Kembali ke Lanny
Setelah sekian bulan, akhirnya saya bisa kembali lagi ke Lanny Jaya. Salah satu wilayah di pegunungan tengah Papua yang saya sukai.
Selasa pagi, pukul 9 WIT lewat. Pesawat Trigana Air yang kami naiki mendarat dengan mulus di bandara Wamena setelah perjalanan 30 menit dari Jayapura. Penerbangan tidak ada yang spesial. Lancar saja tanpa gangguan. Ketika memasuki kawasan Lembah Baliem pun tidak ada guncangan berarti. Padahal daerah ini termasuk yang cukup sering memberi guncangan ke pesawat karena letaknya yang jadi tempat berputarnya angin. Mungkin karena kami berangkat pagi, atau mungkin juga karena cuaca sedang bagus.
“Saya sudah di depan pak,” kata seorang pria lewat sambungan telepon. Namanya Andy, supir yang akan membawa kami ke Tiom, ibukota Lanny jaya.
“Iya tunggu, saya tunggu barang dulu,” jawab saya. Bersama rombongan, kami menantikan dengan sabar barang-barang kami yang berjalan pelan di atas ban berjalan. Seorang lelaki tua dengan seragam portir bandara mendekati kami. Dia menjabat tangan seorang kawan, menawarkan jasa mengangkat barang. Kawan kami menolak, toh barang kami tidak seberapa banyak. Saya tidak mengacuhkan si bapak, sampai kemudian saya melihatnya sudah memijiti jemari seorang kawan sambil mengajak mengobrol. Saya tahu arahnya ke mana.
Lelaki tua itu memang selalu ada di bandara Wamena. Dia pun selalu menawarkan jasa pada semua orang yang tiba di bandara. Kalau ditolak dia akan tetap berdiri di samping kita, meraih tangan kita dan mulai memberi pijatan. Mungkin dipikirnya orang yang baru turun dari pesawat pasti kecapean dan butuh pijatan. Ujung-ujungnya ya apalagi kalau bukan meminta upah.
Setelah semua barang terkumpul, kami keluar dari bandara. Total ada 7 orang di rombongan kami, dan berarti ada 2 mobil yang harus kami pakai. Dua Mitsubishi Strada sudah parkir menantikan kami. Memang harus mobil sebesar itu yang akan membawa kami ke Tiom. Jalanan lumayan berat, berkelok, menanjak dan sebagian masih bebatuan. Bukan jalan yang nyaman untuk mobil keluarga sebangsa Avanza atau bahkan Innova.
Wamena Yang Seperti Biasa.
Wamena seperti biasa, seperti yang saya ingat. Kota kecil di pegunungan, di ketinggian 1.600an mdpl yang mulai seperti kota besar yang tak terurus. Lusuh, jalan berlubang, debu yang menempel. Matahari menyengat, padahal sudah bulan Februari. Harusnya hujan yang mengguyur bumi, tapi tidak di Wamena. Untungnya kota ini tetap terasa sejuk meski matahari juga masih garang.
September 2019, Wamena pernah terluka. Konflik pecah di ibukota Kabupaten Jayawijaya itu. Puluhan nyawa terbuang sia-sia. Bangunan rusak, api membakar kota. Ratusan bahkan ribuan orang mengungsi. Ketakutan mencekam sekujur kota.
“Saya pulang ke Toraja waktu itu. Tinggal di sini juga tidak ada kegiatan,” kata Andy, supir yang membawa kami. Dia asli Tana Toraja, SulSel. Setahu saya supir antar kota di pegunungan tengah Papua bagian timur memang banyak yang berasal dari Tana Toraja. Mereka membawa barang dan penumpang ke kabupaten-kabupaten di sekitar Jayawijaya. Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Mamberamo Tengah, bahkan Nduga yang sampai sekarang masih sering dirundung pertikaian.
Saya pernah mengutarakan langsung kekaguman saya pada keberanian mereka. Melintasi jalan-jalan yang berat dan tidak selamanya aman. Tapi mereka hanya tersenyum, “Sudah biasa pak,” katanya.
Mereka memang perantau yang tangguh. Bahkan ketika Wamena memanas, mereka hanya berhenti sejenak. Semacam pause, sebelum meneruskan kembali hidup mereka. Seperti sebagian besar orang Indonesia, orang yang gampang melupakan, gampang move on. Wamena pun seperti itu. Kejadian bulan September 2019 lalu seperti kejadian biasa yang hanya berefek sejenak, membuat warga berhenti sejenak sebelum mulai lagi. Kehidupan di Wamena seperti biasa lagi. Hanya cerita yang tersisa dari kejadian bulan September tersebut.
Lanny Yang Seperti Biasa.
Dua setengah jam perjalanan, dan perlahan kami mulai mendekati kota Tiom. Ibukota Lanny Jaya. Perjalanan seperti biasa. Meniti lembah, tidak jauh dari jurang. Bukit tinggi megah berjejer di kejauhan, dengan warna hijau yang mendominasi. Langit biru berhiaskan awan. Pemandangan alami khas Papua di daerah pegunungan.
Kami tiba selepas jam makan siang. Tiom sedang panas, matahari terang meski tidak terlalu menyengat. Di ketinggian 2.200 mdpl, sepanas-panasnya matahari udara rasanya tetap saja sejuk.
Kami membongkar barang di guest house, rumah milik Pemda Lanny Jaya yang akan menjadi rumah kami selama dua malam. Selesai membongkar barang, kami berkumpul di ruang tengah. Berkoordinasi untuk kegiatan besok hari.
Koordinasi semakin ramai ketika Plt. Sekda Lanny Jaya mendatangi kami, lalu beberapa lama kemudian bapak Wakil Bupati juga datang. Di luar mendung perlahan menggelayut, sinar matahari makin sedikit yang masuk ke dalam rumah, membuat ruang tengah yang luas itu seperti remang-remang. Listrik belum menyala. Seperti biasa, Lanny Jaya baru dialiri listrik sekitar pukul 6 sore sampai kira-kira pukul 10 malam. Listrik masih jadi barang langka di Lanny Jaya.
Sore menjelang, pak Plt. Sekda dan pak Wabup pamit. Kami kembali ke aktivitas, mempersiapkan kegiatan besok. Lalu tiba-tiba hujan turun, yang awalnya cuma gerimis sebelum menjadi hujan besar. Udara dingin mulai mendekap kota Tiom. Persis seperti Tiom yang saya ingat.
Menjelang magrib hujan berhenti, meninggalkan genangan air dan tanah yang basah. Kabut sisa hujan mulai turun mendekap. Sejauh mata memandang, kabut seperti tirai tipis yang menutupi. Malam turun perlahan. Air di bak mandi semakin terasa dingin. Untuk membasuh kaki dan muka saja rasanya seperti membasuh kaki dan muka dengan air es. Beberapa teman dengan gagah berani malah mandi sore, tapi saya tidak. Terima kasih, kata saya. Lebih baik menjauhi kemungkinan sakit daripada harus mengejar rasa segar.
Malam itu kami menikmati makan malam yang begitu nikmat. Nasi putih, ayam goreng kecap, dan sayur bening. Saya harus bilang, sayur di Tiom itu sungguh nikmat. Segar, dan kol atau wortelnya berasa manis. Benar-benar segar dan sehat tentu saja. Mereka tidak pernah memakai pestisida, semua alami dan organik.
Malam saya lewatkan dengan tenang. Tidak terlalu dingin meski untuk tidur saya harus menggunakan kaus kaki, jaket, dan selimut. Tapi tidak seperti beberapa bulan lalu ketika saya begitu kesusahan tidur karena rasa dingin. Tidur kali ini tidak sedingin itu. Sesekali saya harus menarik nafas panjang karena sesak. Di ketinggian seperti itu rasanya oksigen memang lumayan tipis sampai butuh menarik nafas panjang supaya lega.
*****
Pagi hari datang dengan syahdu di Tiom. Kabut tebal menggantung, rasa dingin memeluk, dan tanah basah karena hujan. Saya sempat berjalan-jalan lagi di sekitar guest house, seperti yang biasa saya lakukan. Saya berusaha menghirup semua udara segar di pagi hari di kota Tiom. Memenuhi paru-paru dengan udara segar yang jarang didapat di kota besar. Inilah yang paling saya nikmati di Tiom. Udara segar dan pemandangan aduhai.
Seorang lelaki berjalan cepat dengan tangan di dalam saku. Dia melirik ke saya, tersenyum lebar dan menyapa, “Selamat pagi.” Saya membalasnya sambil mengangguk kecil. Sebuah kehangatan khas Tiom.
Senang bisa kembali ke Lanny [dG]
Tempatnya sejuk, daeng. Menjadi menyenangkan ketika kita kembali ke suatu tempat dengan suasanya yang nyaman dan menyenangkan. Kembali berinteraksi dengan keramahan mereka.
sejuk dan kalau malam dingin banget hahaha
Selalu iri membaca postinganmu, Daeng. Entah kapan bisa kesana.
Saya baru ngeh, ternyata Tiom hanya 2.5 jam perjalanan dari Wamena ya? Berarti gak terlalu jauh juga ya.
Banyak yang bilang memang Papua sedang dikembangkan. Apakah ada terasa perubahan signifikan kala kedatangan kali pertama Daeng dibanding yang kali ini?
kayaknya tidak ada yang benar2 signifikan
soalnya baru beberapa bulan sih jedanya
lihat alamnya jadi teringat dengan hutan jati di kampung saya di Raha sulawesi tengggar, bunga2 anggrek tumbuh bebas,…
2.200 mdpl.. waw.. kebayang dinginnya.. 😀
aku ke Papua hanya sekali, itu pun di Sorong sebentar sebelum bertolak ke Raja Ampat. Papua memang indah banget. semoga suatu saat bisa ke sana lagi!