Dilema Wisata Indonesia

ilustrasi
ilustrasi

Minggu lalu saya menemukan sebuah artikel tentang sebuah tempat bernama Pulau Sempu di Malang. Artikel ini sayangnya bukan artikel wisata yang mengajak orang ke pulau indah itu, tapi justru melarang orang untuk datang ke sana.

Sepintas artikel itu terlihat aneh. Pulau sedemikian indahnya kenapa harus dijauhkan dari orang-orang? Bukankah itu tidak sejalan dengan nafas memajukan pariwisata Indonesia yang sedang giat digalakkan dalam beberapa tahun belakangan ini? Eits, jangan salah sangka dulu. Kalau membaca artikel itu banyak orang akan mengerti kenapa pulau dengan pemandangan indah itu memang sebaiknya tidak didatangi orang, apalagi dalam rombongan besar.

Pulau Sempu masuk dalam kawasan cagar alam yang artinya punya sesuatu yang berbeda dengan tempat-tempat lain, punya kekhasan yang seharusnya dijaga jangan sampai berubah atau malah rusak. Nah karena tempat itu adalah cagar alam maka seharusnya tempat itu steril dari para wisatawan, tidak boleh sembarangan orang masuk ke sana. Hanya orang-orang dengan tujuan khusus dan ijin khusus yang boleh masuk. Peneliti misalnya.

Itu idealnya, tapi kita tidak hidup di negeri yang ideal. Kabarnya pemerintah daerah sendiri malah mempromosikan area cagar alam itu sebagai area wisata, ijin yang seharusnya ketat nyatanya bisa keluar dengan mudah. Walhasil penuhlah pulau Sempu itu dengan para ABG yang datang bukan untuk meneliti tapi menjajah alam seenak perut mereka, membuang sampah plastik dan membuat keributan yang mengganggu.

*****

Suasana seperti di atas terdengar familiar tidak di telinga kalian? Suasana ketika sebuah tempat wisata yang tadinya sepi, bisa dinikmati dengan tenang dan nyaman tiba-tiba riuh dengan para wisatawan yang tidak semuanya datang dengan ketenangan yang sama.

Di Sulawesi Selatan ada satu tempat wisata baru yang sedang naik daun. Namanya Pantai Apparalang, terletak di Kabupaten Bulukumba, tidak jauh dari Tanjung Bira yang sudah lebih dulu terkenal. Pantainya unik karena berada di antara tebing sehingga kita bisa melihat pemandangan menawan dari ketinggian. Kita bisa melihat pemandangan yang merupakan gabungan antara laut biru dan kehijauan dengan karang yang kokoh.

Eh, kita? Bukan kita, tapi mereka yang sudah pernah ke sana. Saya belum pernah ke sana meski sebenarnya saya tertarik.

Masalahnya, tempat itu yang awalnya adem ayem dan jauh dari hiruk-pikuk manusia tiba-tiba jadi penuh dan riuh di akhir pekan oleh para wisatawan. Suasananya kayak lebaran hari pertama, kata teman saya yang pernah ke sana pas di akhir pekan. Bayangkan sendiri bagaimana suasana lebaran hari pertama itu seperti apa.

Coba baca tulisan Lelaki Bugis yang baru saja dari sana.

Kejadian-kejadian seperti ini sudah sangat biasa terjadi di sekitar kita, bukan? Masalahnya memang jadi pelik karena orang-orang yang datang itu tidak semuanya mengerti tentang bagaimana menjaga keindahan alam. Ada juga orang yang datang dengan seenaknya saja, hanya mengejar eksistensi biar dibilang kekinian.

Datang, foto-foto, upload lalu pulang. Syukur-syukur kalau mereka tidak membuang sampah sembarangan. Kalau sudah datangnya ramai-ramai, ribut bercengkerama lalu buang sampah sembarangan, bukankah itu bikin kesal?

Makanya beberapa traveler pernah saya dengar merasa menyesal sudah memperkenalkan satu tempat wisata. Tentu alasannya karena setelah tempat wisata itu terkenal orang kemudian berbondong-bondong datang dan tanpa pengawasan yang tepat serta pengelolaan yang baik, tempat yang tadinya aman tenteram itu berubah jadi riuh seperti pasar yang tidak dikelola.

Ada juga beberapa traveler yang kemudian jadi pelit untuk membagi cerita tentang sebuah tempat indah yang mereka datangi. Mereka hanya memajang foto keindahannya saja tanpa mau memberi tahu nama tempat tersebut atau bagaimana ke tempat tersebut. Bisa dipahami, tentu alasannya karena mereka tidak mau tempat indah itu nanti jadi kotor dan riuh, apalagi kalau ternyata tempatnya masih gampang dijangkau.

Memang jadi dilema ketika di satu sisi kita sangat ingin memperkenalkan keindahan alam Indonesia tapi di sisi yang lain kita takut keindahan itu akan rusak oleh ulah wisatawan yang juga manusia Indonesia. Ini yang masih jadi tugas bersama, tugas kita yang mencintai alam indah ini dan sekaligus suka menikmatinya.

Saya pernah bilang, inilah fungsi dari komunitas pejalan. Komunitas yang tidak hanya mengajak orang-orang untuk berwisata menikmati keindahan alam tapi sekaligus menjaga keindahannya minimal dengan mematuhi etika bergaul dengan alam. Kalau makin banyak komunitas pejalan dengan niat yang seperti itu maka saya yakin keindahan alam kita juga akan terus terawat. Tapi kalau tidak, ya siap-siaplah melihat satu per satu keindahan alam itu rusak justru oleh tangan-tangan kita sendiri. [dG]