Aku Menemukan Duniaku (?)

vedder_nulis.jpg

“Kamu betul-betul menemukan duniamu, Pul..”

Ini komentar singkat seorang kawan dalam sebuah percakapan antar kami via YM. Kawan ini-seorang wanita-yang sudah saya kenal sejak masih berseragam putih merah sekitar 20an tahun yang lalu. Pernyataan yang dia keluarkan di atas merujuk pada semangat saya yang besar untuk menulis, entah di blog pribadi maupun di Panyingkul.com. Teman ini-menurut dia-melihat bahwa saya seakan-akan seperti seorang anak kecil yang menemukan mainan baru. Penuh semangat. Saya ingat kalau teman saya ini juga pernah menyematkan gelar fanatik pada saya. Menurut dia, saya adalah seorang yang sangat mudah fanatik pada sesuatu yang saya suka. Mungkin ada benarnya.

Kembali ke soal menulis. Yup, musti saya akui bahwa nyaris setahun terakhir ini semenjak mengenal blog dan Panyingkul.com, energi terbesar dalam hidup saya nyaris sepenuhnya saya curahkan untuk menulis. Semangat tinggi, atensi besar dan fokus utama selalu saya berikan setiap kali saya berada depan monitor komputer dan mulai memencet deretan-deretan kibor untuk menorehkan kalimat-kalimat yang selanjutnya akan menghiasi blog pribadi atau panyingkul.com.

Menulis sebenarnya bukan barang baru buat saya. Sejak masih belia saya sudah seringkali mencoba membuat cerita-cerita pendek yang sayangnya tak ada satupun yang saya selesaikan. Menulis adalah sebuah paket yang menyertai kegemaran saya membaca. Dari bacaan-bacaan semasa kecil saya (termasuk Bobo, Ananda, dll.) saya selalu terinspirasi untuk membuat cerita-cerita sendiri. Saya seorang penghayal, berbagai macam hayalan selalu saja mengisi kepala saya dan menemani hari-hari saya. Hanya saja saya tak punya yang namanya konsistensi, dan tak juga punya seorang tutor atau minimal orang yang memberi saya semangat untuk menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Hingga akhirnya tulisan-tulisan saya terbengkalai tanpa pernah ada yang mencapai klimaks.

Saat tumbuh remaja, saya tak juga berhenti mencoba tanpa pernah berhasil menyelesaikannya. Belakangan saya mulai rajin menulis di diari. Sebuah buku besar bersampul kulit warna hitam menjadi teman curhat saya. Meski tak tiap hari, tapi saya mencoba untuk selalu mengisi buku diari itu dengan berbagai tulisan-tulisan tentang kejadian-kejadian bersejarah atau kejadian-kejadian yang pantas untuk saya kenang. Terkadang pula hanya berisi gerutuan, umpatan, makian atau sekedar ekspresi gembira, jatuh cinta atau patah hati. Saya tak pernah terlalu nyaman untuk curhat pada orang lain, jadi buku harian kemudian menjadi sahabat saya.

Belakangan ketika mulai bersentuhan dengan dunia kerja, kebiasaan menulis mulai saya tinggalkan. Nyaris tak ada waktu luang lagi. Sebagian besar waktu saya tercurah untuk belajar dan mengenali dunia baru yang sama sekali asing buat saya. Saya hanya sempat sesekali menulis saat jatuh cinta pada beberapa orang gadis. Hanya itu, tak ada perkembangan berarti.

Segalanya berubah saat tahun 2007 lalu, sekitar bulan April saya berkenalan secara virtual dengan seorang Jammers (sebutan buat para penggemar Pearl Jam) asal Surabaya, Hilman Taofani. Blog milik Hilman sangat mempesona saya. Gelitikannya mampu membuat sebuah bara yang sebenarnya hampir padam yang ada dalam diri saya mendadak menyala-nyala. Sebuah ruang ekspresi yang tak bersekat dan saya pun tak tahan godaannya.

Mulailah saya ikut-ikutan arus nge-blog. Awalnya tulisan saya-harus saya akui-sangat garing. Tak berstruktur dan sama sekali tak menarik. Perlahan-lahan, saya mencoba belajar untuk memperbaikinya. Learning by doing, mungkin itu kata tepatnya. Pada fase ini, Hilman banyak memberi saya bantuan, tentu saja tanpa dia sadari.

Titik balik paling terasa dalam dunia menulis saya adalah saat “dipaksa” mengirimkan tulisan ke Panyingkul.com oleh daeng Rusle. Seorang sobat blogger yang sekarang berdiam di Balikpapan yang sudah terlebih dahulu bergabung dengan Panyingkul.com. Paksaan yang awalnya tidak saya tanggapi serius. Rasa rendah diri dan tidak PD terlebih dahulu menyergap saya.

Waktu itu saya baru sesekali mengunjungi Panyingkul.com dan selalu beranggapan kalau tulisan-tulisan yang dimuat di sana adalah hasil karya para profesional yang sudah expert dalam hal tulis menulis. Tentu sangat jauh bila dibandingkan dengan saya yang baru mulai menjejakkan langkah dengan tertatih-tatih.

Namun, dorongan teman-teman di komunitas blogger Makassar-utamanya daeng Rusle dan pak Amril-membuat saya akhirnya menebalkan muka dan mengirim dua tulisan sekaligus. Pengalaman saat berurusan dengan pekerja PLN Gowa dan pengalaman mengenang bioskop-bioskop tua di Makassar.

Saat tulisan tentang bioskop itu tayang, rasanya senang bukan kepala. Kepala saya pasti membesar beberapa senti. Rasanya mungkin sama dengan rasa yang ada di dada para penyanyi kala pertama kali mendengar albumnya diputar di toko kaset. Senang, bangga, dan mungkin sedikit sombong.

Tulisan saya yang dimuat pertama kali itu kemudian saya jadikan pemicu untuk tulisan-tulisan berikutnya. Saya tak mau berpuas diri, saya harus belajar lebih giat dan tak boleh berhenti sampai di sini, apalagi untuk bersombong-sombong ria. Beruntung saya bertemu dengan orang-orang hebat yang rendah hati yang mau mengajarkan banyak hal pada saya, hingga kemudian-menurut saya-sedikit demi sedikit saya bisa memperbaiki mutu tulisan saya. Tentu masih sangat jauh dari sempurna, tapi setidak-tidaknya saya selalu mencoba untuk menjadi lebih baik.

Saya merasa sudah menemukan passion-nya. Passion yang ditambah dengan konsistensi, sensitifitas dan sedikit nekad,mungkin itu senjata saya dalam menulis. Teman saya mungkin benar, saya serasa menemukan sebuah bentuk dunia baru di mana saya kemudian merasa sangat kecil dan akhirnya tertantang untuk terus belajar.

Saya bisa bilang kalau bergabung dengan Panyingkul adalah sebuah anugerah yang besar. Bertemu dengan orang-orang hebat yang selalu siap membagi ilmu, bergaul dengan orang-orang yang siap menjadi tutor dan tak lupa untuk terus saling menyemangati. Apa yang lebih sempurna dari hal seperti itu ?.

Satu lagi, buat saya pribadi Panyingkul.com adalah tempat saya menebus dosa. Kenapa menebus dosa ?, karena saya menganggap bila saya hanya menggunakan blog sebagai media untuk memajang tulisan-tulisan yang bersifat pribadi, narsis, dan nyaris tak punya nilai lebih buat orang lain maka itu adalah sebuah kerugian. Panyingkul kemudian menantang saya untuk membuat sebuah tulisan yang berkualitas dan-Insya Allah-punya makna buat orang lain. Bukankah ini menyenangkan ?. Saat sedang semangat-semangatnya menulis, saya punya dua media yang bisa memuat semua kebutuhan saya. Kebutuhan akan ruang untuk berbicara dengan diri saya pribadi dan satu lagi sebuah ruang tempat saya bisa berguna untuk orang lain. Seimbang kan ?.

Terakhir, saya hanya berharap dunia saya ini bisa saya genggam selama mungkin. Bisa saya nikmati selama mungkin. Bahkan, saya dan istri sudah punya cita-cita jika suatu saat nanti kami akan menikmati hari tua di sebuah desa di Bantul-Jogjakarta, dan hidup dari menulis. Ah…cita-cita yang sederhana bukan ?, tapi setidak-tidaknya kami yakin cita-cita itu akan membuat kami bahagia..

Jadi, mari menulis….