yang lalu ada saja alasan yang membuatnya terasa berbeda dengan suasana Idul Fitri di pusat kota.
Sehari menjelang hari kemenangan itu tiba, para wanita telah sibuk menyalakan api untuk memasak ketupat, buras (sejenis lontong) atau berbagai varian lainnya. Hampir di setiap rumah, halaman pasti diisi dengan pemandangan yang sama. Sebuah panci aluminium berbentuk tabung yang sebagian besar telah berwarna hitam karena arang di atas tungku berbahan bakar kayu. Aroma daun pandan atau daun pisang pembungkus makanan itu akan merebak dan memenuhi indera penciuman kita, nyaris dari ujung ke ujung kampung.
Saat apinya telah besar, ibu-ibu akan menyerahkan tugas menjaga masakan itu kepada suami atau anak-anak yang sudah cukup besar. Selanjutnya ibu-ibu akan berada di dapur bersama anak-anak perempuannya. Membersihkan dan selanjutnya mengolah daging ayam atau daging sapi. Beberapa di antaranya masih sibuk mempersiapkan kue kering yang akan menjadi penghias meja tamu hampir sepanjang bulan Syawal.
Di halaman, sambil menunggui ketupat yang dimasak ibu, anak-anak akan bermain dengan riangnya, seolah tak sabar menunggu saat buka puasa tiba. Sebagian sudah siap dengan obor untuk persiapan takbir keliling kampung. Di beberapa sudut kampung, beberapa anak-anak juga sudah bersiap dengan bambu besar serta beberapa genggam karbit. Meriam bambu, sebuah ritual pelengkap nan penting dalam menyambut hari lebaran.
Saat malam tiba, para lelaki tak peduli dewasa, tua, muda dan anak-anak akan mulai berkumpul di satu titik. Dengan obor di tangan dan beberapa bedug mereka siap bertakbir keliling kampung. Kentongan bambu dan barang-barang lainnya yang bisa mengeluarkan bunyi akan melengkapi acara takbir keliling. Tak peduli suara yang sumbang atau harmonisasi irama yang kacau, semangat bertakbir akan mengalahkan itu semua. Yang paling semangat tentulah anak-anak kecil, malam takbiran selalu menjadi malam yang menyenangkan. Tak ketinggalan suara letusan dari meriam bambu yang saling bersahutan dan bersaing-saingan. Semua akan tergelar hingga malam mencapai puncaknya.
Pagi hari saat matahari masih dipeluk sang malam, sayup-sayup suara takbir dan tahmid akan terdengar dari tanah lapang. Orang tua dengan sedikit bersusah payah akan membangunkan anak-anak mereka. Sang anak yang tidur terlambat karena takbir keliling malam tadi akan bangun dengan malas. Namun, mata mereka akan langsung bersinar cerah kala bayangan akan baju baru melintas di benak. Ini adalah momen yang paling dinantikan untuk memamerkan baju baru hadiah orang tua.
Di tanah lapang, para jamaah dengan khusyuk menjalankan sholat Ied. Saat khatib mulai berceramah, anak-anak yang sudah tak sabar akan mulai berlarian keluar dari shaf dan bermain dengan sesamanya. Tangis anak-anak kecil akan turut meramaikan suasana sholat di tanah lapang itu, entah karena alasan apa tapi pasti akan ada saja anak-anak yang menangis.
Selepas sholat Ied, salam-salaman adalah pemandangan yang jamak. Wajah-wajah ceria dengan senyum lebar selalu terpampang. Tak ada yang tak bahagia di hari itu. Sahut-sahutan suara orang yang menyapa dalam bahasa daerah memenuhi udara pagi. Semua terasa akrab dan hangat.
Perjalanan pulang dari tanah lapang ke rumah bukanlah perjalanan yang singkat, tak seperti saat berangkat tadi. Di setiap rumah yang dilaui, sang pemilik rumah akan berdiri di teras, menyapa dan kemudian sedikit memaksa untuk meminta kerabat atau kenalan yang melintas untuk mampir mencicipi hidangan yang sudah susah payah dipersiapkan.
Anak-anak akan tertawa riang karena punya kesempatan mengisi kantong-kantong mereka dengan kacang, sebuah kemewahan yang nyaris hanya bisa dinikmati sekali setahun. Kebahagiaan akan semakin lengkap kala sang pemilik rumah menyelipkan lembaran uang yang masih kaku dan berbau tajam.
Di sudut kampung yang lain, puluhan warga bergegas naik ke atas bak terbuka sebuah truk. Berhimpit-himpitan di dalam bak, rela berpanas-panas demi tujuan bersilaturahmi dengan gratis ke tempat kerabat yang jauh. Tak ada rasa malu atau gengsi. Semua berlandaskan niat untuk menyambung silaturahmi, bertemu kerabat dan saling bermaaf-maafan.
Aroma Idul Fitri yang sangat khas. Aroma yang tulus, jernih dan sekaligus hangat. Rasanya sudah lama sekali aku tak menikmati aroma itu, dan rasanya aku sungguh merindukannya. Aroma yang bagi sebagian orang akan selalu membuatnya rindu untuk pulang ke kampung halaman, bertemu keluarga dan menghirup aroma khas sebuah hari kemenangan…ah, indahnya…
Selamat Idul Fitri…
minal aidin daeng, justru last posting lebaran ta’ yg lebih layak untuk layak tuk dikirim di panyingkul.. sya ini apalah, sy link ki pade url ta di blog ku nah… wassalam