Masjid Al Hilal, Masjid Tertua di Gowa

Masjid Tua Katangka
Masjid Tua Katangka

Masjid Al Hilal hanya berjarak sekira 1 km dari rumah saya, tapi kalau tak salah ini baru ketiga saya menjejakkan kaki di masjid yang jadi masjid tertua di Kabupaten Gowa ini.


Sore berpayung awan kelabu. Saya memarkir motor di halaman barat masjid tua Katangka itu, halamannya luas dilapisi paving block. Di sebelah selatan berserakan makam, sebagian di antaranya makam tua yang tampak dari bangunan berbentuk limas yang sudah mulai terkelupas dimakan usia. Sebagian lagi makam baru, terlihat dari keramik yang melapisinya.

Saya menyusuri bagian utara masjid tua Katangka itu, melewati halaman samping yang sudah diberi atap dan lantainya ditegel rapi. Dari bagian utara saya menuju ke bagian timur dan memutar ke bagian utara. Di sana masih ada beberapa makam tua berbentuk limas, saya hitung jumlahnya ada 5 makam. Air menggenang di makam itu, rasanya tidak mungkin bisa mendekatinya.

Posisi makam yang lebih rendah dari tanah dan bangunan di sekitarnya membuatnya tergenang ketika musim hujan tiba.

“Kalau tidak tinggi air, saya bisa antarki ke sana. Ada yang bagus di sana.” Kata seorang ibu yang datang mendekat ketika melihat saya asyik memotret. Ibu itu sekaligus mengawasi anak kecilnya yang sedang asyik bermain air di area masjid tua Katangka itu.

Arah yang ditunjuk ibu itu adalah sebuah makam tua yang sebagian kakinya terendam air. Dia mengaku warga di sekitar situ, sudah tinggal sejak turun temurun. Katanya lagi makam tua itu sebenarnya dirawat dengan baik oleh orang dari dinas purbakala Kabupaten Gowa, tapi sayang karena posisinya yang lebih rendah sehingga mau tidak mau tetap akan tenggelam ketika hujan datang.

Saya mengobrol sejenak dengan ibu itu, tapi tak banyak yang bisa saya kulik. Dia memberikan informasi yang sama dengan yang biasa saya temukan di internet dan bacaan lainnya. Hanya satu informasi baru yang saya terima, katanya setiap menjelang Ramadhan masjid itu akan diramaikan oleh para jurnalis dan fotografer.

“Banyak pasoting.” Katanya. Pasoting adalah bahasa Makassar yang berarti tukang syuting, merujuk kepada para kameramen.

*****

Suara shalawat tarhim terdengar dari pengeras suara masjid tua Katangka yang terletak di bangunan puncak di atas atap. Saya bergerak ke dalam masjid, melalui sebuah gerbang tebal yang tak seberapa tinggi. Saya taksir tinggi gerbang berbentuk kotak dengan bagian dalam berbentuk setengah lingkaran itu tak lebih dari 4 meter. Bagian tengah gerbang yang bisa dilalui sendiri mungkin hanya setinggi 2 meter lebih. Meski tidak terlalu tinggi tapi tebalnya sekira 2 meter, sangat tebal untuk ukuran bangunan sekarang.

Arsitektur gerbang itu mengingatkan saya pada arsitektur bangunan tua peninggalan kolonial di banyak tempat di Indonesia. Saya belum pernah ke Eropa, tapi saya taksir bentuk seperti ini adalah bentuk yang lazim di Eropa.

Saya masuk ke dalam masjid tua Katangka , ada dua pintu besar yang menyambut pengunjung untuk masuk ke bagian pertama yang serupa teras tapi tertutup atap dan dinding. Di bagian ini ada tempat wudhu di sisi kanan dan kiri. Tiga pintu lainnya menghubungkan teras itu dengan bangunan utama masjid tua Katangka . Total ada 5 pintu yang konon adalah perlambang 5 rukun Islam.

Karena waktu sholat belum masuk, belum ada jamaah yang datang. Saya jadi orang pertama. Saya beringsut ke dinding utara masjid tua Katangka , menaruh tas dan jaket di dekat sebuah jendela besar dengan ukiran yang serupa ukiran dari Jawa. Jendela itu diletakkan di ujung dinding setebal 120 cm, di antara jendela dan dinding dalam ada ruang yang cukup untuk ditempati duduk. Melihat tebal dindingnya saya berdecak kagum membayangkan kokohnya masjid tua ini.

Di sekitar masjid total ada 6 jendela besar, konon ini melambangkan 6 rukun iman, sementara itu ada 4 tiang besar dengan arsitektur Eropa yang menopang atap. Jumlah tiang itu melambangkan 4 sahabat utama Rasulullah SAW.

Di bagian barat berdiri sebuah mihrab yang diapit dua tombak dengan dua bendera berwarna putih dan hijau. Di bendera itu terukir dua kalimat syahadat. Mihrab itu sendiri mengingatkan saya pada bangunan Tionghoa karena ujung atapnya yang melengkung seperti ujung atap klenteng. Sejak dari gerbang sampai bagian dalam masjid tua Katangka setidaknya saya sudah menemukan banyak ragam arsitektur, mulai dari arsitektur lokal, Jawa, Eropa sampai Tionghoa.

Masjid tua Katangka kerap disebut Masjid Syech Yusuf, merujuk pada ulama besar dari Kerajaan Gowa yang akhirnya dibuang oleh VOC dan mangkat di Capetown Afrika Selatan. Masjid ini bernama asli Masjid Al Hilal, dibangun tahun 1603 oleh Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin. Struktur bangunan masjid ini sangat kokoh, konon karena masjid ini juga pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan kerajaan Gowa ketika berperang melawan VOC.

Di belakang masjid tua Katangka ada 7 makam besar yang isinya adalah jasad raja Gowa, di sekitarnya ada banyak makam-makam kecil yang konon adalah makam para pengikutnya. Kondisi makam memang sangat memprihatinkan, dindingnya terkelupas dimakan usia, terendam di musim hujan dan benar-benar seperti terlupakan.

Kondisi makam itu seperti mengingatkan saya pada kondisi Gowa, kerajaan yang di abad 16 sampai abad 17 menjadi salah satu kerajaan besar di Nusantara kini seperti terlupakan. Terseok-seok mengais identitasnya di tengah modernitas yang semakin tak tertahankan.

Beruntung masih ada Masjid Tua Katangka, masjid yang masih mampu menggambarkan kejayaan Islam di kerajaan Gowa ini, ratusan tahun lalu. [dG]

Video Masjid Tua Katangka