Damai di Sentani
Danau Sentani, danau yang sudah lama membuat saya penasaran dan akhirnya bisa saya kunjungi. Danau yang menawarkan rasa damai di suatu sore yang mendung.
Di Indonesia saya hanya mengenal 3 danau; Toba, Matano dan Sentani. Sentani pertama saya kenal dari sebuah majalah fotografi keluaran akhir tahun 1990an. Di majalah itu terpapar gambaran kehidupan warga di sekitar danau Sentani lengkap dengan lukisan alam yang menggoda. Sejak saat itu saya penasaran dengan danau terbesar di pulau Papua ini.
Rasa penasaran akan danau Sentani sempat tenggelam lama sampai akhirnya saya mendapat pekerjaan yang mengharuskan saya terbang ke Papua. Setelah melihat tiket, saya baru sadar kalau bandara yang saya datangi nanti bernama bandara Sentani. Sontak bayangan akan danau Sentani yang indah di majalah fotografi itu muncul kembali ke permukaan.
Bagaimana sebenarnya danau Sentani itu? Benarkah dia seindah yang digambarkan orang?
Sampai akhirnya saya tiba di perjalanan dari bandara Sentani ke Jayapura yang menyusuri pinggiran danau Sentani. Dalam hati saya bergumam; oh ini toh danau Sentani? Ketika saya tiba langit sedang digelayuti mendung, kaca mobil yang saya tumpangipun memang gelap sehingga saya tidak bisa melihat jelas keindahan danau Sentani.
Tapi meski begitu saya harus mengakui kalau danau Sentani memang indah. Hamparan air di danau seluas 9.360 Ha itu nampak tenang, berpadu dengan deretan perbukitan di sekelilingnya. Di tengah-tengah danau teronggok pulau-pulau kecil. Sebagian di antaranya berpenghuni yang terlihat dari atap rumah yang menyembul di antara pepohonan, sebagian lagi tampak tak berpenghuni. Hanya ada pohon dan rumput yang menghijau.
Di sepanjang jalan yang saya telusuri menuju kota Jayapura kehidupan tampak berdenyut dengan danau Sentani sebagai pusatnya. Warga mendirikan rumah di tepi danau, sebagian mendirikan keramba sebagai bagian dari budi daya ikan gabus endemik Sentani. Bukan cuma itu, ?di salah satu sisi Sentani ada kompleks prostitusi besar yang dikenal dengan nama Sentani Kiri.
Dari tepi jalan terlihat puluhan rumah yang berserakan di punggung bukit. Di depan kompleks Sentani Kiri ada tulisan besar “Anda memasuki wilayah 100% wajib kondom”. Suasana kompleks selalu terlihat sepi di siang hari, entah di malam hari.
Tak jauh dari pusat kota Sentani ada satu daerah yang menjadi kawasan wisata. Namanya Kalkhote. Setiap tahun di tempat ini selalu diadakan festival danau Sentani yang berisi beragam gelaran budaya Papua, ritual adat dan tentu saja makanan khas Papua. Saya sempat mampir di Kalkhote, sayangnya karena sedang tidak ada festival daerah ini terlihat sepi. Hanya ada satu panggung besar yang dinaungi atap permanen di depan lapangan luas. Mungkin di situlah festival danau Sentani dipusatkan.
Sentani berarti “di sini kami tinggal dengan damai”, nama yang diberikan oleh seorang misionaris yang datang pada kisaran tahun 1898. Ketika tiba di salah satu sisinya, tepatnya di kawasan Kalkhote saya merasakan alasan kenapa nama itu disematkan pada danau Sentani. Suasana damai sangat terasa di sore hari yang mendung. Beberapa orang ibu atau yang disebut mama-mama mendayung perahu kecil di tengah danau. Di sisi tempat saya berdiri beberapa perahu teronggok malas.
Mama-mama dengan perahunya Perahu malas di tepian SentaniSejauh mata memandang hanya ada air dan bukit yang berbaris memanjang. Puncak bukit-bukit itu diselimuti awan putih, di kejauhan terlihat rumah kecil dengan deretan rumah penduduk. Benar-benar pemandangan yang damai dan menyejukkan.
Itu belum seberapa, ketika berbalik ke belakang tampak pegunungan Cyclops berdiri tegak menantang. Pegunungan ini memang berdiri tepat di depan danau Sentani, tinggi menjulang dengan awan putih yang selalu berarak di puncaknya. Sore yang mendung terasa lebih damai.
Saya memang belum sempat menikmati banyak sisi danau Sentani, hanya sempat melihatnya dari dekat dan menikmati kuliner di tepiannya. Sentani masih tetap danau yang menumbuhkan rasa penasaran bagi saya. Dalam jadwal pekerjaan yang saya terima ada satu kampung di danau Sentani yang harus saya datangi, terus terang ini membuat saya gembira. Kalau memang sempat dan tidak ada halangan berarti saya punya kesempatan untuk melihat langsung kehidupan warga di danau Sentani dari dekat.
Damai yang saya rasakan di danau Sentani kala itu memang belum lengkap, itulah kenapa saya tetap menyimpan rasa penasaran untuk kembali lagi ke sana. Mudah-mudahan saya memang bisa kembali lagi ke sana. [dG]
Jadi kangen kota kelahiran Jayapura…
Memang betul-betul indah dan kelihatan nyaman.