Abdul Rahim dan Pekatnya Kopi Kalosi
Di Enrekang saya bertemu dengan seorang pemuda yang berhasil mengembangkan kopi Kalosi, kopi khas Enrekang.
MALAM MULAI TURUN DI KOTA ENREKANG, saya masih tergolek di kamar hotel sederhana yang disewakan panitia. Ini kali kedua saya ke Enrekang tahun ini, kalau sebelumnya atas undangan teman-teman pegiat literasi kota Enrekang, maka kali ini atas undangan Perpustakaan Daerah Enrekang. Mereka meminta saya membawakan materi videografi dalam acara Pekan Literasi yang diadakan Perpustakaan Daerah Enrekang.
Kisah ketika akhirnya saya kembali ke Enrekang bisa dibaca di sini
“Kak, ada ki di Enrekang?”
Sebuah pesan singkat masuk di aplikasi WhatsApp. Dari Imam Rahmanto, seorang kawan blogger yang bekerja untuk sebuah media massa lokal. Rupanya sekarang dia ditugaskan di Enrekang, kota tempat lahirnya.
Singkatnya, Imam mengajak ketemuan malam itu. Katanya dia mau memperkenalkan sebuah tempat ngopi yang asyik di Enrekang. Ajakannya saya terima meski sebenarnya saya masih agak kurang sehat. Beberapa hari sepulang dari Tanete, flu menyerang dan malam itu kepala masih agak berat. Tapi tinggal di kamar bukan pilihan yang bagus, saya harus bergerak. Siapa tahu kopi juga bisa membantu menyembuhkan flu.
*****
HAMPIR SATU JAM KEMUDIAN saya sudah duduk bersama Imam di sebuah warung kopi yang berada di tepi jalan Jenderal Sudirman, kota Enrekang. Tepatnya di Mountain Café, Jalan Jenderal Sudirman No. 54.
Kafe itu sederhana, dinding bagian dalamnya dari anyaman bambu sementara bagian luarnya hanya ada dinding rendah sekira 75cm dari bambu. Sisanya tiang-tiang bambu yang menopang atap rumbia. Lebarnya tidak lebih dari 8m dengan panjang ke belakang sekira 6m. Sebelah kanan ada coffee bar sederhana tempat barista meracik kopi. Lantainya tanah yang ditimbun dengan batu split (batu gunung atau batu kali yang dipecah kecil-kecil),
Seorang pria muda berdiri di belakang coffee bar. Tubuhnya sedang, bahkan cenderung kurus. Di luar kaus putih lengan panjang yang dia kenakan tersemat sebuah apron, khas para barista. Namanya Abdul Rahim Razak, tapi akrab disapa Im atau Rahim. Pria kelahiran 1989 itulah yang jadi pemilik Mountain Café sekaligus Gallery Anak Kampung, sebuah galeri daring yang memajang beragam hasil kreasi warga di Enrekang dan beberapa daerah lain di sekitarnya.
Satu server kopi disajikan di atas meja. Kopi hitam jenis Arabika Kalosi itu saya tuangkan ke gelas kecil lalu saya teguk. Rasanya memang pahit dengan body yang agak keras, pun dengan after taste-nya. Tapi keasamannya tidak terlalu keras, agak berbeda dengan Arabika dari Toraja yang biasa saya teguk.
Saya dan Imam masih terus mengobrol seputar kopi Kalosi dan Enrekang, sampai kemudian Rahim bergabung dengan kami setelah semua pesanan telah selesai. Dengan semangat dia mulai bercerita kepada kami.
*****
SEMUA BERAWAL DARI KEGIATANNYA sebagai pecinta alam. Tahun 2011 hingga 2013, Rahim menjadi ketua KPA Generasi Muda Pecinta Alam Massenrempulu (GEMPA Maspul). Di saat yang sama dia juga menjadi PKSM atau Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat.
Kebiasaan mendaki gunung Latimojong dan melihat langsung kehidupan warga di kaki gunung itu rupanya menghadirkan sebuah pemikiran lain. Rahim melihat beberapa sisi hutan di kaki Gunung Latimojong mulai gundul akibat penebangan liar. Warga menggunduli hutan dan mengambil kayunya untuk dijual. Sebagai penyuluh kehutanan, Rahim tentu berusaha menghilangkan kebiasaan itu, tapi tentu saja tidak mudah.
“Waktu pertama-tama itu kita hampir diusir warga. Mereka bilang ‘kenapa kau mau larang kita tebang pohon? Kalau tidak begitu, kita mau makan apa?’”Ujar Rahim.
Penolakan itu tidak memadamkan semangatnya. Rahim lalu menggunakan pendekatan melalui kopi, tanaman yang sejatinya sudah lama ditanam oleh warga di kaki Gunung Latimojong. Mereka memang sudah lama menanam kopi, tapi tidak pernah terlalu serius menggarapnya. Hasilnya, panen begitu-begitu saja, tidak pernah berhasil mengangkat kesejahteraan mereka.
Untuk urusan kopi, Enrekang sebenarnya juga punya potensi. Salah satu kopi yang paling terkenal dari Sulawesi Selatan adalah kopi Kalosi jenis Arabica yang asalnya dari Enrekang. Kata “Kalosi” bahkan sudah digunakan oleh banyak penyangrai di dunia sebagai merek dagang. Sayangnya, ada kekeliruan dalam penggunaan kata “Kalosi”. Sebagian besar orang menganggap kopi Kalosi berasal dari Tana Toraja, bukan Enrekang.
“Ini juga yang coba kita luruskan,” kata Rahim.
Berbekal pengetahuan tentang kopi dan kemampuan mengorganisir warga, Rahim kemudian mulai mengembangkan produk kopi Kalosi dari beberapa desa di kaki Gunung Latimojong. Beberapa penghasil kopi Kalosi yang terkenal adalah: Latimojong, Nating, Bone-Bone, Benteng Alla, Patekkong, Lapin, Sipate, Buntu Madong dan Curio. Kopi dari daerah-daerah itulah yang coba dikembangkan oleh Rahim.
“Saya lebih fokus di pascapanen dan distribusi,” katanya. Untuk urusan penanaman, Rahim memang tidak mau ikut campur lebih jauh, menurutnya warga sudah tahu betul bagaimana menanam dan merawat pohon kopi. Sesuatu yang sudah dilakukan turun temurun selama ratusan tahun. Rahim bahkan memperlihatkan foto sebuah pohon kopi berusia 100 tahun lebih.
“Kekurangan mereka hanya di pascapanen, masih ada kesalahan-kesalahan pascapanen, dari mulai proses menjemur, menyangrai hingga kemasan,” lanjutnya lagi. Kesalahan-kesalahan inilah yang coba diperbaiki oleh Rahim. Pria yang juga pernah menempuh pendidikan barista tahun 2016 di Lembang ini mendampingi warga untuk memperbaiki proses pascapanen itu. Hasilnya, kualitas kopi Kalosi warga di desa-desa dampingannya makin meningkat dan berhasil menarik perhatian konsumen.
Khusus untuk penjualan, Rahim kemudian mencoba berbagai cara dan model pendekatan kepada konsumen. Beberapa café dan warung kopi di Makassar sudah menjadi konsumen tetap mereka, selebihnya adalah pembeli-pembeli yang bahkan datang dari luar pulau Sulawesi.
Rahim juga membuat sebuah website yang diberi nama galleryanakkampung.com. Di website inilah beragam kopi dari desa dampingannya dijajakan. Bukan hanya kopi Kalosi, tapi juga hasil kreasi warga di Enrekang dan daerah tetangg dipajang di sana. Dalam sebulan, omzetnya bisa mencapai Rp. 15 juta, seperti yang dikutip dari surat kabar Tribun Timur.
*****
SAYA MENABURKAN SESENDOK KECIL GULA MERAH halus ke gelas kopi, mengaduknya sebentar sebelum mencoba mencicipinya. Wah! Rasanya jadi semakin enak, kata saya dalam hati. Paduan antara pahitnya kopi Kalosi dengan manis gula merah yang pekat membuat kopi jadi terasa lebih kental.
“Gula merah itu juga hasil bikinan warga,” kata Rahim. Rupanya selain mendampingi petani kopi, Rahim juga mendampingi warga penghasil gula merah di Kecamatan Maiwa, Enrekang. Hasilnya adalah palm sugar, gula merah halus yang bisa digunakan untuk beragam keperluan.
Malam itu Rahim dengan penuh semangat menceritakan beragam kegiatan yang dilakukannya di beberapa desa di kaki Gunung Latimojong. Beberapa presentasi Power Point dari laptopnya dia perlihatkan, isinya tentang dokumentasi kegiatan dan rencana jangka panjang dari kegiatan mereka.
Rahim juga memperlihatkan beberapa foto yang memperlihatkan perubahan besar dari tahun 2008 ke 2017. Sebuah lahan yang dulunya gundul akibat penebangan liar sekarang sudah berubah kembali hijau. Warga sudah tidak lagi merasa perlu menebang hutan karena toh hasil kebun kopi mereka sudah cukup untuk menopang hidup. Mereka sudah berhasil memaksimalkan kebun kopi yang sudah ada turun temurun di desa mereka. Kopi pun menjadi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang secara tidak langsung menghindarkan hutan dari penggundulan yang merugikan.
Ada juga seorang pria yang menganggap kopi sebagai istri keduanya. Namanya Koh Heri.
Malam makin larut, namun obrolan semakin menarik. Sayangnya, saya harus pamit karena flu yang masih berdiam di tubuh. Besok masih ada acara dan saya harus tetap fit untuk bisa mengisi acara itu. Dengan berat hati saya akhirnya pamit, meninggalkan Mountain Café dengan kenangan akan rasa kopi Kalosi yang begitu pekat dan kental.
Keesokan harinya saya bangun dengan tubuh yang lebih segar. Entah karena istirahat yang cukup, entah karena bergelas-gelas kopi Kalosi yang saya minum malam sebelumnya. Ah, kopi memang tidak pernah gagal membuat hari saya lebih cerah. [dG]
anak muda yang hebat… semoga semakin banyak pemuda yang tidak hanya peduli pada dirinya sendiri…tapi juga peduli dengan masyarakat sekitarnya…