Ketika Jayapura Diterpa Badai
Jayapura sempat dihantam badai. Namun perlahan tapi pasti badai sudah berlalu. Pun masih banyak orang yang waras dan tidak serta merta termakan isu.
Sabtu 31 Agustus, kira-kira pukul 13:15 WIT. Saya menumpang ojek motor menuju Bandara Sentani dari kos saya di kawasan Kotaraja, Jayapura. Jujur, perjalanan ini awalnya begitu mendebarkan buat saya, penuh dengan tanda tanya. Apakah akan lancar saja? Atau apakah saya akan bertemu dengan sweeping dari warga? Untuk menuju ke bandara, saya harus melintasi daerah Waena yang jadi salah satu pusat konsentrasi warga Papua dalam aksi demo berujung ricuh dua hari sebelumnya. Pikiran buruk sempat menghantui saya malam sebelum saya melakukan perjalanan ke bandara.
“Ah, tidak apa-apa. Aman koq kalau siang, kalau malam baru kita khawatir.” Kata tukang ojek yang mengantar saya.
Dan benar saja, perjalanan lancar jaya dan sama sekali tidak ada hambatan. Jalanan sudah cukup ramai, kendaraan lalu lalang meski belum seramai biasanya. Beberapa toko di sepanjang jalur Kotaraja-Sentani mulai buka. Ada yang buka seluruhnya, ada pula yang hanya membuka separuh pintu harmonikanya. Di sekitar Waena, beberapa warga Papua dan Non-Papua bercengkerama di tepi jalan. Mungkin membahas kejadian dua hari sebelumnya.
Semua tampak normal, kecuali beberapa toko dan bangunan yang kacanya pecah. Beberapa orang terlihat sibuk membersihkan pecahan kaca.
Hingga akhirnya saya tiba di bandara sekitar 40 menit kemudian. Lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Tidak ada rasa ketakutan, tidak ada rasa cemas dan tidak ada sweeping seperti yang saya takutkan. Berbeda sekali dengan narasi yang dibuat oleh seorang pemilik akun Facebook yang bilang kalau perjalanan ke bandara ditempuh dalam waktu 3 hari dan harus dikawal marinir. Sebuah narasi yang menyesatkan.
Dua Hari Sebelumnya.
Kamis, 29 Agustus 2019. Kami tahu kalau hari itu akan ada demo damai sebagai buntut kejadian di Surabaya 12 hari sebelumnya. Selebaran ajakan aksi damai sudah beredar lewat WhatsApp. Meski internet mobile dan Indihome di Papua masih terblokir, namun masih ada layanan internet lain yang dipakai untuk menyebar informasi.
Saya tiba di kantor lebih cepat dari biasanya, jalanan masih sepi dan tidak ada tanda-tanda badai akan datang. Teman yang datang setengah jam kemudian juga menginformasikan situasi jalanan yang nyaris biasa-biasa saja.
“Ada massa yang kumpul di Uncen atas, tapi aparat juga sudah siap,” katanya.
Jumat minggu sebelumnya isu tentang demonstrasi lanjutan juga beredar. Waktu itu anak-anak sekolah dipulangkan lebih cepat. Namun, sampai sore tiba demonstrasi yang disebut tidak benar-benar terjadi. Semua aman terkendali. Lalu, di hari Senin informasi tentang demonstrasi juga beredar. Tapi seperti kejadian di hari Jumat, sampai Senin berlalu demonstrasi tidak pernah benar-benar digelar.
Namun informasi demonstrasi hari Kamis 29 Agustus ini sepertinya akan benar-benar terjadi. Sudah ada selebaran yang beredar dan itu lebih kuat dari sekadar informasi dari mulut ke mulut. Kami sudah bersiap-siap dengan kemungkinan itu dan karenanya kami ke kantor lebih cepat dari biasanya. Tapi kami sama sekali tidak berpikir buruk. Senin 19 Agustus lalu juga ada demonstrasi di Jayapura, dan semua terkendali. Berakhir dengan aman dan damai. Jadi kami pikir hari itu demonstrasi juga akan kembali berakhir aman dan damai.
“Ah, sembarang. Jangan terlalu percaya isu,” kata teman ke istrinya lewat sambungan telepon.
Ammar, si teman ini memang beberapa kali memantau situasi lewat telepon. Di seberang sambungan telepon, sang istri memberi beberapa kabar yang dia juga dapatkan dari orang lain. Salah satunya bahwa sudah ada bentrokan di Taman Makam Pahlawan, antara Waena-Padang Bulan. Kabar yang hanya isu dan tidak terbukti kebenarannya.
Kami memang kesulitan mengonfirmasi beberapa isu yang beredar karena minimnya saluran komunikasi. Tidak ada internet selular dan Indihome juga terblokir. Hanya segelintir orang yang bisa menyebarkan informasi. Akibatnya justru banyak informasi salah yang beredar. Kami jadi harus bekerja ekstra untuk mengonfirmasi berita-berita itu. Kami bisa mengakses internet, tapi informasi di portal berita daring juga minim. Mereka pasti kesulitan menerima informasi dari wartawan yang ada di lapangan.
Kira-kira pukul 14:27 WIT sambungan telepon selular tiba-tiba mati. Di handphone hanya ada tulisan “No Service” atau “Emergency Calls Only”. Saya agak panik, tiba-tiba muncul bayangan perintah dari atas untuk mengisolasi sepenuhnya kota Jayapura. Dan perintah seperti itu muncul karena keadaan kota yang semakin rusuh. Belakangan pemerintah lewat Menkominfo Rudiantara memberi keterangan kalau jaringan selular Telkomsel di Jayapura terputus karena ada kabel yang diputus para perusuh.
Di kantor kami sudah tidak ada yang bekerja lagi. Hampir semua berkumpul di halaman depan kantor, membincangkan apa yang sedang terjadi. Kami sama sekali tidak punya gambaran apa yang terjadi di luar, seberapa parah keadaan di luar, dan bagaimana kita menyikapinya. Saluran komunikasi sangat minim. Memang ada beberapa berita yang beredar, tapi karena berita itu hanya berasal dari sumber “katanya”, maka berita itu tidak sepenuhnya kami percaya.
Makin sore keadaan makin tidak menentu. Beberapa berita yang bisa dipercaya menggambarkan keadaan beberapa bagian kota sedang tidak baik-baik saja. Asap membubung tinggi dari arah timur, tepatnya di daerah Entrop. Menurut informasi yang kami dapat, di daerah itu memang ada beberapa bangunan yang terbakar. Tapi kami sama sekali tidak tahu seberapa parah.
Pukul 5 sore sudah lewat, kami masih bertahan di kantor. Diskusi saat ini mengerucut pada; bagaimana kita akan pulang? Apakah lewat jalur alternatif, apakah pulang sekarang, atau bermalam di kantor?
Bukan apa-apa, kami tidak tahu bagaimana keadaan di luar sana, plus sinyal selular juga terputus. Keluar dari kantor kami akan seperti orang hilang, tanpa sambungan komunikasi sama sekali. Kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana kita bisa saling menghubungi? Tapi tinggal di kantor juga bukan opsi buat sebagain teman yang sudah berkeluarga. Mereka tidak bisa menghubungi keluarga di rumah dan tentu keluarga juga kuatir akan keberadaan mereka. Buat saya yang kos sendirian, tinggal di kantor tidak masalah. Toh saya masih bisa berhubungan dengan keluarga di Makassar karena di kantor masih ada sambungan internet.
Setelah berdiskusi agak lama, akhirnya diputuskan bagi yang tinggal di daerah selatan atau arah keluar kota Jayapura sebaiknya pulang sekarang mumpung para pendemo sedang berada di pusat kota. Dipastikan jalanan sepi. Tapi, kami juga disarankan mengambil jalur alternatif yang disebut “jalan belakang”, melewati perbukitan dan markas Kodam Cenderawasih.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang bersama-sama. Lima motor dan sebagian di antaranya berisi dua orang penumpang. Berkonvoi melewati jalur alternatif yang berbukit-bukit menuju ke arah selatan kota. Menuju ke Abepura, Kotaraja dan Waena.
Sepanjang jalan saya masih dihantui kekhawatiran. Melihat beberapa orang Papua berkumpul di pinggir jalan, jantung berdegup kencang. Melihat orang berkumpul di kejauhan, darah berdesir. Sungguh keadaan yang tidak mengenakkan. Tapi semua berlangsung lancar, tidak ada halangan sama sekali. Tidak ada orang yang mengganggu perjalanan kami hingga akhirnya kami semua tiba di rumah masing-masing dengan selamat.
Berjaga-Jaga di Sekitar Permukiman.
Malam harinya kira-kira pukul 12 tengah malam. Saya bergabung dengan beberapa pria di dekat kos. Mereka berkumpul di pertigaan tidak jauh dari gapura kompleks perumahan. Beberapa dari mereka adalah orang asli Papua yang memang jadi warga kompleks perumahan itu. Mereka berjaga-jaga menyusul kejadian siang dan sore tadi. Meski begitu tidak ada aura ketengangan yang terasa. Semua berjaga-jaga, tapi tidak tegang.
Kericuhan yang sempat terjadi di pusat kota Jayapura direspon beberapa warga. Ada ketakutan kericuhan masih akan berlanjut, dan ketakutan adanya penyusup yang ingin memperkeruh suasana. Karena itu warga berinisiatif menggelar ronda, menjaga lingkungan mereka dari kemungkinan buruk. Termasuk lingkungan sekitar kosan saya. Saya pun bergabung dengan mereka, sekadar menjalin silaturahmi dengan warga sekitar dan berbagi informasi sambil ikut menjaga lingkungan. Belum pernah sebelumnya saya ikut bertegur sapa apalagi berkumpul dengan bapak-bapak di sekitar kosan.
Malam itu situasi aman terkendali. Tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan. Kami berbagi kisah tentang kejadian Kamis itu, berbagi informasi dan sesekali berbagi cerita lucu. Sama sekali tidak ada nada kekhawatiran. Beberapa saat kami juga sempat berdiskusi tentang apa yang sebenarnya terjadi, bahkan muncul pula beberapa teori konspirasi yang entah dari mana asalnya. Buat saya, itu sekadar cerita mengusir rasa kantuk. Tidak perlu diambil hati.
Ronda malam pertama berakhir kira-kira pukul empat dinihari ketika azan subuh berkumandang. Kami kembali ke rumah masing-masing, beristirahat. Kebetulan hari Jumat itu atau sehari setelah badai menyambangi Jayapura, kantor-kantor dan sekolah ditutup. Tidak ada aktivitas. SPBU pun tutup dan menyebabkan penjual bensin eceran mengambil kesempatan. Mereka menjual satu liter bensin seharga Rp.30.000,-.
Ronda digelar lagi di hari kedua, dan saya kembali ikut bergabung. Kali ini peserta lebih sedikit dari hari pertama, tapi di ujung jalan ada satu kelompok baru yang ikut juga menggelar ronda. Malam sebelumnya mereka tidak ada, atau setidaknya kami tidak melihatnya. Rombongan baru ini cukup ramai, mungkin karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda. Suara-suara tawa dari mereka terdengar ke tempat kami berkumpul, padahal jaraknya kira-kira 100 meter lebih.
Kira-kira pukul dua dinihari, seorang bapak anggota ronda memberi informasi. Katanya, ada satu rombongan dari arah Sentani sedang bergerak menuju Abepura. Dikhawatirkan mereka ini akan membuat ricuh. Sontak darah saya berdesir membayangkan apa yang akan terjadi. Untungnya, informasi ini tidak ditelan bulat-bulat. Seorang anggota ronda lainnya mencoba menelepon kerabatnya yang berada di daerah Waena, berusaha mengonfirmasi berita itu. Benar saja, sang kerabat mengonfirmasi kalau tidak ada pergerakan sama sekali di daerah Waena. Kalau memang ada pergerakan dari Sentani, maka pasti orang Waena yang pertama kali tahu karena rombngan akan lewat sana. Jadi bisa dipastikan informasi ini adalah hoaks.
Sejak kejadian hari Kamis tersebut, informasi memang menyebar luas dan tidak semua benar. Ada informasi kalau satu truk orang gunung sudah turun lewat Nafri, ada yang bilang satu truk pendemo sudah bergeser dari arah kota menuju Entrop. Tapi, semua informasi itu tidak benar. Beberapa warga yang punya akses informan berusaha mengonfirmasi berita-berita itu dan ketika informasi itu terbukti tidak benar, mereka akan meneruskannya ke yang lain.
Setidaknya di sekitar saya tidak semua orang langsung percaya pada berita yang diterimanya. Selalu ada proses cek dan ricek untuk membuktikan informasi itu benar atau tidak.
Saya juga sempat menelepon seorang kawan yang tinggal di daerah Entrop. Mengonfirmasi berita yang bilang kalau orang Bugis-Makassar di Entrop sudah siap-siap menyerang orang Papua. Berita itu dibantah oleh teman yang tinggal di Entrop. Katanya, orang Bugis-Makassar tidak pernah ada niat untuk menyerang. Mereka hanya berjaga-jaga di permukiman sendiri, mempersiapkan diri kalau-kalau ada perusuh yang menyusup ke lingkungan mereka.
Setidaknya begitulah cara kami mengonfirmasi setiap berita yang beredar. Di tengah keterbatasan akses informasi, kami tidak begitu saja percaya pada berita yang beredar, apalagi yang bernuansa negatif. Setahu saya, orang-orang di sekitar saya berusaha terus membangun aura positif dan tidak membiarkan berita-berita negatif bertebaran. Situasi sedang tidak menentu, dan pasti tidak bijak rasanya bila ditambah dengan menyebarkan berita yang belum tentu benar. Berita yang benar pun, bila dirasa hanya akan memperkeruh suasana, berusaha kami redam. Cukup disebar di lingkungan kecil sebagai pengingat agar waspada, bukan disebar di media sosial yang efeknya bisa merusak atau menimbulkan kekisruhan baru.
*****
Apa yang terjadi di Jayapura hari Kamis lalu memang sangat disayangkan. Menjadi satu catatan kelam untuk ibukota Papua itu. Kerusakan cukup banyak, ancaman-ancaman perpecahan juga sempat mengapung di permukaan. Tapi kami – minimal saya dan orang-orang di sekitar saya – berusaha sebisa mungkin tidak memperburuk keadaan. Memfilter informasi yang masuk dan tidak sembarangan percaya pada informasi yang diterima. Tidak ada gunanya makin memperburuk suasana.
Hari ini, 4 September 2019 keadaan Jayapura semakin kondusif. Perlahan-lahan aktivitas yang sempat terhenti di hari Kamis dan Jumat akhir Agustus lalu sudah kembali. Kantor-kantor sudah kembali ramai meski anak sekolah masih diliburkan sementara. Perlahan semua kembali ke asalnya, kepada kedamaian yang selalu memayungi kota Jayapura.
Biarlah yang terjadi menjadi tanggungan orang-orang pintar di atas sana. Warga hanya tahu kalau mereka butuh kedamaian, dan kedamaian tidak mungkin datang dengan sendirinya bila tidak diusahakan oleh warga sendiri. Karena semua orang berhak untuk merasakan kedamaian. Tidak pandang suku, ras atau agama.
Badai pasti berlalu. Tinggal mencari tahu bagaimana menghindarinya di masa yang akan datang.[dG]
Terlepas bagaimana suasana di sana, saya hanya ingin agar orang-orang yang menyebarkan hoaks tersebut mendapatkan hukuman yang berat. Di Indonesia Bagian Barat tidak sedikit orang ikut percaya dengan berita seperti itu. Mereka tidak lagi menyaring informasi sebelum dikomentari dan dibagikan lebih luas.
Iya, kesel saya ketika tahu kalau ternyata di luar sudah beredar macam-macam cerita tentang Papua dan tidak semuanya benar. Sebagian bahkan sangat menyesatkan.
Keadaan sudah genting seperti itu tapi masih saja ada oknum-oknum yang menyebarkan berita-berita tidak benar. Ya, sangat disayangkan sekali karena ibu kota Papua juga akhirnya ikut ricuh tapi syukurlah sekarang sudah aman.
Sudah terlalu banyak isu tak sedap tentang Papua sekarang ini