Meniti Kerinci; Bertemu Orang-orang Luar Biasa di Kayu Aro

Kebun teh di kaki Gunung Kerinci

Bagian ketiga sekaligus penutup dari perjalanan meniti Kerinci.

GERIMIS BARU SAJA BERHENTI, jalan masih basah dan aroma hujan menusuk hidung. Perlahan mobil kami meniti jalan beraspal yang tidak seberapa lebar, menukik, sesekali berbelok ke kanan dan ke kiri.

Hamparan kebun teh dengan warna hijau yang merajai pandangan menghampar di depan. Langit abu-abu, halimun berarak di ketinggian, menutupi tubuh Kerinci. Kerinci adalah gunung berapi tertinggi di pulau Sumatra (3.805 m), berdiri tegak di antara dua provinsi; Jambi dan Sumatra Barat. Hari menjelang sore ketika kami memasuki Kayu Aro, kota terakhir di kaki Kerinci di wilayah Jambi.

Kayu Aro begitu padat, sebagian besar dihuni oleh pendatang dari Jawa. Mereka sudah ada di sana turun temurun sejak jaman kolonial. Kayu Aro juga terkenal sebagai kebun teh tertua di Sumatra, bahkan kebun teh tertinggi kedua di dunia setelah Darjeeling di kaki Himalaya, India. Perkebunan teh Kayu Aro sudah ada sejak tahun 1925, perusahaan pertama milik Belanda yang mengusahakannya adalah Namblodse Venotschaaf Handle Vereniging Amsterdam (NV HVA).

Sekarang teh di sana dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VI. Teh terbaik dari Kayu Aro diekspor ke luar negeri, bahkan sampai ke Inggris yang memang terkenal sebagai negeri para penikmat teh. Sisanya dengan kualitas jauh di bawahnya dikonsumsi orang Indonesia.

Kebun teh di mana-mana, di mana-mana kebun teh

Selain teh, Kayu Aro sebenarnya juga terkenal dengan hasil bumi lainnya seperti kentang dan kopi. Dua hasil bumi terakhir memang menyusul kemudian. Luas lahannya tentu saja tidak seluas lahan teh yang saking luasnya terlihat seperti hamparan karpet hijau maha luas.

Terletak di ketinggian 1.600 Mdpl, udara Kayu Aro lumayan dingin. Sesekali tiupan angin yang terasa menusuk ke tulang memaksa saya merapatkan jaket. Jendela mobil memang sengaja kami buka, rugi rasanya membiarkan udara segar itu digantikan AC mobil.

Sebelumnya, kami berkunjung ke kota tua Sungai Penuh. Kisahnya ada di sini

Kami menginap di Family Home Stay, salah satu penginapan terbaik di Kayu Aro. Sebagai kota yang punya keindahan alam yang menyejukkan mata, Kayu Aro juga bertransformasi jadi salah satu tujuan wisata. Di hari-hari tertentu, kota kecamatan itu akan sesak oleh para wisatawan dan para pendaki. Kayu Aro memang gerbang terakhir buat para pendaki yang ingin mendaki Gunung Kerinci.

kayu Aro
Sebagian kota Kayu Aro dari belakang Family Home Stay

*****

“KAMI SIH MAUNYA PETANI juga bisa jadi businessman,” kata Suryono, pria 30an tahun berdarah Jawa yang kami temui sore menjelang magrib.

Dialah narasumber utama kami, sosok yang membuat kami harus menjajal jalan berliku ratusan kilometer hingga ke Kayu Aro. Pria bertubuh gempal dengan janggut panjang dan celana cingkrang yang memperlihatkan mata kakinya itu adalah warga Kayu Aro. Dia petani, tapi ternyata bukan petani biasa.

Dari obrolan panjang sore dan malam hari itu, kami menemukan fakta menarik tentang pria ini. Dia benar-benar seorang petani sekaligus enterpreneur. Saya menyebutnya farmerpreneur. Dia menggabungkan kemampuan bertani dengan bermacam-macam ilmu bisnis yang didapatkannya dari beragam pelatihan dan pergaulan dengan pelaku bisnis.

Uniknya, dia tidak hanya memikirkan keuntungan buat dirinya sendiri tapi juga buat para petani di Kayu Aro.

Dengan kemampuan berorganisasi dan berbisnis, dia membuka jalan kepada para petani untuk mengembangkan kemampuan mereka. Bukan hanya soal bertani, tapi juga berbisnis.

“Kentang para petani di sini sudah ada yang sampai ke Uni Emirat Arab,” katanya. Sekadar gambaran bagaimana lihainya dia menjalin komunikasi dan membuka jaringan hingga jauh ke negeri seberang.

Obrolan dengan Suryono begitu menyenangkan di sore yang dingin selepas gerimis tipis. Kami duduk di teras belakang sebuah kafe sederhana berlantai dua milik warga desa sekitar situ. Kafe itu belum sempurna, masih dalam proses pengerjaan. Menunya pun belum lengkap, bahkan pelayannya masih gagap ketika saya tanya: biji kopi apa yang ada?

Di depan mata saya, desa-desa yang masuk dalam kecamatan Kayu Aro menghampar. Terlihat padat dan berakhir di lahan kosong sebelum bertemu kaki bukit di ujung sana. Di kejauhan, bukit-bukit hijau berdiri kokoh, bermahkotakan awan di ujung kepalanya. Kerinci ada di belakang kami, sama sekali belum menampakkan diri, didekap awan dan halimun.

kayu Aro
Pemandangan di belakang kafe tempat kami duduk

Suryono terus bercerita tentang kehidupan para petani di Kayu Aro. Tentang panen kentang, tentang kopi dan tentang bagaimana para petani itu berorganisasi, menguatkan kelembagaan mereka, saling berjejaring dan saling bertukar informasi.

“Mereka komunikasinya lewat grup WhatsApp,” kata Suryono.

Saya tersenyum lebar mendengarnya. Luar biasa! Pikir saya, petani yang moderen karena mampu memanfaatkan teknologi.

*****

HARI MASIH PAGI, MATAHARI BELUM TERLALU TINGGI. Panasnya belum terlalu menyengat, apalagi pagi itu awan seperti enggan membiarkan matahari bersinar garang.

Bersama Afdhal, kami duduk di lantai rumah kayu dua lantai dengan jendela kaca yang besar menghadap ke kebun. Seorang pria kaukasia duduk di depan kami, mengisap rokok Gudang Garam Surya dengan canggung.

Dialah pemilik rumah itu. Namanya Erik (setidaknya itu yang saya dengar), warga negara Jerman yang menikah dengan wanita Indonesia dari Kayu Aro. Bersama dua anaknya, mereka tinggal di tengah kebun di kaki Kerinci. Selain berkebun, mereka juga membuat guest house yang disewakan untuk para wisatawan.

Saya kehabisan bahan bercerita, pun dengan Afdhal. Si pria Jerman itu lebih banyak menjawab pertanyaan kami dengan “iya” atau “tidak”. Sesekali juga dia hanya mengangguk atau menggeleng. Sungguh suasana yang canggung. Ketika saya tanya apakah dia bisa berbahasa Indonesia, dia menjawab: iya, meski saya tidak yakin dia lancar berbahasa Indonesia.

Di tengah kecanggungan itu, datanglah seorang perempuan muda yang memarkir motornya di depan rumah. Di tangannya ada satu kantung plastik bening berisi kue tradisional. Wajahnya terlihat cerah dengan dandanan sederhana, jaket kaos berwarna ungu, rok bercorak hitam-putih dan jilbab kaos menutupi kepalanya. Dia terlihat sangat muda, saya taksir masih pertengahan 20an. Tadinya saya kira dia pengurus rumah itu, atau keluarga sang pemilik. Ternyata, dialah istri Erik.

Namanya Erna Yunita, wanita berdarah Jawa yang lahir dan besar di Kayu Aro. Hampir satu jam kemudian, kami bertiga bertukar cerita dengan hangatnya. Berbeda dengan Erik yang lebih banyak diam, Erna justru sangat cerewet dan nyaris tidak bisa diam. Cerewet dalam arti yang positif tentu saja.

Erik menyingkir begitu kami bertiga sudah berbincang dengan akrabnya. Entah karena dia canggung atau tidak nyaman.

“Jeruknya ya kami biarin gitu aja. Kadang busuk sendiri,” kata Erna.

Di jalan masuk ke rumahnya kami memang bertemu dengan banyak pohon jeruk mandarin. Buahnya yang kuning karena matang menyeruak di antara daun yang hijau. Dibiarkan begitu saja, tidak dipanen.

Hasil yang melimpah tidak diikuti dengan jejaring distribusi yang bagus. Akibatnya, jeruk tidak bertemu pembeli. Kalaupun ada pembeli, harganya sangat murah dan bahkan kata Erna kadang bikin sakit hati. Makanya, petani lebih sering membiarkan jeruknya busuk di pohon begitu saja.

Erna menunjukkan bawang yang ditanamnya

Ini juga berlaku untuk buah labu siam. Di atas tanah kami menemukan labu siam yang membusuk, jatuh dari tangkainya dan dibiarkan begitu saja. Saya dan Afdhal hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Membayangkan betapa banyaknya ibu-ibu yang akan mengelus dada melihat labu siam dan keruk mandarin yang dibiarkan matang bahkan jatuh membusuk.

Tapi hal seperti ini memang kerap terjadi di beberapa daerah yang begitu subur. Beragam hasil kebun kadang terlalu melimpah sementara mereka kesulitan mencari pembeli. Akibatnya, hasil kebun itu tidak tersalurkan dan dibiarkan begitu saja.

“Kami sedang belajar mengolah jeruk menjadi selai jeruk,” kata Erna lagi. Bersama kelompok perempuannya, mereka memang mencari cara lain agar jeruk itu bisa berguna, tidak hanya sebagai buah-buahan saja yang kadang membusuk tak tersalurkan.

Kebetulan Erna memang didapuk menjadi ketua kelompok perempuan Pelangi Arabica. Bersama mereka mencari cara meningkatkan kemampuan berorganisasi, berjejaring dan bertukar pengetahuan sambil mencari keterampilan baru. Selai jeruk adalah usaha baru mereka.

“Cari di YouTube aja, kan banyak di sana,” jawab Erna ketika saya tanya darimana semua pengetahuan itu mereka dapatkan.

Sekali lagi saya berdecak kagum dalam hati. Jauh di kaki Kerinci ternyata para petani dan perempuannya sudah tahu bagaimana memanfaatkan teknologi. Saat banyak orang di kota besar sibuk menyebar hoaks, bertengkar tidak jelas di media sosial, petani dan perempuan di Kayu Aro mereguk manisnya internet dan media sosial.

*****

Petani kentang di kaki Kerinci

KAMI MENINGGALKAN KAYU ARO sekira pukul 10 pagi. Sempat berhenti sejenak di pos pendakian Kerinci dan bertukar sapa dengan petani kentang, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lebih kurang tiga jam hingga ke Padang.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang ibukota Sumatra Barat itu, kecuali begitu mudahnya menemukan rumah gadang dengan atap yang mencuat di kedua sudutnya. Saya hanya semalam di Padang sebelum terbang kembali ke Makassar.

Masjid Agung Sumatra Barat

Mungkin di lain waktu saya bisa kembali ke sana, menikmati Padang dengan rentang yang lebih lama.

Dan berakhirlah perjalanan meniti Kerinci yang mengesankan itu.

— Tamat — [dG]