Jalan Panjang Ke Kalumpang
Sebuah perjalanan berat tapi berkesan menuju Kalumpang.
“Siap-siap ki bawa tenda kak. Kalau tinggi air, kita bermalam itu.” Kata Yuyun, Field Officer yang akan menemani perjalanan dinas kali ini.
Ucapannya itu saya anggap lelucon saja, saya belum bisa membayangkan seekstrem apa perjalanan ke Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat yang jadi tujuan kali ini. Yuyun bilang medannya berat, tapi tidak terlalu ekstrem. Konon kami harus melewati beberapa anak sungai yang di musim hujan bisa meluap dan memutus jalur menuju Kalumpang.
Perjalanan akan sangat seru, kata saya dalam hati. Terbayang perjalanan berat ke desa Setarap di Malinau yang saya tempuh setahun yang lalu.
Selamat Tinggal Aspal
Seturun dari pesawat, saya masih sempat menghabiskan beberapa menit di kantin bandara bersama Yuyun dan Ewing, supir yang akan membawa kami. Memutakhirkan cerita tentang pekerjaan di Mamuju dan tentu saja detail perjalanan kami kali ini. Menjelang pukul 10 pagi, kami akhirnya mulai bergerak ke utara kota Mamuju.
Empat puluh lima menit pertama dihabiskan dengan jalanan yang berkelok-kelok, naik turun bukit dengan aspal yang mulus. Saya bahkan sempat tertidur beberapa menit sebelum akhirnya terbangun ketika tubuh mulai terguncang. Jalanan aspal berhenti tepat di desa Salubatu, kecamatan Bonehau. Sisanya adalah jalan aspal yang seolah dibangun ketika Soekarno masih jadi presiden republik ini. Aspal tua yang compang-camping, menyisakan jalan tanah berbatu kerikil. Bukan jalan yang nyaman buat mobil Avanza yang kami kendarai. Ah, selamat tinggal aspal, kata saya dalam hati.
Belum lepas siksaan jalanan berbatu itu, di depan kami sebuah anak sungai memotong jalan. Lebarnya sekira 10 meter, air jernihnya memperlihatkan bebatuan kecil di dasar sungai. Tidak ada riak yang berarti, sungainya bisa dibilang tenang. Meski tenang, bukan berarti sungai itu tidak berbahaya.
“Terakhir lewat sini mobil kami dibawa arus, terputar sampai nyaris 90 derajat.” Kata Yuyun.
Hari itu kami beruntung, mobil Avanza abu-abu tua yang kami kendarai bisa melewati sungai dengan lancar. Arus tidak terlalu kuat, jadi tidak usah khawatir mobil akan terseret. Lalu, apakah itu berarti masalah selesai? Oh tentu tidak.
Sungai kecil tadi adalah pembuka. Selanjutnya, selama empat jam ke depan kami masih harus melewati anak sungai seperti itu, besar dan kecil. Dari perhitungan kami, total ada 21 anak sungai yang kami lewati. 14 anak sungai kecil dengan lebar antara 2-3 meter dan 7 anak sungai yang besar dengan lebar lebih dari 3 meter. Tidak ada jembatan sama sekali. Jembatan hanya ada di sungai yang benar-benar lebar dan berarus kuat.
Kami berpapasan dengan beberapa motor yang juga susah payah menyeberangi sungai kecil yang juga kami seberangi. Susah payah karena jalanan menuju sungai akan sedikit menukik, penuh dengan batu dan tanah yang licin. Lalu setelah melewati sungai kami akan menanjak, juga melewati tanah berbatu dan licin.
Di satu anak sungai mobil kami sampai terperangkap di tengah tanjakan. Susah payah untuk menanjak karena ban terperangkap di tanah basah berlumpur. Beruntung ada empat orang warga yang lewat dengan motor. Salah seorang dari mereka menawarkan diri menjadi supir, tiga lainnya bersama saya dan Ewing membantu mendorong mobil sampai keluar dari perangkap tanah basah dan berbatu.
Insinyur Jepang perancang Avanza pasti akan geleng-geleng kepala kalau melihat bagaimana kami memperlakukan mobil ciptaannya. Avanza tidak dirancang untuk medan seberat itu, tapi mau bagaimana lagi? Hanya ada mobil itu, dan terpaksalah mobil kota itu dipaksa melewati medan yang seharusnya diciptakan Tuhan untuk mobil dobel gardan.
Sebelum tiba di desa Kalumpang, kecamatan Kalumpang, kami mampir dulu di desa Bonehau, kecamatan Bonehau. Setelah menyelesaikan tugas di sana, kami bergerak menuju desa Kalumpang. Matahari sedang tertutup awan, tapi tidak ada tanda-tanda hujan bakal turun. Untunglah, karena kalau saja hujan turun maka perjalanan kami pasti akan semakin berat.
Berat karena jalur desa Bonehau – Kalumpang melewati sebagian besar jalan tanah yang sedang dalam tahap pengerjaan. Jalan tanah itu sedikit berlumpur, mobil kami sempat terjebak di satu jalur berlumpur. Bau karet terbakar menguap ke udara, masuk ke dalam hidung ketika Avanza itu dengan susah payah dipaksa melewati kubangan lumpur. Sekali lagi, bayangan para insinyur Toyota yang geleng-geleng kepala tergambar di benak saya.
Setelah melewati medan yang saya yakin tak bisa dilewati Rio Haryanto dengan mobil F1-nya itu, kami akhirnya menyentuh desa Kalumpang menjelang sore. Perut yang minta diisi sejak beberapa jam yang lalu akhirnya bisa tenang setelah kami menikmati makan siang yang sangat terlambat di satu-satunya warung makan yang ada di desa itu. Seporsi mie instan, telur masak dan segelas kopi cukuplah untuk mengganjal perut.
Kalumpang Yang Menyimpan Cerita.
Sebuah bukit kekar berdiri tegak di seberang sungai. Lekukan tubuhnya dipenuhi warna hijau rerumputan. Di kakinya, pepohonan menghijau bergerombol. Di depannya sungai lebar yang saya taksir lebih dari 100 meter berair deras mengalir. Bukit itu terlihat angkuh bermandikan matahari sore, menatap ke selatan, ke desa Kalumpang yang berada tepat di depannya.
Desa Kalumpang yang jadi ibukota Kecamatan Kalumpang dihuni lebih dari 2000 jiwa. “Waktu saya jadi kepala desa tahun 2000, warganya sudah 1.700 jiwa.” Kata Yulius Bunga, pria tua pemilik pengiapan Lulu. Satu dari dua penginapan di desa yang belum semua dialiri listrik PLN itu.
Kami menghabiskan malam di penginapan mantan anggota DPRD kabupaten Mamuju tahun 1999-2004 itu. Kamarnya sederhana tapi luas. Dua ranjang kayu berkasur busa dengan satu meja kayu dan satu lemari kayu menjadi isinya. Di satu sisi ada kamar mandi yang besarnya sekira 2.5×3 meter dengan air bening pegunungan yang terus mengalir sepanjang hari karena kerannya longgar.
Peginapan Lulu berada dekat mulut desa, hampir berhadapan dengan sekolah dasar. Di desa itu ada tiga sekolah; sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah kejuruan. Di sekolah menengah kejuruan itu ada dua jurusan; komputer dan pertanian. Luar biasa juga, di desa yang jauh dari kota dengan akses sesulit itu ada juga sekolah khusus komputer.
“SMA hanya ada di desa sebelah, tapi warga di sini lebih suka menyekolahkan anaknya ke Mamuju.” Kata pria tua itu. Akses yang sulit menjadi alasan, lebih baik sekolah di Mamuju dan mondok di sana daripada harus bolak-balik desa tetangga yang medannya berat.
Konon penginapan Lulu adalah langganan para pejabat daerah ketika mereka ke Kalumpang untuk urusan dinas. Beberapa calon anggota dewan yang sedang berkampanye pun melewatkan malam di penginapan berlantai dua itu. Tidak ada pilihan lain, bolak-balik Mamuju – Kalumpang rasanya terlalu berat untuk dijalani dalam satu hari.
“Desa ini juga sering kedatangan antropolog dan peneliti.” Kata pak Yulius. Dia bercerita tentang beberapa gua purbakala yang ada di tepi desa Kalumpang.
Gua-gua itu kabarnya menyimpan banyak cerita tentang manusia purba Austronesia yang jadi leluhur orang Indonesia. Bukti itu didapatkan dari sisa peninggalan berupa tembikar dan peralatan batu. Disinyalir mereka sudah menempati daerah itu sejak 3.800 tahun yang lalu.
Waktu kami terlalu singkat di Kalumpang. Saya tidak sempat mengeksplorasi desa itu, hanya berputar beberapa jenak di pagi hari sambil mencoba melintasi jembatan gantung yang rebah di atas sungai berarus deras. Tidak sampai di ujung saya sudah menyerah, jembatan yang bergoyang dan arus sungai yang deras membuat saya pusing. Saya terpaksa kembali.
Kami meninggalkan Kalumpang keesokan harinya sambil berharap hari itu cerah. Hujan sedikit saja kami harus lebih berhati-hati. Sungai kecil yang jinak itu bisa berubah ganas dan membesar, konsekuensinya kami terpaksa harus menginap menunggunya jinak kembali. Dengan matahari yang cerah seperti itu saja mobil kami masih sempat terperangkap di kubangan lumpur, apalagi kalau hujan?
Empat jam perjalanan sebelum akhirnya kami kembali bertemu aspal dan sinyal selular. Kami kembali ke kehidupan yang nyaman, sementara mereka warga Bonehau dan Kalumpang masih terus berkutat dengan jalan yang berat, campuran antara aspal bolong-bolong dan jalan tanah yang berlumpur di musim hujan. Entah sampai kapan pemerintah daerah tergerak hatinya untuk melanjutkan aspal mulus sampai ke Bonehau dan Kalumpang. [dG]
Konon di Bonehau banyak durian, masih ada kah tersisa Daeng? 😀
btw, selamat ya, sukses punya pengalaman menyeberangi 21 anak sungai, hehehe..
dasar parakang durian :p
Beuh…Keren skali jembatanx. . .?
Dari detail ceritanya saja saya membayangkan ketika saya ke pedalaman Enrekang 10 tahun lalu, melewati anak sungai dan jalanan yang berlumpur. Sudah menjadi cerita umum, desa-desa yang terpencil selalu kurang perhatian dari pemerintah setempat.
Semoga dengan tulisan ta’ menjadikan pemerintah setempat sadar kalau masih banyak hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan.
ini juga salah satu hambatan bagi pariwisata. Aksesnya masih susah. Padahal banyak daerah di Indonesia yang menarik untuk didatangi
Keren lho….kapan yah bisa berpetualang di kampung sendiri