Madura 4: Topeng Madura dan Metallica
Tulisan ini adalah tulisan keempat tentang perjalanan Cultural Trip ke Madura bersama Potret Mahakarya tanggal 13-15 Desember yang lalu. Pertunjukan tari topeng Madura membuat saya kagum, bukan pada tariannya tapi pada tata panggungnya.
Seorang kawan dengan mata berbinar bercerita bagaimana hebohnya konser Metallica di Jakarta beberapa waktu silam. Mulai dari tata panggung, tata cahaya hingga tata suara. Semuanya sempurna kata kawan saya. Di linikala twitter, kawan yang lain memuji konser Metallica di Jakarta sebagai The best concert I’ve ever seen! Saya yang tak sempat jadi saksi hidup hanya bisa menerka seberapa megah konser yang mereka ceritakan.
Jumat 13 Desember giliran saya yang menikmati sebuah pertunjukan yang luar biasa. Pertunjukan yang saya tonton tentu kalah jauh kalau dibandingkan dengan pertunjukan Metallica, tapi dalam sudut pandang tertentu saya punya alasan untuk mengaguminya.
Adalah pertunjukan tari topeng Madura yang membuat saya terkagum-kagum. Malam selepas menikmati hidangan kuah kokot saya dan rombongan Potret Mahakarya lainnya bergerak ke arah utara kota Sumenep, tepatnya ke desa Slopeng yang berjarak sekisar 20 km. Untuk menuju desa itu kami harus mengganti kendaraan dari bis besar ke mobil wagon. Jalanan yang sempit dan licin tentu tidak memungkinkan bis besar untuk masuk.
Arena pertunjukan tari topeng Madura berada di tengah sawah yang disulap seolah-olah seperti sebuah stadion dengan panggung pertunjukan sebagai pusatnya. Turun dari mobil kami masih harus menjejakkan kaki di tanah yang basah selepas hujan beberapa menit sebelumnya. Tidak ada penerangan malam itu, bulanpun seperti enggan bersinar. Hanya cahaya lampu dari panggung yang membantu kami meniti pematang sawah sambil berharap tidak jatuh terjerembab ke tanah basah. Di depan panggung puluhan warga sudah duduk tenang di atas terpal plastik yang terhampar.
Acara malam itu menampilkan sanggar Rukun Perawas yang konon sudah berdiri selama 300 tahun lebih, tepatnya sejak tanggal 9 September 1659. Mereka tampil dalam acara ritual tahunan yang digelar sebagai ungkapan syukur warga desa atas hasil panen yang melimpah. Menurut rundown, acara akan dimulai pukul 22:00 hingga pukul 04:00 dini hari. Saya langsung berdecak membayangkan ketabahan pemain dan penonton yang akan bertahan selama kurang lebih 6 jam di tengah malam yang dingin selepas hujan.
Tata Panggungnya Menakjubkan!
Bukan tari topengnya yang membuat saya terpesona, tapi tata panggung dan segala pernak-perniknya. Di hamparan sawah itu berdiri sebuah panggung sederhana dengan lebar sekisar 20 meter dan tinggi 150 cm dari tanah. Panggung ini membentang ke belakang sekisar 10 meter dengan atap yang tinggi menjulang. Di depan panggung belasan pemain gamelan dan alat musik tradisional duduk bersila menghadap ke panggung. Mereka duduk ditutupi atap terpal biru yang berdiri ditopang beberapa batang bambu.
Panggung utama topeng Madura terdiri dari beberapa set yang terbuat dari tripleks yang sudah dipercantik dengan beragam gambar. Set paling belakang adalah latar gerbang kerajaan yang mengingatkan saya pada gambaran kerajaan-kerajaan Jawa jaman dulu. Di antara set-set itu ada terpal-terpal plastik yang digantung dengan bambu di ujungnya. Terpal itu berfungsi sebagai tirai yang akan digulung ke bawah atau ke atas menurut kebutuhan. Saat acara belum dimulai tirai itu akan menutupi set panggung, begitu acara dimulai set itu akan ditarik ke atas dan akan diturunkan lagi ketika tarian selesai. Ada dua orang pria yang bertugas menarik tirai, keduanya berdiri di sisi yang berlawanan.
Tata cahayanya sederhana. Ada belasan atau mungkin malah puluhan lampu neon sumpit dipasang di berbagai sisi, ada yang dipasang di atas panggung, ada yang di samping panggung dan ada juga yang di depan panggung. Ada juga beberapa lampu yang mirip lampu diskotik, berkedip-kedip ketika dinyalakan. Di belakang panggung seorang operator sigap bersila di depan belasan saklar lampu. Dia yang bertanggung jawab pada semua lampu yang ada di panggung, sepanjang pertunjukan dia berkonsentrasi penuh pada alunan musik yang digunakannya sebagai aba-aba untuk mematikan atau menyalakan berbagai jenis lampu.
Tokoh utama pertunjukan tari topeng Madura selain para penari adalah sang sinden. Seorang bapak sekisar 40an tahun berjaket hitam dan bercelana kain berdiri di barisan paling belakang panggung. Di tangannya tergenggam sebuah microphone. Dari mulutnya meluncur tembang-tembang Madura yang dibawakan dengan bahasa yang sangat halus sampai salah seorang rombongan kami yang orang Madurapun mengaku tidak mengerti artinya. Tapi tugas sang bapak bukan hanya menyanyikan tembang Madura. Dia juga berfungsi sebagai master of ceremony atau MC yang memandu acara.
Ketika baru tiba pandangan saya tertumbuk pada sebuah projector yang berdiri sekisar 20an meter di depan panggung. Saya belum tahu apa gunanya sampai kemudian melihat sendiri kalau projector itu ternyata jadi penunjang megahnya pertunjukan malam itu. Projector yang dihubungkan ke sebuah netbook itu digunakan sebagai alat untuk mempromosikan sanggar Rukun Perawas di pembukaan acara. Ketika tarian mulai digelar tugas projector tidak lantas berhenti, sepanjang acara dia akan terus memancarkan simulasi dari perangkat lunak komputer yang menghasilkan bayangan yang ditembakkan ke panggung serupa permainan laser di konser-konser besar. Ketika bayangan dari projector tidak diperlukan maka sang operator akan menutup moncong projector dengan karton bekas pembungkus rokok. Luar biasa!
Pertunjukan Dimulai!!
Tepat pukul 22:00 lampu utama dimatikan. Suasana yang tadinya redup mendadak gelap gulita, tanda acara akan segera dimulai. Dari belakang panggung pak sinden yang merangkap sebagai MC mulai mengundang warga dan penonton untuk lebih merapat. Tak berapa lama beberapa lampu menyala, panggung masih tertutup tirai biru dari terpal. Selang beberapa detik kemudian projector yang berada di depan panggung menjalankan tugasnya. Bergantian presentasi dari PowerPoint terbentang di tirai, isinya ucapan selamat datang dan perkenalan dari Sanggar Rukun Perawas. Sang sinden dengan suara yang keras dan intonasi yang dibuat-buat mengikuti tayangan dari PowerPoint itu, para pemain gamelanpun mengambil bagian. Mereka memainkan gamelan dengan nada yang menghentak. Dengan cepat suasana yang tadinya tenang berubah hingar bingar.
Dan kemudian: DHUARRR!!!!!
Suara petasan menggelegar bertepatan dengan lampu panggung yang kerlap-kerlip dan tayangan PowerPoint yang bergerak dinamis serta gamelan yang menghentak-hentak. Saya tersentak kaget, begitupun beberapa orang lain yang duduk di dekat saya. Sial! Mereka benar-benar tahu bagaimana menjaring emosi penonton.
Meski sederhana tapi terlihat jelas bagaimana mereka berhasil menyatukan semua unsur dalam pertunjukan. Suara, lampu dan visual benar-benar sinkron. Sang sinden merangkap MC tahu kapan meninggikan suara, kapan harus memberatkan suara, kapan harus memanjangkan satu kalimat dan lain-lainnya. Semua disesuaikan dengan bayangan yang keluar dari projector. Sementara itu lelaki yang bertanggung jawab pada tata cahaya juga tahu benar lampu yang mana yang harus dihidupkan sesuai urutannya. Saya rasa patokan mereka semua adalah musik menghentak dari gamelan.
Sinkronisasi yang pas dan nyaris sempurna tentu tidak lahir begitu saja. Saya yakin mereka butuh waktu lama untuk berdiskusi, berbagi ide dan saling menyumbang pikiran sebelum bisa menghasilkan perencanaan tata panggung seperti itu. Dari perencanaan yang sudah dibuat mereka pasti melewati latihan panjang untuk mendapatkan sinkronisasi yang pas.
Mereka mungkin seperti saya, belum pernah menonton langsung konser Metallica yang katanya konser terbesar dan terbaik di Indonesia selama ini, tapi buat saya mereka sudah selevel dengan Metallica. Dari tengah sawah yang jauh dari jalan besar mereka menampilkan sebuah pertunjukan topeng Madura yang luar biasa, gabungan antara tradisi yang bertahan selama ratusan tahun dengan teknologi yang makin modern. Ah, Madura memang luar biasa! [dG]
DUARnya itu lho…
Ayo ke Madura, eksplorasi kepulauannya. 😀