Sumatra, Akhirnya!

Kantor gubernur Jambi
Kantor gubernur Jambi

Alhamdulillah, akhirnya bisa melengkapi kunjungan ke pulau-pulau besar di Indonesia

Ketika tahu kalau salah satu lokasi kerja saya tahun ini adalah Jambi, saya senang luar biasa. Ini berarti saya punya kesempatan untuk akhirnya menginjakkan kaki di tanah Sumatra! Yah, Sumatra adalah pulau besar terakhir di Indonesia yang belum pernah saya jejaki. Sulawesi (tentu saja karena saya tinggal di Sulawesi), Jawa, Kalimantan, Papua, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara sudah saya jejaki. Tinggal Sumatra yang belum.

Dan akhirnya, 4 Februari 2016 saya tiba di Jambi dan pertama kalinya menghirup udara Sumatra. Perjalanan dari Makassar ke Jambi agak terhambat karena pesawat yang harusnya kami tumpangi dari Makassar sempat delay satu jam lebih, akibatnya kami tertinggal pesawat yang harusnya membawa kami dari Jakarta ke Jambi. Untung karena penerbangan kami terhubung di bawah satu maskapai, jadi kami masih punya pilihan digeser ke penerbangan berikutnya, dua jam kemudian.

Malam sudah turun, tanah basah bekas hujan ketika kami tiba di bandara Sultan Thaha, Jambi. Bandara baru ini masih terlihat segar dengan nuansa hijau muda yang mendominasi. Katanya bandara ini baru dioperasikan kurang lebih tiga bulan, pantas saja semua masih terlihat mengkilap dan baru.

Bandara Sultan Thaha yang baru
Bandara Sultan Thaha yang baru

Provinsi Jambi adalah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang ibu kotanya bernama sama dengan provinsinya, selain Jambi ada Gorontalo dan Bengkulu yang ibu kotanya juga punya nama sama dengan provinsinya. Provinsi Jambi secara resmi terbentuk tanggal 2 Juli 1958 setelah sebelumnya hanya berupa keresidenan di bawah provinsi Sumatra Tengah. Pembentukan provinsi Jambi bersamaan dengan pembentukan provinsi Sumatra Barat dan Riau.

Sebelumnya daerah Jambi berada dalam sebuah kerajaan atau kesultanan bernama Jambi. Nama Jambi sendiri konon berasal dari kata jambe atau pinang. Mungkin karena jaman dahulu daerah tersebut penuh dengan pohon pinang, jenis pohon yang sampai sekarang masih sangat mudah ditemukan di Jambi.

Kerajaan Jambi terkenal sebagai salah satu kerajaan yang cukup lama bertahan melawan Belanda di jaman perjuangan. Raja Jambi Sultan Thaha Syaifuddin adalah sultan terakhir yang memimpin rakyat Jambi melawan Belanda. Perlawanan Sultan Thaha Syaifuddin berlangsung dari tahun 1858 sampai 1904 secara bergerilya. Namun seiring dengan wafatnya sang Sultan, Jambi pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

*****

Sama seperti umumnya daerah di Sumatra, Jambi juga dihuni sebagian besar oleh orang Melayu. Tentu saja ini tidak aneh karena Sumatra (dan juga Kalimantan) adalah daerah penyebaran orang Melayu. Selain orang Melayu, Jambi juga jadi wilayah yang sangat terbuka untuk para pendatang dari berbagai wilayah.

Selain orang asli Jambi atau orang Melayu, sangat mudah menemukan orang Jawa dan orang Bugis di sana. Orang Jawa umumnya datang lewat jalur transmigrasi karena Jambi memang terkenal sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi sejak awal tahun 1970an. Sementara orang Bugis yang banyak berserakan di berbagai daerah Jambi, umumnya datang sebagai pedagang sebelum akhirnya memilih menetap dan menjadi petani atau peladang.

Jambi juga sepertinya jadi tempat yang nyaman buat etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa tidak hanya hidup dan berdagang di kota Jambi saja, mereka juga sampai tinggal di desa yang lumayan jauh dari kota dan menghidupi diri dari bertani atau beternak. Ini adalah sesuatu yang jarang atau bahkan tidak pernah saya temui di Sulawesi Selatan.

Kota Jambi sendiri menurut saya lumayan ramai meski tentu saja tidak seramai dan sesemrawut Makassar. Mungkin saya bisa menyamakannya dengan kota Pare-Pare yang jadi kota paling ramai kedua di Sulawesi Selatan. Kotanya relatif datar dengan sedikit bagian yang agak menanjak. Berbagai bangunan modern dan merek dagang modern bertebaran di pusat kota, melambangkan pertumbuhan ekonomi yang lumayan.

Satu sisi kota Jambi
Satu sisi kota Jambi

 

Sungai Batang Hari yang memotong sisi luar kota Jambi
Sungai Batang Hari yang memotong sisi luar kota Jambi

Di luar kota Jambi tanah kosong tanpa bangunan masih menghampar luas. Sebagian besar diisi oleh tanaman kelapa sawit. Bagi warga, kelapa sawit katanya lebih menghasilkan secara ekonomi. Berbeda dengan tanaman lain yang kadang lebih rewel dengan keuntungan yang lebih sedikit. Masalah sawit ini mulai disadari oleh sebagian warga dan pemerintah daerah. Secara ekonomi sawit memang menguntungkan, tapi mereka juga sadar kalau di masa depan sawit ini justru merusak lingkungan hidup.

Dari cerita yang saya dapatkan, sebagian tanah Jambi adalah tanah gambut dengan tingkat keasaman yang tinggi. Kondisi ini membuat tidak semua jenis tanaman bisa hidup, utamanya padi. Hanya ada beberapa daerah yang bisa disulap menjadi sawah.

Di masa ketika kebarakan hutan sedang ganas-ganasnya beberapa bulan lalu, Jambi juga termasuk salah satu daerah yang terkena imbasnya. Meski titik api terbesar ada di provinsi tetangga Sumatra Selatan, tapi angin membawa asapnya ke kota Jambi.

“Bandara Sultan Thaha sampai ditutup selama dua bulan.” Kata pak Desri, seorang warga Jambi. “Tapi walaupun kena dampak asap, Jambi tidak terlalu disorot pemberitaan. Tidak seperti Palembang atau Riau.” Sambungnya.

Meski badai asap sudah lewat namun masyarakat Jambi masih waspada. Menurut mereka kebakaran hutan yang berujung pada kabut asap yang menyesakkan itu biasanya dimulai sejak bulan Maret atau April dan akan mencapai puncaknya di bulan Oktober sampai Desember. Ini sudah seperti siklus tahunan yang sampai sekarang belum ditemukan formula untuk memutusnya.

Kunjungan pertama ke Jambi dan ke tanah Sumatra ini memang hanya saya jalani selama empat hari, tapi dalam kurun waktu yang singkat itu saya menemukan banyak cerita menarik tentang Jambi. Mungkin Jambi belum bisa dijadikan representasi pulau Sumatra secara keseluruhan, tapi setidaknya beberapa cerita di Jambi menarik untuk diceritakan. Selepas ini saya pasti akan menuliskannya.

Sekarang saya sudah bahagia, setidaknya saya sudah berhasil melengkapi kunjungan ke pulau-pulau besar Indonesia. Sebagai awal, Jambi sudah sangat menyenangkan. Mudah-mudahan saya masih punya kesempatan untuk kembali ke sana. [dG]