Cerita Singkat Dari Pontianak
Sayang saya tidak atau belum mengeksplor banyak kota Pontianak dan kota sekitarnya, jadi belum bisa cerita banyak. Saya baru sampai pada cerita kalau saya sudah pernah ke Pontianak.
Salah satu tempat yang saya datangi pertama kali di tahun 2023 adalah Pontianak. Ibu kota Kalimantan Barat yang juga terkenal sebagai kota yang berada di garis khatulistiwa. Makanya kota ini punya tugu khatulistiwa yang menandai garis ekuator yang melintasi Pontianak. Setelah sekian lama mendengar namanya, akhirnya di tahun lalu saya menginjakkan kaki di Pontianak, lalu diulang lagi awal tahun ini.
Seperti Kota Lain di Kalimantan
Saya tidak punya ekspektasi apapun tentang Pontianak. Saya membayangkan kotanya mungkin akan sama dengan kota lain di Kalimantan yang pernah saya datangi. Panas, berdebu, dan jadi tempat persinggungan banyak etnis.
Dan ternyata mirip.
Saya menemukan topografi yang hampir sama dengan kota lain di Kalimantan. Tidak ada dataran tinggi, tidak ada pegunungan yang terlihat menghampar, dan tentu saja ada sungai lebar yang membelah kota.
Kalimantan memang tidak seperti Papua misalnya, yang akrab dengan dataran tinggi dan dengan mudah menemukan hamparan bukit dan gunung. Di Pontianak, sejauh mata memandang yang ada ya dataran rendah. Makassar malah lebih mudah menemukan gunung dan bukit yang menghampar di kejauhan.
Lalu seperti kota lain di Kalimantan, sungai juga menjadi sangat akrab dengan kota dan warganya. Sungainya pun tidak main-main, tidak seperti sungai di Makassar yang bagi orang Kalimantan mungkin hanya dianggap parit. Saking kecilnya bila dibandingkan dengan sungai di Kalimantan.
Soal panas, sebenarnya tidak aneh kalau Pontianak panas. Letaknya saja berada di garis khatulistiwa, garis ekuator. Hanya saja saya beruntung karena tiba di Pontianak ketika musim panas tidak sedang ada di puncaknya. Bahkan kedua kali ke sana, saya bertemu hujan. Jadi lumayan adem. Saya bahkan bilang ke teman yang orang Pontianak kalau ternyata Pontianak tidak sepanas yang saya bayangkan.
“Kamu di ruangan terus sih. Coba keluar pas tengah hari,” katanya.
Persinggungan Etnis
Dan seperti yang saya bayangkan, Pontianak juga jadi tempat bertemunya banyak etnis. Orang Dayak, Banjar, Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Makassar, Madura, Batak, Bugis, Makassar, orang Tionghoa, dan sepertinya banyak lagi etnis lainnya.
Tapi dari semua itu, saya ingin menyoroti kehadiran orang Tionghoa di Pontianak. Kebetulan saya selalu menginap di hotel yang berada di kawasan pecinan sehingga terasa sekali pengaruh mereka pada kehidupan sehari-hari di Pontianak.
Bahkan sejak dari pesawat menuju Pontianak pun saya sudah mulai terdikstraksi dengan banyaknya orang Tionghoa yang menuju Pontianak. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Kek (sepertinya). Awalnya saya kira mereka ini orang asing, tapi kemudian mereka switch ke bahasa Indonesia dengan sangat mulus yang membuat saya yakin mereka ini adalah orang keturunan. Sama seperti orang Jawa yang ngobrol dengan bahasa Jawa dengan sesamanya, lalu berpindah ke bahasa Indonesia ketika mengobrol dengan orang etnis lain yang tidak mengerti bahasa Jawa. Semudah itu.
Saya agak jarang kalau tidak bisa dibilang tidak pernah menemukan orang Tionghoa mengobrol dengan bahasa daerah mereka di Makassar. Biasanya Tionghoa Makassar lebih sering berbahasa daerah Makassar, bukan bahasa Mandarin. Ini agak berbeda dengan orang Tionghoa di Pontianak.
Kalimantan Barat memang cukup akrab dengan orang Tionghoa. Bahkan kalau kalian tahu, ada daerah bernama Singkawang yang dihuni banyak etnis Tionghoa. Di sana mereka jadi “orang biasa”, bukan seperti stigma selama ini bahwa orang Tionghoa pasti kaya, punya toko, pengusaha, hidup enak. Tidak. Dari cerita yang saya dapat, di Singkawang, orang Tionghoa yang hidup seperti biasa. Ada yang jadi tukang becak, petani, bahkan ART.
Saya ingat, dulu ada saudara teman saya yang bekerja di Singkawang. Ketika balik ke Makassar, dengan nada bangga dia bilang, “Tahu nda? Di sana pembantuku itu orang China.” Ini bukan bermaksud rasis, tapi sebuah hal lucu karena di Makassar biasanya sebaliknya, orang Tionghoa yang menjadi majikan.
Karena kuatnya pengaruh Tionghoa di Pontianak, makanan pun akhirnya banyak yang berasal dari etnis Tionghoa. Olahan mi, makanan berkuah, sampai sea food semua penuh dengan pengaruh Tionghoa. Dan buat saya, itu yang membuat makanan di Pontianak enak-enak.
Persinggungan dengan beragam etnis ini membuat Pontianak memang jadi sangat kaya. Kaya dari budaya, dari sajian kuliner, dan bahkan dari ragam ceritanya. Sayang saya tidak atau belum mengeksplor banyak kota Pontianak dan kota sekitarnya, jadi belum bisa cerita banyak. Saya baru sampai pada cerita kalau saya sudah pernah ke Pontianak.[dG]
yang saya tahu dari Pontianak adalah “pisang ponti” dan “coipan”
Pasti panas sekali di sana apalagi pertengahan tahun lalu sampai menjelang akhir tahun. Di Makassar saja panasnya sudah sangat menyengat.
Sebenarnya saya tunggu-tunggu cerita kuntilanak dari kota itu. Karena katanya itu kota kuntilanak. Tapi sampai selesai baca, ternyata tidak ada. Hehehe.