Terpikat Kain Indonesia
Menyenangkan melihat beragam motif kain Indonesia.
Waktu itu tahun 2012. Makassar jadi tuan rumah perhelatan Kopdar Blogger Nusantara dan kebetulan saya yang ditunjuk menjadi ketua panitia. Kami membuka pintu seluas-luasnya untuk ratusan tamu, puluhan di antaranya adalah tamu dari luar pulau Sulawesi. Salah duanya adalah Tuteh dan Fauwzya dari Nusa Tenggara Timur. Mereka berdua sudah jadi teman sejak lama, tapi khusus untuk Fauwzya itu kali pertama kami bertemu, sementara Tuteh sebelumnya sudah pernah bertemu dengan saya.
Satu hal yang paling berkesan dari seorang Tuteh yang tak pernah bisa diam lama, dia datang membawa buah tangan khusus buat saya. Selembar selendang dari Nusa Tenggara Timur! Dia melipat selendang itu dengan rapi, lalu mengangsurkannya dengan kedua tangan.
“Ini kebiasaan kami di Ende.” Katanya.
Selendang itu saya terima dengan senang hati. Sebuah selendang dengan warna dominan putih dan hitam, motifnya khas NTT meski saya tidak paham betul makna di balik motif itu. Itulah selendang etnik pertama yang saya punya. Sampai sekarang selendang itu masih ada, kerap saya pakai di waktu-waktu tertentu.
Setahun berselang, sebuah selendang lain saya terima dari pendamping yang menemani kami menelusuri pulau Madura selama empat hari. Selendang berwarna biru tua bermotif batik khas Madura. Motifnya dibuat dengan tangan, bukan pabrikan. Sampai sekarangpun selendang itu masih saya simpan dengan baik.
Dua kejadian itu adalah penanda jatuh cintanya saya pada beragam kain Indonesia. Belakangan saya jadi makin suka mengumpulkan berjenis-jenis kain dengan motif khas daerah di Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur.
*****
Ketika di Papua saya membeli sebuah kain lebar seukuran taplak meja. Di atas kain itu ada motif honai (rumah adat Papua) dan beberapa gambar lain yang benar-benar sangat berciri Papua. Meski aslinya taplak meja, tapi sayang rasanya kalau kain sebagus itu hanya berhenti sebagai pelapis meja. Setelah lama tersimpan, sekarang kain itu jadi penghias ruangan. Saya pajang di dinding.
Setelahnya beberapa kain khas daerah timur Indonesia terus berdatangan dan menjadi bagian koleksi saya. Semua pemberian orang, ada yang dari pulau Flores, ada yang dari Timor, dari Lombok dan dari Toraja. Sebagian besar memang buatan pabrik, bukan buatan tangan. Tak masalah, yang penting motifnya.
Entah kenapa makin lama saya makin suka melihat beragam motif kain dari berbagai daerah itu meski saya sama sekali tidak tahu apa makna di baliknya. Tiap daerah punya motif dan warna khas sendiri. Kalau jeli kita bisa tahu asal sebuah kain hanya dari motif atau paduan warnanya. Tapi saya belum sampai ke level itu.
Ketika akhirnya bisa mengunjungi Sumba beberapa waktu yang lalu, saya mampir ke pasar inpres kota Waingapu. Tujuan utama saya tentu saja mencari kain khas Sumba yang ternyata banyak dijajakan di pasar inpres kota Waingapu. Di mulut pasar beberapa pria duduk berbaris di tepi jalan masuk, bersandar pada dinding. Di hadapan mereka tumpukan kain beragam warna warna motif disusun rapi sementara di dinding beberapa kain digantungkan. Semua tampak menarik buat saya.
“Ini empat ratus, pak.” Kata salah seorang pria penjual kain sambil membentangkan sebuah kain berukuran sekira 120cm x 200cm.
Saya baru saja menanyakan harga selembar kain berwarna dominan merah dengan motif khas Sumba. Kain itu masih tergolong murah karena meski dibuat dengan tangan menggunakan teknik tenun ikat, benangnya masih menggunakan benang pabrik dan bukan benang buatan sendiri.
Beberapa perajin kain tenun di Sumba memang masih menggunakan benang yang diambil langsung dari alam dengan menggunakan tumbuhan. Pun mereka menggunakan bahan alami sebagai bahan pewarna. Kain yang dibuat dengan teknik ini harganya sangat mahal, selembar kain ukuran 120cm x 200cm bisa dihargai Rp3juta sampai Rp5juta tergantung kerumitan motifnya.
Dari seorang pedagang juga saya tahu apa saja fungsi-fungsi kain itu. Ada yang dipakai untuk upacara adat, ada yang khusus dipakai oleh juru bicara adat dan ada juga yang dipakai sehari-hari. Rata-rata motif kain Sumba memang cerah, paduan warna merah, oranye, kuning dan hijau. Selain kain dari pulau Sumba, di pasar itu ada juga kain dari pulau Sabu. Warnanya berbeda, lebih banyak warna hitam yang dipadukan dengan warna putih, kuning atau merah sebagai pemanis.
Karena belum berstatus miliarder maka saya cukup membeli beberapa kain kecil berbentuk selendang yang dibuat dari benang pabrikan. Harganya masih sesuai dengan kantong saya meski kain itu adalah yang termahal yang pernah saya beli.
Saya pulang dari Sumba dengan membawa beberapa helai kain khas Sumba. Ada yang titipan, ada yang memang saya niatkan untuk oleh-oleh dan tentu saja untuk saya sendiri. Rasanya ingin membeli kain sebanyak mungkin. Motif dan tekstur kainnya benar-benar menggoda.
Berawal dari pemberian Tuteh, sekarang saya benar-benar sudah jatuh cinta dengan beragam kain khas Indonesia, khususnya Indonesia timur. Rasanya menyenangkan melihat ragam motif kain itu, mengingatkan betapa kayanya Indonesia. [dG]
kain aceh daeng?? 😀
Mauuu, tapi belum sempat ke Aceh *hiks