Rusuh yang Bikin Risih

Rusuh di Makassar. Foto by: Detik.com

Selasa 19 oktober yang lalu, tiba-tiba timeline twitterku dipenuhi beberapa kicauan tentang kerusuhan mahasiswa di Makassar. Saya justru baru tahu kalau ada kerusuhan dari kicauan di timeline itu. Setelah mengecek ke sana ke mari barulah saya tahu kalau memang di saat yang sama sebuah kerusuhan sebagai buntut dari sebuah demonstrasi di sebuah kampus universitas negeri di Makassar sedang berlangsung.

Kicauan soal kerusuhan makin menarik ketika seorang teman twitter melakukan live tweet karena kebetulan sedang berada di lokasi kejadian. Kicauannya ditimpali dengan kata-kata penuh kekesalan dan makian pada para perusuh yang sepertinya sama sekali sudah tidak kelihatan intelek seperti layaknya seorang mahasiswa.

Berikutnya isi kicauan teman-teman maupun dari portal berita itu mulai bikin risih. Teman-teman dari luar Makassar mulai melempar makian juga, utamanya mereka yang bukan berasal dari Makassar. Belakangan makiannya mulai agak lebih menusuk dan ini yang bikin saya makin risih. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya, setiap kali kota Makassar dilanda kerusuhan mahasiswa, makian atau sekedar pertanyaan sinis selalu muncul di dunia maya.

Pada saat yang hampir bersamaan muncul diskusi ringan di milis Blogger Makassar plus sebuah percakapan di YM! bersama seorang kawan. Isinya sama, tentang kerusuhan di Makassar yang lebih bayak disebabkan oleh para mahasiswa. Dari situ kami berusaha meraba-raba tanpa data yang akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa sih setiap kali ada demonstrasi mahasiswa hampir selalu berujung pada kerusuhan ? Apa yang salah ?

Dari diskusi kecil-kecilan muncul berbagai analisa sebab-akibat yang tidak seluruhnya bisa dipertanggungjawabkan mengingat tidak adanya data yang akurat, semua hanya berdasarkan prasangka dan pengalaman selama ini. Beberapa dari kami sepakat kalau ada peran media dalam menciptakan image buruk dan kasar dari kota Makassar. Salah satunya adalah karena media kami anggap terlalu over expose dalam memberitakan setiap kegiatan kerusuhan khususnya oleh mahasiswa di Makassar. Media, khususnya media nasional sepertinya kurang memberikan porsi kepada setiap kegiatan positif dari para mahasiswa kota Makassar. Padahal bagi kami yang berdomisili di Makassar, demo mahasiswa itu hanya sebagian kecil dari riak kehidupan keseharian kami. Lebih banyak ragam kejadian lainnya yang lebih damai, aman dan tenteram tapi berkat ekspos dari media itu citra kota Makassar kemudian terbentuk sebagai kota yang penuh dengan kekerasan.

Tanpa bermaksud membela diri (padahal iyya) kekerasan di Indonesia bukan hanya milik satu kota saja , apalagi satu suku saja. Perhatikanlah siaran berita di televisi kita, demo berujung rusuh, tawuran antar supporter bola atau tawuran antar geng dan pelajar terjadi di mana-mana, bukan hanya di Makassar. Bahkan, hei lihatlah di mana para koruptor itu banyak bersarang. Bukankah korupsi juga adalah kejahatan yang luar biasa besar efeknya bagi negeri kita ?

Tapi, kami juga tidak lantas menutup mata dan kemudian membenarkan tingkah sebagian kecil mahasiswa yang membuat rusuh itu. Ini adalah realita, ini terjadi di lapangan dan meski kita tidak suka tapi mau tidak mau perusuh itu akan selalu ada di sekitar kita dan ujung-ujungnya akan merusak citra mahasiswa dalam skala kecil dan kota asal dalam skala yang lebih besar.

Lantas kenapa (sebagian kecil) mahasiswa itu jadi merusuh seperti itu ? Pertanyaan yang bagus. Sayangnya sampai sekarang saya belum menemukan sebuah hasil penelitian yang valid tentang latar belakangnya. Sebagian besar hanya asumsi dari mantan pelaku atau orang-orang yang dekat dengan dunia mahasiswa. Mereka bilang kalau tindakan itu muncul karena beragam penyebab. Pergaulan, stress, waktu yang terlalu lowong, kurang kerjaan atau hanya keinginan untuk eksis ? Entahlah.

Tapi harus saya akui kalau sedikit banyaknya hal ini berkaitan ?dengan kurangnya dukungan dari pemerintah kota untuk kegiatan-kegiatan positif mahasiswa dan generasi muda pada umumnya. Kami yang aktif di komunitas blogger sudah berkali-kali merasakan pahitnya berada di jalur birokrasi hanya untuk meminta dukungan dari pemerintah kota. Sebuah komunitas yang lain ternyata mendapatkan pengalaman yang lebih buruk. Mereka adalah anak-anak muda yang berinisiatif melakukan sesuatu untuk membantu anak-anak yang kurang mampu agar bisa ikut belajar seperti layaknya teman-teman sebayanya. Dalam perjalanannya mereka mencoba mencari dukungan dari pemerintah kota utamanya dari segi dana. Tapi jawaban apa yang mereka terima ?

” Nggak usah musingin hal beginian dek, mending kuliah dulu aja yang benar..”

Lihatlah reaksi mereka. Saat para mahasiswa mengamuk dan membuat rusuh mereka marah dan memaki, saat para mahasiswa mencoba melakukan sesuatu yang positif mereka hanya bisa memberi ceramah. Jadi, mahasiswa musti bikin apa dong ? Percuma kan kalau energi muda yang meluap-luap itu hanya dibiarkan hilang begitu saja ? bersyukurlah pak masih ada anak-anak muda yang rela menyisihkan sedikit waktunya untuk melakukan kegiatan positif.

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau inilah realita. Masih banyak tetua di negeri ini yang lebih fasih menyalahkan dan menuding tanpa tahu bagaimana menyediakan jalur yang positif untuk para tenaga muda nan potensial itu. Tak heran kalau banyak yang akhirnya merasa terabaikan dan merasa butuh melakukan sesuatu untuk menarik perhatian sekaligus meluapkan kelebihan energi mereka. Meskipun ternyata itu adalah jalan yang salah.

Ah..akhirnya mereka bikin rusuh, rusuh yang bikin kita risih.