Rawa Biru, Pusat Air Bersih Kota Merauke

Suasana kampung Rawa Biru
Suasana kampung Rawa Biru

Perjalanan pertama ke Merauke saya habiskan dengan mengunjungi satu kampung yang punya peran vital bagi Merauke. Rawa Biru namanya.

GUNCANGAN MOBIL TOYOTA LAND CRUISER yang kami kendarai begitu terasa. Jalanan tanah membuat penumpang terguncang, terlempar ke kiri dan ke kanan. Saya berusaha menahan diri untuk tidak muntah. Perjalanan panjang dari Makassar ke Merauke yang dimulai jam 4 subuh sudah cukup menyiksa. Saya tidak tahan dengan perjalanan panjang menggunakan pesawat, begitu menyentuh darat setidaknya saya butuh waktu istirahat setengah hari untuk mengembalikan kesegaran tubuh.

Lebih baik melewati perjalanan belasan jam di darat daripada beberapa jam di pesawat. Apalagi perjalanan yang dimulai di pagi buta yang membuat saya tidak bisa tidur nyenyak.

Sayang, kali ini saya tidak bisa memilih untuk beristirahat dulu. Setiba di Merauke saya hanya diberi waktu 10 menit untuk mandi dan langsung mengikuti rombongan ke kampung Rawa Biru yang jalurnya lumayan menyiksa. Walhasil, dalam perjalanan pulang kepala mulai pening dan perut mulai tidak nyaman.

“Hoeekk!” akhirnya saya tidak tahan juga. Saya muntah berkali-kali lewat jendela mobil double gardan itu. Penumpang lain yang berjumlah tiga orang tidak ada yang tahu, mereka asyik tertidur lelap. Suara muntahan sayapun tersamarkan suara mesin mobil yang menderu kencang.

Sehabis muntah, kepala terasa lebih enteng. Saya mencoba menikmati sisa perjalanan sampai ke kota Merauke.

*****

KEJADIAN ITU TERJADI KETIKA KAMI meninggalkan kampung Rawa Biru kembali menuju kota Merauke. Kampung itu jadi tujuan rombongan selama di Merauke, Papua. Jaraknya lumayan jauh, sekira 85 km sebelah utara kota Merauke. 60 km pertama dilalui dengan jalan yang lumayan rata melewati Taman Nasional Wasur sampai di sebuah pertigaan tempat mobil berbelok kanan masuk ke jalan tanah sekira 25 km.

Jalan tanah yang dimaksud benar-benar adalah jalan tanah merah yang tak rata. Di kanan-kiri pepohonan tumbuh jarang-jarang, sesekali sarang semut dari tanah berdiri tegak. Sarang semut ini adalah fenomena alam yang luar biasa. Orang Merauke menyebutnya Musamus.

Sebenarnya salah juga kalau disebut sebagai sarang semut karena sebenarnya ini adalah istana koloni rayap. Rayap-rayap itu bekerjasama satu sama lain membangun istana dari tanah yang tingginya bisa mencapai 5 meter. Hal paling luar biasa dari istana rayap ini adalah bagian dalamnya yang dipenuhi ventilasi dan lorong-lorong yang membantu melindungi dari air hujan serta membantu melepas panas di musim kemarau. Dari luar penampakannya hanya seperti gundukan tanah luar biasa, padahal tidak sesederhana itu.

Ini yang namanya Musamus, tingginya bisa sampai 5 meter

Di dunia tidak banyak tempat yang punya koloni seperti itu, di Indonesia mungkin hanya ada di Merauke. Sayang ketika rombongan berhenti di dekat Musamus saya masih dilanda sakit kepala luar biasa, tak sempat melihat dari dekat.

Kembali ke perjalanan menuju Rawa Biru. Setelah menembus hutan dan melintasi jembatan kayu yang hanya berupa gelondongan, kami akhirnya tiba di sebuah tanah lapang luas yang di ujungnya berdiri bangunan kayu yang dari jauh sudah terlihat sebagai pos tentara.

Jalanannya berat!

Di mulut kampung Rawa Biru berdiri  pos Pamtas atau pengamanan perbatasan RI-PNG. Letak kampung Rawa Biru memang sudah tidak jauh dari batas paling timur Indonesia, hanya berjara 25 km dari Papua New Guinea. Ketika kami melintas, beberapa orang tentara muda membalas salam kami. Saya membayangkan betapa membosankannya bertugas di daerah seperti itu, dikelilingi hutan tanpa sinyal selular dan listrik yang hanya disuplai dari genset.

Tapi demi tugas membela negara, mereka tetap terlihat riang dan bersemangat.

*****

PAK KEPALA KAMPUNG ada di belakang. Langsung saja ke sana.” Seorang warga mempersilakan kami menuju ke belakang rumah, ke danau luas yang membentang. Saya mengernyitkan dahi melihat papan nama kepala kampung. Di sana tertulis nama; Marwan Hamid Maywa. Nama muslim dan terasa aneh di kampung yang saya yakin mayoritas dihuni oleh Nasrani.

Seorang pria paruh baya tinggi tegap berkulit cokelat menyambut kami. Dialah pak Marwan, sang kepala kampung. Dari perawakannya saya sudah menduga kalau beliau bukan orang Papua asli. Kulitnya lebih terang dan rambutnya lurus, berbeda dengan orang Papua dari ras Melanesia. Dan benar saja, dia mengaku sebagai Jamer alias Jawa Merauke. Ayahnya orang Papua, suku Marind dengan fam Maywa sementara ibunya orang Jawa. Asimilasi cukup panjang itu membuat dia dipercaya memimpin kampung Rawa Biru. Saya tidak tahu apakah dia muslim atau bukan, tidak penting untuk ditanyakan menurut saya.

Kampung Rawa Biru terletak di tepi rawa luas yang luasnya mencapai 881,17 km persegi dan masuk ke dalam distrik Soka. Rawa ini adalah pemasok air bersih untuk kota Merauke dengan kampung Rawa Biru sebagai pusat pengolahannya. Di ujung kampung yang tak tersiram sinyal seluler dan listrik PLN ini berdiri instalasi air bersih dengan mesin-mesin besar yang terus bergemuruh. Dari sanalah air bersih diolah dan dialirkan ke kota Merauke.

Pemandangan Rawa Biru di belakang kampung

Sayangnya, meski termasuk kampung yang berjasa besar buat Merauke, Rawa Biru tetaplah kampung sederhana. Kampung yang berisi 3 RT dengan 72 KK dan 323 jiwa itu tetap sederhana dan bahkan terkesan tak dipedulikan pemerintah daerah. Jalan yang berat dan listrik yang tak masuk seperti melengkapi kehidupan warga yang apa adanya. Agak ironis dengan fungsi kampung yang pastinya sangat vital bagi warga kota Merauke.

Tapi di balik kesederhanaan yang buat orang kota terlihat sebagai kemiskinan itu, orang Rawa Biru sangat ramah meski terlihat mereka agak ragu untuk berinteraksi dengan pendatang. Di balik tampang mereka yang keras khas ras Melanesia, mereka sangat ramah ketika saya coba berinteraksi. Beberapa anak kecil memang sedikit sulit untuk didekati, mungkin mereka malu atau inferior. Entahlah.

Pace sedang menjemur ikan
Anak kecil yang pemalu

“Di rawa ini banyak buaya?” Tanya saya pada seorang anak yang saya taksir berumur sekira 10 atau 12 tahun.

“Banyak kaka, tapi biasa cuma ada kalau musim hujan.” Jawabnya. Bibir dan giginya merah oleh sirih pinang. Sama dengan saya yang kala itu juga mengunyah sirih pinang.

“Kamu pernah menangkap buaya?” Saya bertanya lagi.

“Pernah, tapi kecil saja. Begini.” Jawabnya sambil merentangkan tangan kanan dan kirinya dengan jarak yang saya taksir sekira 1 meter lebih.

Gila! Buaya sepanjang satu meteran saja dianggap kecil? Saya tertawa bersama si anak yang saya lupa namanya siapa.

Dan begitulah, beberapa jam di kampung Rawa Biru saya mencoba berinteraksi dengan anak-anak kecil dan beberapa lelaki dewasa. Tidak mudah, karena sepertinya ada tembok yang membatasi kami. Meski begitu saya menangkap keramahan yang tulus dari mereka. Sepanjang interaksi saya mencoba untuk tidak membawa pikiran kota saya dengan memandang mereka sebagai orang kampung yang miskin dan terbelakang.

Saya yakin mereka orang-orang yang luar biasa, yang bisa hidup dengan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Melihat beberapa ekor buaya yang dipelihara di belakang rumah pak kepala kampung bersama beberapa ekor burung kasuari, saya yakin kalau mereka memang orang kampung yang luar biasa. [dG]