Cerita Tentang Hutan Papua


Pulau terbesar di Indonesia ini adalah pulau dengan sejuta potensi. Termasuk kekayaan alam dalam bentuk hutan. Berikut adalah sedikit cerita tentang hutan Papua.


Speed boat yang kami tumpangi berjalan dengan kecepatan tinggi di atas sungai yang membelah bumi Asmat. Suara mesin bersanding dengan suara air sungai kecokelatan yang terbelah. Sesekali percikannya mampir ke wajah. Matahari tertutup awan, tidak terlalu menyengat tapi cukup membuat gerah. Angin menerpa seluruh wajah, menggoyangkan topi yang saya kenakan. Saya tidak cukup menutup wajah, hanya topi dan kacamata hitam saja. Sesuatu yang saya sesali beberapa hari kemudian. Wajah saya seperti terbakar, kulit terkelupas dan rasanya perih.

Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan.

Ada suatu masa ketika speed boat yang kami kendarai memasuki anak sungai yang lebih kecil. Di kanan-kiri pepohonan begitu rapat. Akarnya terlihat menjuntai ke sisi sungai, sesekali supir speed boat bermanuver menghindari dahan yang masuk ke sungai.


Saat speed boat kami melintasi hutan Asmat

Dengan mata kepala sendiri saya bisa melihat beberapa burung kakatua berdiri gagah di atas dahan, seperti menatap kami yang melintas. Orang Papua menyebutnya burung Yakob. Entah dari mana asalnya. Mereka terlihat begitu santai, menikmati alam tanpa harus merasa terkungkung dengan rantai di kakinya seperti yang biasa saya lihat di halaman rumah orang di kota-kota besar. Sayang saya tidak cukup lihai memotret mereka karena takut kamera terkena air.

Dari yang saya baca, Papua katanya dihuni oleh sekitar 600an jenis burung. Beberapa di antaranya adalah burung endemik yang hanya ada di Papua. Burung-burung eksotik yang menarik perhatian orang jahat untuk menjadikannya uang.

Ah, soal burung endemik ini saya ingat satu cerita.

Suatu hari di Jayapura, bersama seorang kawan kami berjalan santai menyusuri trotoar ketika seorang pria tiba-tiba mendekat. Dengan nada lirih dia bertanya, “Om, mau beli cendrawasih kah?” Saya terkesiap, berhenti sejenak menatap lelaki itu.

“Mati kah hidup?” Tanya saya.

“Terserah om, ada yang mati sudah diawetkan. Tapi kalau mau yang hidup sa juga ada,” jawabnya.

Kontan tawaran itu saya tolak. Gila aja, kata saya dalam hati. Saya tidak mungkin akan membeli hewan endemik yang dilindungi itu. Apa kata dunia?

Ketika awal-awal pindah ke Jayapura, seorang kerabat yang tahu saya di Papua tiba-tiba menelepon malam-malam. Tidak biasanya, saya pikir ada sesuatu yang penting.

“Bro, bisa nanti carikan burung? Di Papua itu ada banyak burung bagus. Siapa tahu bisa cari, bawa nanti ke Makassar,” katanya dari seberang telepon. Setahu saya dia memang pecinta burung, senang memelihara burung.

Permintaannya tentu saya tolak dengan sopan. Saya tidak mau berurusan dengan hal seperti itu. Bagi saya, burung ya tempatnya di alam bebas. Bukan di dalam kandang, atau dirantai. Apalagi burung endemik Papua. Big no!

Papua yang Kaya

Kalau bicara soal kekayaan alam Papua memang tidak akan ada habisnya. Papua itu buat saya paket lengkap. Mau pantai yang bagus, ada. Mau hutan yang lebat dan menantang, ada. Mau pegunungan yang memukau, banyak! Bahkan, mau salju pun Papua ada. Satu-satunya di Indonesia.

Menurut data yang disadur dari laporan EcoNusa Indonesia tahun 2017, Papua punya hutan seluas 33.710.523,22 hektar[1]. Luas hutan ini terbagi antara Provinsi Papua dan Papua Barat. Provinsi Papua menyumbang luas hutan 25.030.659,04 hektar sementara Provinsi Papua Barat menyumbang angka 8.679.854,18 hektar. Jumlah hutan ini adalah jumlah tutupan hutan terbesar di Indonesia atau setara dengan 27% dari total luas hutan di Indonesia.


Infografis hutan Papua

Hutan seluas itu juga menjadi rumah 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia dan 223 reptil. Benar-benar keanekaragaman hayati terbesar di Indonesia.

Sayangnya, jumlah tutupan hutan itu memang terus mengalami gangguan. Menurut data WRI Indonesia, tahun 2015 tercatat sebagai tahun terburuk untuk hutan Papua. Tingkat kehilangan luas hutan menjadi yang tertinggi, hampir mendekati angka 100.000 hektar. Beruntung karena pemerintah daerah segera meresponnya. Di tahun yang sama, pemerintah Provinsi Papua Barat mengambil langkah untuk melindungi hutannya. Provinsi Papua Barat menjadi provinsi konservasi pertama di dunia[2]. Tahun 2018, provinsi ini juga mengambil langkah untuk meninjau ulang perizinan perkebunan dan kehutanan di wilayahnya[3].


Data kehilangan hutan di Papua (sumber WRI Indonesia)

Hilangnya sebagian hutan Papua memang lebih banyak karena terpaan modernisasi. Banyak hutan yang hilang karena penebangan, baik legal maupun ilegal. Banyak juga hutan yang beralih fungsi. Bahkan banyak juga hutan yang hilang karena penambangan hasil bumi, baik legal maupun ilegal. Kehilangan itu sedikit banyaknya juga berpengaruh pada kehidupan warga di sekitarnya yang selama ini menggantungkan hidup pada hutan.

Beberapa kelompok warga menggantungkan hidup mereka turun temurun dari hasil hutan. Baik dari pepohonan seperti sagu, maupun dari hewan yang hidup di hutan. Di bagian selatan Papua, sudah lazim warga mengonsumsi daging rusa atau bahkan kanguru. Mereka yang hidup di sekitar hutan bakau pun sudah terbiasa untuk mencari kepiting atau ikan yang sangat banyak di sekitar hutan bakau.

Namun, hilangnya hutan-hutan itu secara perlahan juga membuat kehidupan mereka berubah. Makin sulit untuk mencari rusa liar apalagi kanguru. Kepiting dan ikan yang biasanya berkumpul di tepi hutan bakau juga makin sulit dicari. Kebiasaan moderen pun mulai membuat mereka bergantung pada makanan ekspor, yang datang dari luar Papua.


Warga Pulau Tiga, Asmat yang terbiasa mencari makan di hutan

Masih ingat kejadian luar biasa gizi buruk di Asmat awal tahun 2018 lalu? Kejadian ini tidak sepenuhnya karena mereka tidak punya uang untuk membeli makanan, tapi karena ada budaya yang berubah. Bila biasanya mereka menggantungkan diri pada hasil hutan yang penuh gizi, sekarang tidak lagi. Selain karena hasil hutan makin sulit ditemui, mereka pun sudah terbiasa menggantungkan hidup pada makanan moderen yang gizinya kalah jauh dari hasil hutan mereka. Mi instan, minuman berenergi, semua menjadi pengganti sagu atau kepiting. Hasilnya? Gizi mereka tidak terpenuhi.

Inilah salah satu ironi tanah Papua yang kaya.

Lanny Jaya yang Masih Tertidur.

Angin dingin memaksa saya merapatkan jaket. Malam sebentar lagi turun, kabut masih tebal selepas hujan. Saya sedang di Tiom, ibukota Kabupaten Lanny Jaya. Daerah yang sejak tahun 2008 memekarkan diri menjadi kabupaten sendiri, lepas dari induknya Jayawijaya.

Kabupaten ini berada di ketinggian pegunungan tengah Papua, antara 2.200 mdpl. Menurut data dari EcoNusa Indonesia, Lanny Jaya punya hutan seluas 183.439,92 hektar. Dengan luas hutan dan dataran setinggi itu, Lanny Jaya sebenarnya sangat potensial untuk jadi destinasi wisata.

Pertama kali ke Lanny Jaya di bulan April 2018, saya hampir menangis. Sumpah! Pemandangan sekitar kota Tiom dan sepanjang jalan antara Wamena-Tiom adalah pemandangan yang sangat menakjubkan, membuat saya terpukau dan langsung merasa sangat kecil di hadapan alam ciptaan Tuhan.


Salah satu sudut Tiom, ibukota Lanny Jaya

Sejauh mata memandang kita akan melihat hamparan gunung yang berbaris begitu megah. Di puncaknya, awan tipis berarak seperti mahkota di kepala seorang raja. Warna hijau mendominasi, di mana-mana hijau. Sesekali mata akan bertemu hamparan hijau berisi sekumpulan honai dan ebeai, rumah tradisional orang pegunungan Papua bagian timur. Honai dan ebeai ini memang biasanya dibangun di atas hamparan tanah lapang dan berkelompok. Honai untuk lelaki, ebeai untuk perempuan.

Ketika malam tiba, dingin akan memeluk. Suhu di Lanny Jaya biasanya berkisar antara 9 sampai 16 derajat Celsius di malam hari. Buat orang yang terbiasa di kota di tepi pantai seperti saya, rasa dingin ini lumayan menyiksa. Tapi tentu saja memberi sensasi berbeda.

Di pagi hari, udara sejuk akan membuat kita begitu malas untuk bergerak. Kasur jadi terasa sangat posesif, memaksa kita untuk terus berada di atasnya bersama selimut tebal. Tapi, sayang sekali kalau tidak menikmati suasana pagi di Tiom. Suasana sejuk berkawan kabut dan embun. Sesekali rasa hangat menyusup ke dada ketika bertemu warga yang juga menikmati pagi. Mereka akan menyapa dengan senyum lebar atau terkadang senyum tipis malu-malu.

“Selamat pagi,” ah, sungguh sapaan yang selau berhasil membuat saya merasa lebih hangat.


Suatu pagi Tiom, Lanny Jaya

Lanny Jaya ini salah satu daerah yang paling saya favoritkan. Alamnya memang tidak pernah gagal membuat saya berdecak kagum setiap kali menatapnya. Sungguh sebuah tempat yang harusnya bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata, khususnya buat mereka yang menyukai destinasi wisata alam.

“Kita memang sedang merintis wisata alam di Lanny Jaya,” kata mantan Sekda Kabupaten Lanny Jaya, Christian Sohilait dalam sebuah wawancara dengan tim Ring of Fire, Kompas TV. “Rencananya di sekitar pegunungan ini kita mau bikin paralayang, terus ada juga susur gua. Kita punya banyak potensi gua yang bagus sekali di sini,” sambungnya lagi.


https://www.instagram.com/p/B9yjWj5JOVf/
Video IG saya tentang Lanny Jaya

Bukan hanya wisata itu, Lanny Jaya pun sudah terkenal dengan kopinya. Orang menyebutnya Kopi Tiom. Tahun 2018, Kopi Tiom memenangkan lelang kopi dalam acara Festival Kopi Papua. Kopi ini dihargai Rp.5,3 juta per kilonya[4]. Sebuah harga yang cukup fantastis, kan? Di Jayapura saja, sebuah coffee shop melabelkan harga Rp.120.000 per cangkir untuk Kopi Tiom ini. Harga yang sukses membuat saya memilih kopi lain. Saya masih terlalu miskin untuk secangkir kopi seharga Rp.120.000, ha-ha-ha-ha.

Lanny Jaya hanya satu dari sekian kabupaten di Papua yang punya potensi wisata hijau. Kabupaten lain yang juga menurut saya sangat potensial adalah Paniai. Berada di bagian barat pegunungan tengah Papua, Paniai yang punya hutan seluas 327.110,23 hektar ini juga punya potensi wisata yang aduhai. Selain hutan, Paniai punya danau Paniai yang indah hanya saja belum dikelola dengan baik.


Danau Paniai di pagi hari

Saat berbincang santai dengan Bupati Paniai, Meki Nawipa, beliau juga sempat menyinggung rencana untuk mengelola wisata di Paniai. Utamanya memanfaatkan keberadaan danau Paniai yang sangat luas dan potensial itu. Paniai pun punya potensi kopi yang cukup besar. Sekali waktu saya pernah diberi sebungkus kecil kopi bubuk Paniai yang lumayan nikmat.

Masalah memang masih ada. Salah satunya adalah keamanan. Lanny Jaya dan Paniai kadang masih harus berurusan dengan keamanan yang tidak menentu. Tapi, kalau memang mau saya pikir pemerintah daerah mereka bisa melakukannya. Setidaknya saat ini mereka sudah punya niat, tinggal mencari rekanan yang tepat untuk mengembangkan niat itu. Saya yakin Papua berdaya untuk menjadikan tanahnya sebagai destinasi wisata hijau.


Danau Paniai yang memukau

Menjaga hutan dan mensinergikannya dengan wisata sudah bukan hil yang mustahal. Sudah banyak daerah di Indonesia yang berhasil melakukannya. Papua hanya perlu belajar lebih banyak dan berusaha lebih konsisten untuk mencapai tujuan itu. Tapi sekali lagi, kalau sudah niat tidak ada yang tidak mugkin bukan? Apalagi bila memang bisa melibatkan warga asli, Orang Asli Papua yang hidup dan menggantungkan hidup dari hutan dan alam. Mereka bisa dilibatkan untuk menjaga hutan mereka dan meraup untung dari hutan itu tanpa harus mengorbankannya.

*****

Dua tahun lebih di Papua dan saya semakin merasa jatuh cinta pada tanah ini. Jatuh cinta pada alamnya, jatuh cinta pada orang-orangnya, jatuh cinta pada setiap cerita dan ironinya. Kisah-kisah di Papua meninggalkan banyak kenangan buat saya. Selalu ada harapan kalau alam Papua akan terus terjaga, tapi warganya pun tetap menikmati hasil alam. Menikmati tanpa merusak, seperti yang dilakukan oleh leluhur mereka.

Karena bagi orang Papua, alam adalah ibu. Ibu yang memelihara mereka, memberi mereka makan. Jadi sesungguhnya mereka tidak akan sampai hati melukai ibu sendiri. [dG]

*****

Catatan: tulisan ini disertakan dalam kontes Wonderful Papua kerjasama antara Blogger Perempuan dan EcoNusa Foundation.


[1] https://suarapapua.com/2019/08/06/ini-luas-hutan-provinsi-dan-kabupaten-di-papua-dan-papua-barat/
[2] http://thecoraltriangle.com/stories/west-papua-becomes-worlds-first-conservation-province
[3] http://www.mongabay.co.id/2018/05/17/papua-barat-akan-tinjau-ulang-izin-perkebunan-dan-kehutanan/
[4]https://kabarpapua.co/kopi-tiom-papua-termahal-di-indonesia-harganya-rp53-juta-per-kilogram/