Tertatih Membangun Wisata Halal
Wisata halal, sebuah kata yang belakangan ini sedang digarap serius oleh Kementerian Pariwisata Indonesia.
Pariwisata sudah berkembang jadi salah satu industri dengan perputaran uang yang luar biasa, setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir. Demam berwisata sudah menjangkiti banyak orang, bukan lagi hanya milik mereka yang berdeposito dan punya aset banyak. Anak-anak muda tanpa kerja yang jelas pun bisa berwisata kapan saja mereka mau, bahkan bisa dengan bangga berteriak; My trip, my adventure!
Nah, perkembangan industri yang semakin pesat itu lalu memunculkan beragam genre, gebrakan, teori atau apapun namanya. Salah satunya adalah jenis wisata halal atau halal tourism. Orang Timur Tengah lebih suka menyebutnya family friendly tourism, kegiatan wisata yang ramah pada keluarga.
Wisata halal ini muncul dari kesadaran beberapa pemangku kebijakan di negara-negara yang punya potensi wisata besar yang melihat bahwa pasar wisata kaum muslim di dunia sangat besar. Jumlah pemeluk Islam di dunia diperkirakan berjumlah 1.8 milyar orang, anggaplah duapuluh persen dari mereka punya niat berwisata, bayangkan berapa besar pendapatan yang bisa diraup dari sektor wisata?
Para muslim yang berwisata diperkirakan tidak bisa lepas dari kepercayaan mereka. Mereka butuh kepastian makanan yang halal (jauh dari daging yang haram dan alkohol serta diolah sesuai syariat), bisa menemukan tempat beribadah yang nyaman, tahu waktu sholat dan arah kiblat serta bisa menikmati tempat wisata tanpa takut terjerumus ke dalam kemudharatan.
Negara-negara yang dianggap sebagai target besar dari wisata halal ini di antaranya adalah; Saudi Arabia yang setiap tahun warganya menghabiskan dana sekira $17,8 miliar untuk berwisata, Iran ($14,3 miliar), Uni Emirat Arab ($11,2 miliar), Malaysia ($5.7 miliar), Singapura ($2.3 miliar) dan bahkan negara seperti Rusia dan Jerman juga menyumbang angka yang tidak sedikit dari wisata yang dilakukan oleh warga negara muslim mereka. Rusia diperkirakan menghabiskan dana $5.4 miliar dan Jerman $3.6 miliar.
Angka itu tentu saja menggiurkan bagi banyak negara yang punya potensi wisata. Beberapa negara bahkan sejak beberapa tahun ini serius mengembangkan wisata halal atau halal tourism. Singapura berada di peringkat pertama tahun 2015 dengan nilai index 68,4 dalam hal meraih wisatawan muslim lewat program wisata halal mereka. Disusul kemudian oleh Thailand dengan nilai index 59,5 dan Inggris dengan nilai 59,0.
Di antara negara-negara anggota IOC (negara Islam), Malaysia berada di peringkat pertama dengan nilai index 81,9, disusul Uni Emirat Arab (74,7), Turki (73,9) dan Indonesia di urutan keempat dengan nilai index 70,6.
(data dari presentasi PT. Sofyan Hotels,Tbk – 31 Mei 2016)
Nilai-nilai tersebut diambil dari beberapa koefisien, di antaranya: destinasi yang ramah pada muslim, keamanan para wisatawan, garansi halal dan sertifikasi halal dari berbagai restoran dan tempat makan, akses ke tempat ibadah, fasilitas bandara dan berbagai koefisien lainnya.
Tantangan Indonesia.
Indonesia memang dianggap selalu kalah langkah, bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Termasuk dalam bidang pariwisata. Indonesia baru serius menggarap bidang wisata halal ini sejak tahun 2012, dimulai dengan diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Di nomenklatur awal, wisata ini masih diberi nama Wisata Syariah. Sebuah nama yang mengundang kontroversi. Buat pemeluk Islam garis keras, Wisata Syariah diminta agar tidak setengah-setengah, kalau memang mau sesuai syariah maka tidak boleh ada kompromi. Sementara itu bagi non muslim, nama ini dikuatirkan akan mematikan industri pariwisata yang dikenal dekat dengan hedonisme dan kemeriahan moderen.
Akhirnya tahun 2015 nama Wisata Syariah diubah menjadi Wisata Halal, plus ditambah penjelasan kalau nama ini hanya perpanjangan layanan (extend service) dari wisata konvensional. Tidak ada maksud untuk mengislamisasi sektor pariwisata, yang ada hanya memberi tambahan layanan dan kemudahan bagi para wisatawan muslim, utamanya yang datang dari negara-negara Timur Tengah.
Karakter muslim tiap wilayah memang beda-beda. Muslim Timur Tengah mungkin lebih sulit menerima perbedaan apalagi menyangkut agama, berbeda dengan muslim dari Asia Tenggara atau Eropa yang lebih terbiasa dengan perbedaan agama dan adat istiadat yang beragam. Meski begitu, muslim Timur Tengah dengan uang yang kadang tidak berseri tentu saja masih jadi incaran utama para pelaku industri wisata halal.
Muslim Timur Tengah juga dianggap tidak terlalu tertarik pada beragam atraksi budaya, mereka lebih senang melihat keindahan alam terutama pegunungan yang hijau. Pun, mereka sangat bergantung pada beragam layanan luks yang serba mewah.
Indonesia masih tergagap di sektor wisata halal ini. Belum adanya kesatuan visi dan misi antara kementerian pariwisata, dinas pariwisata di provinsi, dinas pariwisata di daerah dan pelaku wisata dari pihak swasta menjadikan Indonesia tertatih-tatih mengejar ketertinggalan dari Malaysia. Hal paling sederhana seperti sertifikasi halal bagi rumah makan saja masih jadi ganjalan. Belum banyak rumah makan atau restoran lokal yang mau mengurus sertifikasi halal.
Bagi pengusaha makanan lokal, sertifikasi halal tidak dibutuhkan. Toh, selama bertahun-tahun mereka yang mayoritas muslim sudah menyediakan makanan bagi para pelanggan yang juga mayoritas muslim dan tidak ada masalah. Tapi, bagi wisatawan asing itu bisa jadi masalah. Konon serombongan wisatawan asal Malaysia sampai membatalkan rencana makan mereka di suatu tempat karena pemilik restoran tidak bisa menunjukkan sertifikasi halal mereka, padahal jelas-jelas sang pemilik dan semua pegawainya adalah muslim.
Untuk hotel sendiri, pihak Kementerian Pariwisata memberi dua kategori; Hilal 1 dan Hilal 2. Hilal 1 berarti memberi opsi, ada minuman halal dan ada minuman non halal (atau beralkohol), sementara Hilal 2 berarti semua minuman dijamin halal dan tidak ada tempat buat minuman yang tidak halal.
Cerita Sukses Lombok.
Lombok bisa dibilang salah satu contoh sukses penerapan wisata halal. Pulau di samping Bali ini memulai dengan mencari sebuah perbedaan atau diferensiasi dengan Bali yang sudah terlanjur terkenal sebagai tujuan utama pariwisata di Indonesia. Mereka kemudian memilih wisata halal sebagai pembeda.
Sebuah tim yang dibentuk kemudian membahas secara detail tentang langkah-langkah apa yang akan mereka lakukan untuk mewujudkan pulau Lombok sebagai tujuan wisata halal. 100 rumah makan diberi sertifikasi halal, hotel-hotel dan tempat wisata diwajibkan menyediakan tempat sholat yang nyaman, penunjuk arah kiblat serta berbagai langkah lainnya.
Tahun 2015 Lombok akhirnya memetik buah manisnya. Dalam ajang International Halal Tourism, Lombok menerima dua penghargaan sekaligus; World’s Best Halal Honeymoon Destination dan World’s Best Halal Destination. Dua-duanya mengalahkan Malaysia yang selama bertahun-tahun seperti menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan.
Kemenangan itu juga memberi dampak manis buat pariwisata Lombok. Dalam dua bulan, jumlah wisatawan yang datang ke Lombok meningkat 40% lebih, sebagian besar adalah wisatawan muslim dari Timur Tengah dan negara-negara lainnya. Dalam waktu dekat Fly Emirates konon akan membuka jalur langsung dari Uni Emirat Arab ke Lombok.
Keberhasilan Lombok kemudian coba untuk diduplikasi ke beberapa daerah lainnya yang juga jadi sasaran pengembangan wisata halal. Tahun 2014-2019 Kementerian Pariwisata Indonesia memilih 10 daerah sebagai destinasi wisata halal di Indonesia. Daerah tersebut adalah: Aceh, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kep. Riau dan Riau, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Sumbangan devisa dari pariwisata yang di tahun 2015 mencapai 10% dari total devisa negara atau lebih dari Rp900 miliar tentu saja sangat menggiurkan, tidak heran kalau pemerintah Indonesia berusaha sekuat tenaga untuk mengejar negara tetangga Malaysia yang sudah lebih maju di sektor ini. Tinggal menunggu bagaimana geliat dinas pariwisata di daerah yang buat saya kadang masih tergagap-gagap mengikuti perkembangan teknologi dan informasi di masa sekarang. [dG]
Tulisan ini disarikan dari acara Sosialisasi Strategi Kerjasama Percepatan Wisata Halal, Kementerian Pariwisata yang dilangsungkan di Hotel Aerotel Smile, Makassar tanggal 31 Mei 2016.
Wisata halal kalau di Indonesia terutama di daerah yang mayoritas beragama Islam sih agak2 aneh. Mungkin karena ada UU produk halal ya
Kebetulan sy hadir waktu acara dengar pendapat penyusunan ranperda wisata halal NTB. (Dpt undangan, sdh seperti orang penting).
Jujur saja, tdk ada yg spesial di draft rancangannya. Semua yg syari’ah2 cuma anjuran di draft tersebut. Anjuran utk penggunaan logo halal, anjuran pemisahah urinoir (bukan toilet) pria dan wanita, penyediaan al-Qur’an dan alat shalat di musholla2. Tanpa ranperda itu, sebenarnya semua anjuran itu sdh dijalankan oleh pengusaha wisata.
Ketika diberi masukan oleh peserta yg hadir, tim penyusunnya bilang “kita tdk mungkin menghilangkan pola pariwisata yg sdh ada sebelumnya”.
Salut untuk Lombok.
Sementara daerah lainnya? Ah, sudah puluhan tahun kita masih berkutat pada “potensi”.
Lombok keren ternyata, dari alamnya hingga asetnya. luas biasa ya Kak. Kapan nih tempatku seperti Lombok 🙂 🙂
bisnis berlabel halal memang sudah mulai menjamah dunia pariwisata, terbukti pariwisata di Lombok sudah bisa mewujudkan itu… marvelous…
pingin bisnis di sektor pariwisata dan menjadi pengusaha pariwisata,,,, kuliah di Akpar Buana wisata aj… salam pengusaha pariwisata.
Wisata halal.. sangat setuju sekali!
supaya kita jgn sampai salah menunjungi tempat2 wisata yg dilarang.