Basahnya Bisnis Desah di Papua
Prostitusi ada hampir di mana saja di dunia ini. Bahkan di daerah di Papua yang susah dijangkau.
Pukul 02:30 WIT. Saya terbangun karena suara ribut dari kamar sebelah. Hari itu saya sedang menginap di Agats, ibukota kabupaten Asmat. Tepatnya di hotel Asmat Permai, salah satu hotel terbaik di kota itu. Seperti umumnya semua bangunan di Agats, hotel itu pun seluruhnya dibangun dari bahan kayu. Hanya atapnya yang seng, sementara lantai, dinding dan kolom semuanya kayu. Dinding pemisah antar kamar bahkan hanya dibuat dari triplek. Jadi tidak heran kalau suara dari kamar bisa menembus ke kamar sebelahnya.
Dari kamar di samping saya terdengar suara televisi yang begitu ribut. Lalu sayup-sayup terdengar suara laki-laki dan perempuan bercakap-cakap.
“Sialan!” gerutu saya dalam hati. Saya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dari kamar sebelah yang entah dihuni oleh siapa. Saat kami (saya dan rombongan) masuk sehari sebelumnya, kamar itu masih kosong. Bahkan saat tidur sekitar pukul 10 malam pun, kamar itu masih kosong. Jadi mungkin mereka memang baru masuk.
Dugaan saya benar. Tidak lama kemudian suara orang bercakap-cakap itu sudah hilang, tapi suara televisi masih kencang terdengar menembus dinding triplek. Lalu, tidak lama kemudian sayup-sayup terdengar suara perempuan.
“Ah..ah..oh..oh..”
Kembali saya mengumpat dalam hati. Bagaimana tidak, tidur sudah terganggu, dipaksa pula mendengar suara desahan. Mana saya jauh dari rumah lagi, kan jadi nganuh. Saya sempat menajamkan pendengaran, menempelkan kuping di dinding sebelum yakin betul akan apa yang dilakukan pasangan yang dimabuk birahi di kamar sebelah. Tapi itu hanya saya lakukan sebentar sebelum memutuskan untuk keluar kamar demi ketenangan jiwa.
Bukan Pertama Kalinya
Saya bisa menebak apa yang akan dilakukan pasangan di kamar sebelah dengan tepat, karena kejadian seperti itu bukan yang pertama. Beberapa bulan sebelumnya ketika menginap di hotel yang sama, saya juga sudah mendapati suasana yang sama. Tapi tidak seheboh yang terakhir ini.
Kala itu “suara-suara aneh” juga terdengar dari kamar sebelah meski tidak terlalu keras dan masih dilakukan di jam sebelum jam 10 malam. Jadi, tidur saya tidak terganggu.
Dari penuturan om Ben – penjaga hotel Asmat Permai – pasangan-pasangan tersebut bukan pasangan yang sah. Mereka, kata om Ben sebagian besar adalah penikmat “jajan di luar” alias penikmat jasa PSK. Para perempuan yang menemaninya adalah PSK yang memang beroperasi di kota Agats. Mereka melayani panggilan ke hotel. Sebagian besar pelanggannya adalah para pendatang. Setidaknya itu yang sering saya dapati di hotel Asmat Permai.
Baca Juga: Agats, Kota di Atas Papan.
“Mereka orang-orang dari PU,” kata om Ben ketika kala itu saya bertanya siapa tamu-tamunya yang lain.
Waktu itu, ada empat kamar yang dihuni oleh lelaki-lelaki yang saya taksir berumur tidak lebih dari 30 tahun. Masih terlihat muda. Mereka, kata om Ben, sudah dua minggu di hotel itu. Mereka datang dari Jakarta, menyelesaikan pekerjaan di Asmat dan sebentar lagi akan kembali. Mungkin karena sudah tidak sanggup menahan hasrat, mereka memutuskan menyewa beberapa perempuan untuk menemani.
Saya perhatikan, pagi itu seorang perempuan muda keluar dari salah satu kamar yang dihuni lelaki yang kata om Ben pegawai PU itu. Dia mengetuk salah satu kamar lain, yang ketika terbuka memperlihatkan wajah perempuan muda lainnya. Perempuan yang mengetuk pintu tadi masuk, dan pintu ditutup. Tidak lama kemudian dia keluar bersama perempuan yang tadi membukakan pintu. Mereka lalu berjalan keluar hotel. Dua kamar lain masih tertutup, tidak ada suara ataupun cahaya yang terlihat dari dalam kamar.
Semua pemandangan itu terlihat jelas oleh kami yang duduk di tengah hotel berbentuk segi empat itu. Di tengah memang ada semacam pendopo tempat orang bisa duduk berkumpul. Kebetulan saya dan pak Rara – teman seperjalanan kala itu – sedang menikmati sarapan di pagi yang cerah.
Fragmen singkat tadi menerbitkan rasa penasaran pada kami, lalu meluncurlah beberapa pertanyaan yang dijawab dengan lugas oleh Om Ben yang menemani kami pagi itu.
“Satu jam dua juta, tapi kalau sampai pagi empat juta,” jawab om Ben ketika kami tanya kira-kira berapa tarif untuk mendapatkan layanan dari perempuan-perempuan itu. Jumlah yang sangat fantastis, setidaknya buat saya. Om Ben bahkan sempat menawarkan, siapa tahu kami berminat. Tawaran itu kami tolak dengan halus. Mending beli tiket PP ke Makassar, kata saya dalam hati. Sudah bersih, halal pula.
Perempuan-perempuan itu kata om Ben sebagian berasal dari Jawa, Manado dan Makassar. Dua orang yang tadi berjalan keluar dari kamar itu bahkan akhirnya saya tahu berasal dari Sulawesi Selatan. Saya berpapasan dengan mereka di tempat parkir dan tidak sengaja mendengar mereka bercakap-cakap dengan bahasa Bugis.
Menurut om Ben lagi, mereka tinggal di sebuah kafe di dekat pelabuhan di sisi utara kota Agats. Ada penyalur yang menjamin mereka. Biasanya ketika kunjungan ke Agats sedang tinggi, sang penyalur itulah yang siap membawa perempuan-perempuan itu ke hotel menemui pelanggan. Hampir semua hotel di Agats bisa dijadikan tempat praktik, kecuali hotel milik keuskupan bernama Sang Surya.
Kecenderungan hadirnya para PSK itu tidak lepas dari sejarah kota Agats yang pernah menjadi pusat gaharu di selatan Papua sekitar tahun 80an dan 90an. Kejayaan gaharu mendatangkan banyak orang untuk mengadu nasib. Kayu berharga yang dijadikan bahan baku parfum dan obat-obatan itu ibarat gula yang mendatangkan semut.
Dan ketika semut besar datang, datang pula semut kecil lainnya.
Para pencari gaharu itu sebagian besar memang pria, ada yang masih bujangan tapi banyak juga yang sudah berkeluarga. Jauh dari keluarga dengan iman yang lemah tapi kantong yang tebal membuat mereka mudah saja menuntaskan hasrat dengan jajan. Ada orang yang tahu memanfaatkan situasi ini, lalu mengimpor perempuan dari luar pulau untuk memenuhi hasrat para lelaki kesepian itu. Sang lelaki membutuhkan kehangatan, sang perempuan membutuhkan uang. Maka terjadilah tukar menukar jasa dengan uang.
Ketika kejayaan gaharu perlahan meredup bahkan menghilang, bisnis desahan itu tidak benar-benar meredup. Setidaknya hingga saat ini bisnis itu masih berjalan di Agats, meski pelanggannya sudah berganti.
Bisnis Desah di Atas Gunung
Kalau di Agats ada perempuan PSK, mungkin itu tidak terlalu mengherankan. Maklum, Agats masih termasuk kota di pesisir. Masih mudah dijangkau dengan pesawat atau moda transportasi laut. Tapi, pernahkah Anda membayangkan bisnis desah seperti itu juga ada di daerah gunung yang sulit dijangkau?
Saya memang tidak melihatnya langsung, tapi saya mendengar kisahnya dari beberapa orang di Paniai. Tepatnya di daerah distrik Baya Biru. Daerah ini berada di ketinggian kabupaten Paniai, akses ke sana sangat berat. Hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki berhari-hari, atau menyewa helikopter.
Tapi jangan salah. Kata seorang teman yang sudah pernah ke sana, ibukota distrik itu lebih hidup di malam hari dibandingkan dengan Enarotali, ibukota kabupaten Paniai.
Baca juga: Ini Paniai Bung!
“Kalau malam ramai sekali. Suara musik, sama lampu-lampu. Banyak kafe toh,” kata Erik yang pernah menyambangi Baya Biru.
Kafe-kafe itu menurut Erik tidak hanya menyediakan makanan dan minuman, tapi juga perempuan yang bisa menemani menghilangkan sepi. Informasi itu awalnya cukup mengangetkan buat saya. Bagaimana mungkin di tempat yang sangat jauh dan sulit dijangkau seperti itu, ada juga yang mau berbisnis desah dengan menyediakan PSK?
Tapi informasi selanjutnya membuat saya maklum. Baya Biru ternyata salah satu wilayah kaya emas yang mengundang kehadiran para penambang tradisional. Ada emas berarti ada uang. Ada uang berarti ada modal untuk menuntaskan hasrat di tengah hutan yang jauh dari mana-mana. Sekali lagi, peribahasa ada gula ada semut itu terbukti kebenarannya.
“Maminya itu pernah menginap di sini,” kata ibu Atik, pengelola penginapan Brilian Homestay di Enarotali yang jadi langganan kami. Saya sempat mengobrol sedikit dengan wanita 30an tahun berdarah Jawa itu. Menurutnya, mami-mami yang menyediakan perempuan di Baya Biru biasanya turun ke Nabire untuk merekrut PSK. Mami itu akan menginap dulu di kota Enarotali sebelum menyewa helikopter ke Baya Biru dengan membawa “anak-anak asuh” yang baru.
Sebagai informasi ya, sewa helikopter ke Baya Biru untuk satu kali perjalanan pergi-pulang berkisar antara Rp.70 juta sampai Rp.80 juta. Bila si mami itu sampai rela mengeluarkan modal menyewa helikopter dengan biaya sebesar itu untuk membawa anak asuhnya, maka bisa dibayangkan berapa keuntungan yang akan dia dapatkan dari bisnis desah yang dia kelola di sana.
*****
Kata orang, prostitusi adalah profesi paling tua di dunia. Sudah ada sejak awal peradaban manusia dan tetap ada hingga kini. Menghapuskan prostitusi sepertinya menjadi sesuatu yang hampir mustahil. Kata Srimulat, hil yang mustahal. Selama masih ada peminatnya, maka penyedianya akan tetap ada. Prinsip dasar ekonomi bermain di sini. Padahal selama ini, pemerintah seakan hanya fokus memangkas penyedia jasanya saja tanpa memperhatikan peminatnya. Masih ingat kasus artis yang terjebak kasus prostitusi daring beberapa waktu lalu kan? Dia akhirnya dijerat hukum terungku, tapi tidak dengan lelaki yang menggunakan jasanya. Makanya, sampai kapan pun bisnis desah ini pasti akan tetap ada karena penanganannya tidak pernah benar-benar serius.
Bahkan di Papua, yang kata orang masih termasuk daerah tertinggal pun bisnis ini masih subur. Jangankan di kota pesisir, di daerah nun jauh di gunung sana pun bisnis desah tetap menggema. Kenapa? Karena ada peminat yang tentu saja mengundang para penyedia. [dG]
Sy suka paragraf pertama. Mengingatkan stensilan nick carter dgn augh ooh auhhnya.. ?
Mau nanya om
Nd papaji itu nama hotel disebut?
Daerah pesisir mmg mayoritas rentan berdiri tempat bisnis lendir ini krn daerah berlabuh. Harusx pmerintah stempat bs lbh sidak lg dgn hal sperti ini.
nda apa2 sih karena di Asmat hampir semua hotel bisa menerima tamu begitu, tapi mereka tidak menyediakan
Waktu baca judulnya saya kirain sengaja typo desa jadi desah eh ternyata maksudnya “bisnis mendesah?”
Ternyata bisnis desah di Papua ini sudah merajalela dimana-mana ya, termasuk di Papua. Di kota kelahiran saya juga, ada beberapa tempat yang sudah terkenal dengan tempat “bisnis desah” yang wanita PSKnya itu rata-rata pendatang terutama dari Manado
Dan yah benar seperti yang dikatakan Daeng, bisnis desah ini akan tetap ada bahkan semakin merajalela selama masih ada yang menyediakan tempat untuk begituan dan gak ada juga yang menanganinya secara benar-benar serius.
itu yang jadi kekurangan dari penanganannya karena selalu hilir yang dikorek sementara hulu atau penikmatnya nda pernah diganggu gugat
Di mana-mana ada peminat. Jadi yaa, begitu deh … Selalu saja ada orang yang berani menanam modal.
Jadi penasaran sama mami-mami itu, kenapa sampe tega menjual kaum sendiri.
Woowww 70-80 juta untuk sekali naik heliKopter??
Baiklah aku akan buka cabang GRAB Heli ?
Untuk nyari lahan basah, si mami rela merogoh kocek yang woowww. Merinding saja kalau ingat Papua termasuk propinsi yang berkategori tinggi tingkat penyebaran virus HIV-nya