Salam Manis Dari Kaneke, Cumi dan Minas

TPI Lappa di sore hari

Sudah lama saya mendengar nama Kabupaten Sinjai, tapi baru kali ini saya berkesempatan mengunjunginya. Terima kasih untuk panitia FesTIK Sinjai yang mengundang saya ke sana.

Tubuh saya terguncang-guncang di atas mobil Avanza hitam yang kami tumpangi siang itu. Sudah 1 jam kami meninggalkan Makassar, sekarang kami sudah berada di sektiar kaki gunung Bawakaraeng, tepatnya di daerah Bili-Bili menuju ke Sinjai. Kebetulan saya dapat undangan dari panitia FesTIK Sinjai untuk mengisi acara, jadilah saya bersama Rara dari Mozilla dan Yossy dari Desa Membangun menuju Sinjai siang itu.

Sinjai sebenarnya tidak terlalu jauh dari Makassar. Jaraknya hanya sekisar 120 km ke sebelah timur. Bila menarik garis lurus maka Makassar dan Sinjai akan berada dalam satu garis yang sama. Sayangnya akses ke Sinjai memang tidak mudah, setidaknya ada 3 opsi. Opsi pertama yang kami tempuh hari itu adalah melalui punggung gunung Bawakaraeng, dari Makassar ke Bili-Bili, naik ke Malino, Kanreapia dan masuk lewat Sinjai Barat. Namanya naik gunung, jalannya pasti berliku dan lumayan membuat mual, kalau tidak tahan isi perut bisa keluar. Beberapa akses jalan selepas Malino dan Kanreapia makin menyempit akibat longsor. Lumayan memperlambat waktu tempuh.

Opsi kedua adalah lewat Camba, Maros. Dari Makassar kita menuju ke utara sedikit dan berbelok ke timur. Opsi ini juga melewati punggung bukit dengan jalan berliku meski tikungannya tidak separah opsi pertama. Sayangnya opsi kedua ini harus dilengkapi dengan kondisi jalan yang sangat buruk sejauh puluhan kilometer. Bisa membuat perut terguncang dan mengundang rasa mual.

Opsi ketiga lewat jalur selatan. Opsi ini paling aman tapi paling tidak bersahabat dari segi waktu dan jarak tempuh. Jaraknya bisa bertambah sampai dua kali lipat lebih jauh meski jarak tempuhnya hanya berselisih sekisar satu-dua jam dari dua opsi sebelumnya. Kenapa jarak tempuhnya tidak terlalu lama? Alasannya karena sepanjang jalan semua mulus dan tanpa lika-liku.

Banyak Jalan Menuju Sinjai
Banyak Jalan Menuju Sinjai

Kami meninggalkan Makassar sekira jam 2 siang dan tiba di Sinjai 4 jam kemudian. Meski berliku dan mengocok perut, pemandangan sepanjang jalan lumayan menghibur. Deretan bukit hijau yang berpadu dengan sawah yang bertingkat-tingkat memanjakan mata. Efektif untuk mengurangi rasa mual akibat jalanan yang berliku-liku.

Pelelangan Ikan dan Ikannya Yang Segar

Tiba di Sinjai kami dijemput Ira, pantia yang juga karib kami di Anging Mammiri. Hanya sempat menaruh tas di Hotel Sinjai dan mencuci muka sekadarnya sebelum kami digiring ke TPI Lappa. TPI adalah singkatan dari Tempat Pelelangan Ikan, letaknya tidak terlalu jauh dari pusat kota tempat kami menginap. Sinjai ini memang unik, gabungan dari dataran tinggi, dataran rendah dan kepulauan. Di punggungnya ada bukit-bukit dan gunung yang menjulang sementara di depannya ada hamparan laut yang menghadap ke Sulawesi Tenggara.

Dan tibalah kami di TPI Lappa. Jarum jam belum menunjukkan pukul 20:00 malam, tapi tempat pelelangan ikan itu sudah ramai. Ada deretan kapal-kapal nelayan berukuran sedang berjejer di pelabuhan, terombang-ambing dengan malas. Para awak kapal sibuk membersihkan kapal, sebagian dari mereka masih menurunkan muatan. Di pelataran TPI ribuan ekor ikan dijejer rapi seperti anak SD yang sedang berbaris di upacara bendera. Ada kaneke, sunu, tuna, ikan ekor kuning dan entah ikan apalagi. Ribuan lainnya ditumpuk dalam keranjang-keranjang rotan.

Tatapan matanya tajam! Ikan yang berbaris rapi di TPI Lappa
Awak kapal di TPI Lappa

Suasana sibuk terlihat jelas di TPI itu. Sebagian nelayan adalah nelayan lokal dari Sinjai, sisanya datang dari berbagai daerah termasuk dari pulau lain seperti Nusa Tenggara. Para pembeli juga bukan hanya datang dari kabupaten Sinjai, tapi dari kabupaten lain di sekitarnya. Beberapa di antaranya bahkan katanya diekspor hingga ke Makassar.

TPI Lappa bukan tujuan akhir kami malam itu, melainkan hanya tempat persinggahan. Tepatnya tempat membeli ikan untuk kami santap. Ira yang mengurus semuanya, sampai kemudian dia datang dengan dua kantong kresek besar berisi ikan dan cumi. Hanya Rp. 150 ribu untuk 15 ekor ikan sebesar telapak tangan dan 4 ekor cumi besar. Murah!

Tujuan utama kami malam itu adalah sebuah warung makan di samping TPI Lappa. Warung makan itu memang menyediakan jasa pembakaran ikan sekaligus menyediakan nasi, minuman dan tentu saja sambal. Jadilah ikan-ikan yang dibeli dari TPI itu tertidur manis di atas pemanggang beberapa menit kemudian.

Ini dia menu makan malam kami
Ini dia menu makan malam kami
Ikan yang jadi korban kami

Malam itu kami menghabiskan waktu dengan menyantap ikan dan cumi segar itu. Agak unik karena untuk pertama kalinya saya mencicipi ikan bakar bersama dengan nasi kuning. Malam itu makin unik karena kami juga ditemani minas, minuman khas Sinjai. Minas ini adalah fermentasi dari tape singkong. Warnanya kuning, persis seperti singkong. Rasanya agak-agak asam campuran manis, enak di lidah. Konon minuman ini bisa menambah energi, makanya sering juga disebut Irex mengacu pada salah satu merk minuman energi.

Butuh kekuatan dan kapasitas perut yang besar untuk menghabiskan ikan-ikan dan cumi segar itu. Belakangan saya malah menikmatinya tanpa nasi, hanya ikan dan cumi bersama sambal. Rasanya memang segar, beda dengan ikan yang dibeli di supermarket padahal ikan dan cumi itu disajikan dengan cara dan bumbu yang sederhana. Hanya dibakar sampai matang dan diberi sedikit bumbu dari cabe. Sesederhana itu, tapi rasanya tidak sederhana.

Sekira dua jam kami menghabiskan waktu di warung makan itu sampai benar-benar tidak berdaya lagi untuk menghabiskan ikan dan cumi yang tersisa. Pengalaman pertama di Sinjai ternyata sangat memikat saya, ikan segar dan cumi segar seperti berlomba memberi penyambutan yang hangat. Untuk kalian yang belum sempat ke Sinjai, dapat salam dari ikan kaneke, cumi dan tentu saja minuman unik bernama minas.

Ke Sinjai yuk! [dG]