Meniti Kaki Kerinci; Sungai Penuh, Vespa dan Milanisti
Bagian kedua dari perjalanan melintasi Kerinci.
RUMAH MAKAN ITU SEPERTI LAZIMNYA rumah makan Padang di mana saja di Indonesia. Bagian depannya adalah etalase tempat memajang beragam jenis makanan khas makanan Padang. Rendang, sayur daun ubi, ikan, telur, ayam dan sejenisnya. Silakan membayangkan etalase makanan rumah makan Padang. Anda pasti terbiasa membayangkannya. Bagian belakangnya deretan meja dan kursi, sebagaimana layaknya rumah makan.
Tapi ada sesuatu yang berbeda di dinding rumah makan itu. Di salah satu dindingnya ada dua kaos pesepakbola yang dibingkai. Salah satunya adalah kaos bernomor punggung 11 bertuliskan Ibrahimovic. Kaos AC Milan yang pernah digunakan oleh penyerang asal Swedia berdarah Bosnia itu. Ada sertifikat keaslian di samping kaos dalam bingkai itu, menandakan kalau kaos itu memang asli lengkap dengan tanda tangan si bintang bengal.
Beberapa meter di sampingnya, sebuah kaos lain juga dibingkai. Kaos yang ini berwarna kuning, bernomor punggung 7 dengan tulisan Shevchenko. Ini kaos tim nasional Ukraina milik si penyerang yang juga tenar bersama AC Milan. Seperti kaos Ibrahimovic, kaos ini juga bertandatangan. Tapi tidak ada sertifikat keaslian di kaos kedua ini, cuma ada foto seorang pria memegang kaos yang sama, berfoto di samping Andriy Shevchenko.
“Kalau yang satu itu saya beli di lelang di Bali. Saya beli Rp.1.800.000,-, itu yang paling murah karena kaos Maldini jauh lebih mahal,” kata seorang pria pertengahan 30an yang jadi pemilik rumah makan itu. “Kalau yang Sheva, itu waktu dia ke Indonesia,” lanjutnya. Shevchenko dan beberapa pemain legenda AC Milan memang pernah datang ke Indonesia dalam perhelatan Milan Glory 2014 lalu.
Si pemilik rumah makan yang saya lupa namanya itu rupanya penggemar AC Milan. Penggemar berat kalau saya bilang. Tidak mungkinlah seorang penggemar biasa sampai menghabiskan jutaan rupiah untuk selembar kaos bertandatangan pemain dari klub kesayangannya.
Bukan cuma AC Milan yang membuat obrolan kami mengalir lancar, tapi juga sebuah Vespa putih yang terparkir di depan rumah makan. Vespa itu punya si pemilik rumah makan, pendek, gendut dan masih mengkilap.
“Vespa Kongo, pak,” jawabnya ketika saya bertanya ini jenis Vespa apa.
“Oh, tahun 1962?” Tanya saya lagi yang dijawab dengan anggukan oleh si pemilik.
Buset! Kongo 1962 dan masih terawat! Saya menggeleng, ini salah satu Vespa idaman saya. Bayangkan usianya sudah 55 tahun tapi masih bisa melenggang mulus di jalan raya. Vespa Kongo termasuk jenis Vespa angkatan pertama yang masuk ke Indonesia. Pertama kali dibawa secara massal sebagai penghargaan kepada Pasukan Garuda yang bertugas di Kongo. Makanya namanya lebih beken sebagai Vespa Kongo, padahal aslinya bernama Vespa GS. Di Indonesia orang sering menyebutnya Vespa ndog (telur) karena bentuk kap sampingnya memang bulat seperti telur. Di Makassar, orang menyebutnya Vespa bonte (mentimun), mungkin karena badannya memang menyerupai mentimun.
Setiap Vespa punya kisahnya sendiri. Baca kisah saya bersama si Ben di sini
Si pemilik rumah makan ternyata memang pecinta Vespa. Selain si Vespa Kongo, dia punya satu lagi Vespa Sprint keluaran tahun 1974. Maka hangatlah obrolan kami di malam yang lumayan sejuk itu.
Sungai Penuh tempat berdirinya rumah makan itu memang berudara sejuk, terletak di kaki Gunung Kerinci dengan ketinggian 900an Mdpl. Bersama Afdhal dan supir, kami tiba menjelang magrib setelah melewati 180an km dari Bangko. Perjalanan yang lumayan melelahkan dan juga melenakan karena melewati punggung bukit yang berkelok naik-turun.
Sungai Penuh adalah ibukota Kabupaten Kerinci, kabupaten tertinggi di Jambi yang sekaligus berbatasan langsung dengan Sumatra Barat. Kabupaten ini bergantung penuh pada hasil alam seperti teh, kopi, kulit manis, kentang dan banyak lagi. Berada di kaki gunung berapi membuat tanahnya sangat subur. Ibaratnya tinggal menancapkan tongkat saja, maka sebulan kemudian tongkat itu sudah tumbuh sebagai pohon.
Persis seperti dalam lagunya Koes Plus.
*****
VESPA TUA DI RUMAH MAKAN itu adalah pengantar yang sangat baik untuk saya. Besoknya saya sekali lagi menemukan satu Vespa GS keluaran tahun 1960-an yang terparkir rapi di tepi jalan. Sepanjang jalan pun dengan mudah saya menemukan Vespa berseliweran. Dari Vespa keluaran tahun 1970an sampai Vespa 1980an. Kabarnya di Sungai Penuh ada tiga bengkel Vespa dan dua komunitas Vespa. Jumlah yang cukup mencengangkan untuk kota kecil.
Sebagai ibukota kabupaten, Sungai Penuh terasa begitu padat. Jalan-jalan cukup ramai dan deretan pusat perdagangan saling berhimpitan. Kontur kotanya kebanyakan datar, hanya ada beberapa sisi yang menanjak utamanya di bagian barat.
Di salah satu sisi kota berdiri Masjid Agung Pondok Tinggi, sebuah masjid tua yang dibangun tahun 1874. Struktur masjid ini kebanyakan dari kayu dengan arsitektur Melayu yang kental. Bagian terasnya agak rendah, tapi begitu masuk kita akan menemukan bagian dalam yang begitu tinggi dengan kayu yang bersilangan, tampak kokoh dan tegap.
Sebagai kota tua memang mudah menemukan bangunan tua bergaya Melayu kolonial di Sungai Penuh. Utamanya di daerah Pondok Tinggi. Sebagian besar masih terawat dan tiba-tiba membuat saya membayangkan sebuah film tua dengan latar kisah akhir 1800an atau awal 1900an.
Salah satu bagian menyenangkan dari kota ini ada di ketinggian, tepatnya di Bukit Khayangan. Kami menyambanginya di pagi buta, saat matahari belum bangun, udara dingin masih menggigit dan halimun masih mendekap.
Di tengah udara dingin gerimis sisa semalam, kami menantikan matahari terbit tepat di atas kota Sungai Penuh. Perlahan sinar keemasannya menyeruak di antara awan, membiaskan sinarnya jatuh ke atas kota yang masih tertidur.
Sungguh pengalaman yang menyenangkan.
Malam sebelumnya kami bertandang ke sebuah café, Korintji Heritage namanya. Terletak di sebuah tempat yang agak tinggi di dalam kota Sungai Penuh, Korintji Heritage menawarkan sensasi menikmati kopi asli Kerinci. Pemiliknya adalah orang Kerinci yang tinggal di Jakarta, tenar sebagai business trainer. Bersama beberapa orang lainnya, dia bertekad memperkenalkan kopi Kerinci. Selama ini kopi Kerinci diambil orang lain, dibawa ke Lampung atau Medan dan kemudian diberi label berbeda. Jadilah kita mengenalnya sebagai Kopi Lampung atau Kopi Medan, bukan Kopi Kerinci.
Itulah yang coba mereka ubah. Memperkenalkan kopi Kerinci, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani asli Kerinci. Selain café, mereka juga aktif di sisi pendampingan dan peningkatan kapasitas petani. Petani kopi tidak lagi sekadar jadi mesin produksi, tapi punya kemampuan mengenali hasil produksi mereka dan punya kemampuan berorganisasi yang lebih baik.
*****
KAMI HANYA DUA MALAM DI SUNGAI PENUH. Tapi buat saya, ini sungguh berkesan. Bisa bertemu sesama Milanisti dan penggemar Vespa, menikmati kota tua yang menyimpan banyak kenangan serta tentu saja menyesap kopi Kerinci di malam yang dingin.
Selepas bertemu bupati dan sekali lagi menikmati dendeng batokok, kami mulai beranjak ke Kayu Aro, kota kecamatan yang tepat berada di kaki Gunung Kerinci.
Di sana ada cerita lain yang juga menunggu.
— bersambung — [dG]
Seperti ketemu kawan lama jika ketemu sesama pecinta klub bola serta memiliki hobi yang sama. Walau baru sebentar tapi sangat akrab. 🙂
hahaha betul itu, gak terasa obrolannya jadi hangat
Kalau saya ngobrol seperti itu seringnya lupa tanya nama. Pas udah pamitan baru sadar belum sempat berkenalan. Padahal dapat saudara baru 🙂
Bener fans berat yaaa, sampe baju dan ttd nya bisa dapat yg asli begitu :D. Aku malah lgs mikirnya, kalo dijual lg bisa dpt makin mahal ga yaa :p.
Nama tempatnya unik ya mas.. Sungai penuh.. Aku td mikirnya sungai nya lg banyak orang :D. 180km dr bangko? Aku taunya bangko, krn dulu om ku prnh ditugasin megang cabang bank mandiri di sana.. Sungai penuhnya sendiri blm prnh didatangi 🙂
padahal keren loh Sungai Penuh, lebih asik dari Bangko karena Sungai Penuh kota tua hehe
Keren, buat