Spermonde 2 ; Takabakang Sayang, Takabakang Malang

Alam bawah laut ( foto by : Jitho)

Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan bagian pertama.

Malam baru saja turun ketika kami merapat di dermaga Barrang Lompo. Rombongan berpencar, sebagian besar menyisir pulau Barrang Lompo, melihat langsung kehidupan warga di malam hari. Selepas sholat maghrib, saya dan Mamie menyusul teman-teman yang ternyata sedang nongkrong di sebuah cafe sederhana. Mungkin satu-satunya cafe di pulau itu. Namanya cafe Eda.

Jangan membayangkan cafe serupa cafe di kota-kota besar. Lebih tepat bila disebut warung kopi meski di gerbang yang terbuat dari bambu dan dihiasi lampu kerlap-kerlip jelas terlihat tulisan Cafe Eda. Cafe yang ini berisi beberapa bangunan dari bambu beratap rumbia, isinya meja kayu dan beberapa kursi plastik. Lantainya? Pasir putih! Cafe ini menghadap ke laut lepas dengan view sunset. Sayang kami tiba di malam hari, ketika sunset sudah lewat beberapa jam.

Di cafe itu kami bercanda ria, menghabiskan beberapa gelas minuman hangat dan beberapa porsi mie instant. Sederhana tapi sangat menyenangkan.

Selepas dari Cafe Eda kami kembali berpencar, berkeliling pulau yang tak seberapa besar itu, pungkas dikelilingi dengan berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit. Jejak modernisasi memang makin terlihat di Barrang Lompo. Selain cafe, ternyata setidaknya ada 4 pusat permainan bilyard di seputar pulau yang jadi semacam jalan poros.

Setiba di dermaga, angin terasa makin kencang. Ombakpun tidak tenang, kapal-kapal kecil yang terparkir di dermaga bergoyang keras diterpa angin dan dibuai ombak. Kapal Novita Saripun serupa. Ketika naik sebentar ke atas kapal saya langsung disergap rasa pusing karena goyangan kapal yang tak biasa.

” Ombak setinggi rumah di Takabakang” Kata seorang nelayan penduduk asli. Takabakang, itu nama daerah yang akan kami tuju malam itu. Kalau ombaknya setinggi rumah, tentu bukan keputusan tepat untuk menuju ke sana sesuai rencana. Mungkin si bapak berlebihan, tapi bisa juga benar. Apalagi dia nelayan yang tentu paham gejala alam.

” Ini biasa, dan makin malam cuaca biasanya akan makin bersahabat”, Begitu kata Om Bakri salah seorang panitia yang juga sudah belasan tahun jadi diver.

Malam itu kami habiskan dengan makan malam dan duduk bercengkerama di dermaga. Di antara rombongan juga ada bapak Andi Januar Jaury, seorang anggota legislatif yang sudah lama akrab dengan laut dan industri pariwisata. Karena akrab, kami menyapanya dengan sapaan Om JJ.

Semakin malam angin semakin bersahabat, pun dengan ombak. Menjelang pukul 11 malam kami bubar, satu persatu peserta naik ke Novita Sari dan mengambil tempat untuk beristirahat. Saya belum terlelap betul ketika merasakan kapal Novita Sari mulai meninggalkan dermaga Barrang Lompo. Saya melirik jam tangan, jam 23:35. Selama 6 jam ke depan kami akan ada di atas kapal menuju daerah Takabakang.

Jackpot!

Sepanjang perjalanan, tidur saya tidak nyenyak. Ombak yang rupanya tidak tenang membuat kapal bergoyang dengan hebohnya. Ketika melirik jam tangan, saya sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul 5:18 pagi. Ketika bergerak ke WC saya juga sadar kalau kapal memang bergoyang dengan heboh. Beberapa peralatan memasak berhamburan karena ombak, termasuk galon air mineral. Selesai menuntaskan hajat, saya melihat matahari mulai timbul di belakang sana. Semburat merahnya mulai terlihat. Ah, waktu yang tepat untuk berburu sunrise, pikir saya.

Dengan sempoyongan saya berjalan ke arah depan, tepatnya ke arah pintu samping mencari posisi yang kira-kira tepat untuk berburu sunrise. Kamera masih di tas, saya belum terpikir untuk membawanya. Tiba di pintu samping kapal, saya tidak tahan lagi. Rasa mual dan pusing karena goyangan kapal tiba-tiba membuat saya terpaksa mengeluarkan isi perut. Yah..jackpot! saya muntah beberapa kali.

Selepas muntah saya tidak terpikir lagi untuk berburu sunset. Lebih baik kembali ke tempat tidur sambil berharap badan ini jadi lebih nyaman.

Saya mencoba terlelap meski tidak mudah karena ternyata kapal tetap bergoyang dengan hebohnya. Sekitar sejam kemudian saya merasa kapal berhenti. Rupanya kami sudah sampai di Takabakang, sebuah gugusan karang yang biasanya jadi dive spot. Anak-anak memutuskan untuk turun snorkling untuk menghilangkan rasa mual dan mabuk laut. Ternyata bukan cuma saya yang jackpot, hampir semua peserta kecuali dive instruktur dan ABK merasakan mual dan bahkan sampai ikut muntah.

Baiklah! Mari kita snorkling, begitu pikir saya. Tapi sebelum terjun ke laut saya masih sempat menumpahkan isi perut, muntah beberapa kali sampai rasa pahit yang tersisa karena memang sudah tidak ada isi perut lagi yang bisa dikeluarkan kecuali asam lambung. But show must go on, mari kita terjun.

Dengan snorkle dan mask serta life vest saya terjun ke laut lepas yang kedalamannya sampai 4 meter. Ketika pertama melihat ke bawah saya kaget, ternyata pemandangan di bawah laut sangat menyeramkan. Karang-karangnya banyak yang hancur dan berwarna putih, tandanya sudah rusak. Lelaki Bugis yang juga ikut bersama kami ke trip Taka Bonerate juga langsung merasa kecewa. Wajar karena dia sudah melihat pemandangan luar biasa indah di Taka Bonerate dan kemudian mendapati keadaan yang sebaliknya di Takabakang.

Karang di Takabakang yang hancur ( foto by: Jitho)

Ah, Takabakang yang Malang

Kami tidak lama menghabiskan waktu di laut Takabakang. Ombak dan arus semakin deras, kami bahkan harus berpegangan pada tali agar tidak terbawa arus menjauh dari kapal. Selesai snorkling, saya, Mamie dan Lelaki Bugis duduk di buritan kapal. Rasa mual masih ada karena ombak yang memang masih rajin membuai Novita Sari.

Tak lama, Om JJ dan rombongan diver datang. Mereka baru saja menghabiskan waktu dengan menyelam di beberapa titik. Dengan kesal, Om JJ memberikan kesannya tentang karang di sekitar Takabakang yang memang sudah rusak parah.

” Tahun 2004 saya terakhir ke sini, kondisinya masih bagus. Tapi sekarang, semua sudah hancur”, Katanya dengan mimik muka kesal dan prihatin. ” Pemerintah gagal menjaga asetnya”, tambahnya lagi.

Kerusakan karang ditengarai karena aksi illegal fishing seperti pengeboman dan pembiusan yang memang sangat merugikan karang-karang yang seharusnya menjadi biota yang dilindungi karena berperan penting menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan.

Karang lain yang hancur (foto by: Jitho)

Kami baru melihat sepintas dari aktifitas snorkling kami, tapi komentar dari Om JJ dan diver lainnya adalah testimoni jujur tentang laut yang semakin hari memang semakin rusak. Susah mencari benang simpulnya. Sebagian besar kerusakan memang melibatkan faktor ekonomi, tentang bagaimana nelayan harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka meski dengan cara yang terlalu rakus.

Solusinya tidak sederhana memang, butuh komitmen dan konsistensi dari semua pihak dengan pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab terbesar. Sulawesi Selatan butuh pemerintah yang mau belajar pada propinsi lain yang sudah lebih sadar untuk menjaga kekayaan lautnya.

Ah, Takabakang yang malang. Tanpa kerja keras dan kesadaran semua pihak, daerah itu akan tinggal sejarah sebagai daerah yang pernah punya biota laut yang beragam dan menawan.

Jam 9:45 Novita Sari bergerak meninggalkan Takabakang. Tujuan berikutnya adalah pulau Kapoposang, sekitar 4 jam perjalanan lagi. Sebelum meninggalkan buritan kapal, Lelaki Bugis juga sempat jackpot. Saya menertawainya, tapi selang beberapa lama kemudian saya juga ikut muntah untuk ketigakalinya.

Ah, ombak ini memang sungguh membuat saya menderita. Akhirnya saya memilih memejamkan mata, tidur di lantai yang basah hingga tiba di Kapoposang. Lupakan soal sarapan, sama sekali tidak ada nafsu untuk menyentuh makanan yang sebenarnya begitu banyak tersedia.

Kapoposang, kami datang. Dan ah Takabakang, semoga nasibmu bisa membaik.

[Bersambung ke bagian ketiga]

[dG]