Turis Berkoper dan Turis Beransel
Wisatawan berkoper mengejek para wisatawan beransel sebagai wisatawan kere yang menyiksa diri, sementara wisatawan beransel mengejek wisatawan berkoper sebagai wisatawan manja. Teredeng!
“Ih, ngapain susah-susah wisata pake ransel, tinggal di hostel kayak orang susah. Males! Tidak ada enaknya.” Kata seorang ibu yang juga doyan jalan jauh sampai ke luar negeri. Saya paham maksudnya, dan paham kenapa dia bisa berkata begitu. Si ibu berposisi sebagai manager di salah satu perusahaan besar, hidupnya tentu nyaman. Mungkin malah sedari kecil dia hidup nyaman dan tak pernah merasa susah.
“Buat saya perjalanan terbaik adalah perjalanan yang bisa dinikmati apa adanya. Memanggul ransel di pundak, tidur di tempat sederhana, berjalan kaki, bergaul dengan warga lokal dan menyesap budaya setempat.” Kata seorang wisatawan lain yang juga doyan bepergian. Saya tidak tahu latar belakangnya, juga tak hendak mencari tahu apakah dia lahir dari keluarga berada dan nyaman atau tidak.
Ketika berwisata makin jamak, ragam penikmatnyapun makin banyak. Dulu sebelum wisata jadi semarak seperti sekarang, kita (atau mungkin hanya saya) membayangkan wisata itu adalah pergi jauh, menenteng koper atau travel bag, menginap di hotel berpendingin ruangan dan berpemanas air, menumpang bis wisata dan mendatangi tempat-tempat eksotis dengan fasilitas yang nyaman.
Sampai kemudian saya tahu kalau berwisata ternyata tidak selamanya semahal dan senyaman itu. Ada cara backpacker atau light traveling atau apapun namanya, yang jelas lebih sederhana meski lebih repot dari wisata yang dulu saya tahu. Mengatur jadwal sendiri, memanggul ransel, tidur di hotel sederhana dan bahkan kadang tidur di stasiun atau terminal jika terpaksa dan tentu saja menumpang kendaraan umum atau malah jalan kaki.
Mereka yang punya uang lebih tentu tak pernah menemui masalah ketika harus memuaskan hasrat jalan-jalan mereka. Tinggal pilih tujuan, menghubungi travel agent, packing dan berangkat! Itulah kenapa mereka tak pernah memasukkan opsi wisata bakcpacker dalam hidup mereka. Kenapa harus repot kalau uang bisa memudahkan semuanya?
Sementara itu mereka yang punya hasrat jalan-jalan yang lebih besar dari jumlah uang di tabungan tentu memilih cara lain. Merepotkan diri mengatur semuanya sendirian sambil mencari opsi termurah hanya demi bisa memuaskan hasrat jalan-jalan dan mendatangi tempat baru. Susah? Repot? Mungkin saja, tapi toh mereka senang ketika berhasil menyelesaikan jalan-jalan dengan biaya seminim mungkin sambil membawa pulang cerita yang tidak bisa diceritakan para turis yang berwisata dengan kenyamanan mereka.
Mereka yang berwisata dengan koper tentu bangga bisa berwisata jauh dengan fasilitas terbaik. Sementara itu mereka yang berwisata dengan ransel bangga bisa berwisata jauh dengan biaya minim. Malah dalam komunitas backpacker ada pameo, semakin menderita seorang backpacker maka semakin kerenlah dia. Pameo yang bagi wisatawan berkoper tentu aneh dan menggelikan.
Bukan sekali dua kali saya mendengar sendiri sindiran atau cemoohan antar mereka. Wisatawan berkoper akan memandang sinis pada wisatawan beransel yang tampak kumal dan kucel itu. Sementara wisatawan beransel akan mendelik sinis pada wisatawan berkoper yang menurut mereka manja. Lucu ya? Tapi itu benar-benar ada loh.
Saya tiba-tiba ingat kata Agustinus Wibowo, seorang backpacker yang sudah jauh menembus jantung Asia Tengah. Kata Agus, “Tidak penting kita backpacker atau turis berkoper, toh semua sama saja. Masuk ke negara orang dengan visa turis. Memangnya ada visa backpacker?” Bener juga, memangnya ada visa backpacker? Tidak ada kan? Entah kalau misalnya nanti ada.
Kata Agus lagi. “Yang penting buat saya adalah bagaimana kita bisa mencari arti dalam setiap perjalanan.” Iya, mencari arti dalam setiap perjalanan, ini yang susah. Kadang kita hanya menikmati perjalanan tanpa mencari arti dari perjalanan itu sesungguhnya. Ini juga yang menyebabkan ada turis yang seenaknya saja merusak tempat wisata yang dia datangi, karena dia tidak sadar arti dari perjalanan yang dia lalui itu.
Jadi saya sepakat sama Agustinus, tak penting label turis atau backpacker atau label lain. Terpenting adalah bagaimana perjalanan bisa memberi sesuatu kepada kita, bukan hanya cerita kalau kita sudah pernah ke sana atau ke sini. Percuma banyak jalan (entah dengan fasilitas atau dengan cara backpacker-an) kalau toh kita masih susah menerima perbedaan, susah berkompromi dan selalu mau menang sendiri. Karena hakikat perjalanan adalah mengenal dan menerima perbedaan-perbedaan di dunia ini. Eh, itu salah satunya menurut saya.
Kalau menurut Anda? [dG]
saya mungkin level yang lebih disinisin ama keduanya: turis abidin, atas biaya dinas. koper atau ransel tak masalah yang penting jalan-jalan. sebisa mungkin menekan pengeluaran tanpa mengorbankan kenyamanan dan keamanan. la vita e bella.
hahaha turis abidin!
aku juga mau kakakkhhh