Kolombia 2: Berangkat!
Lanjutan dari tulisan pertama tentang perjalanan ke Bogota, Kolombia. Tulisan pertama bisa dibaca di sini.
“Bapak ke Kolombia urusan apa? Berapa hari di sana? Sudah ada tiket pulang? Boleh saya lihat?”
Itu deretan pertanyaan dari petuas maskapai Qatar Airways, Jumat 21 Juni 2024 di bandara Soekarno Hatta. Ini pertanyaan standar, karena bukan hanya petugas imigrasi yang bertanya seperti itu tapi juga petugas maskapai. Mereka harus memastikan kalau calon penumpang tidak punya masalah di negara tujuan yang bisa menyebabkan mereka dilarang masuk. Kenapa? karena kalau sampai itu kejadian, maskapai yang harus menanggung pemulangan si penumpang. Biaya lagi, repot lagi. Karena itu mereka bisa jadi seperti petugas imigrasi yang memeriksa kelengkapan dokumen penumpang sebelum naik pesawat.
“Silakan pak. Selamat jalan,” kata petugas tersebut setelah memeriksa semua kelengkapan berkas saya. Di tangannya ada tiga lembar boarding pass. Satu untuk Jakarta-Doha, satu untuk Doha-Madrid, dan satu untuk Madrid-Bogota.
“Barang saya bagaimana pak?” Tanya saya
“Ambil di Bogota saja. Bapak tinggal terima beres,” jawabnya.
Karena dia tidak menyinggung-nyinggung soal visa transit, berarti seharusnya semua aman. Tadinya saya sempat galau soal visa transit ini. Takutnya kalau saya harus punya visa transit ketika transit di Doha atau Madrid. Tapi dari hasil penelurusan di Google, kalau semua penerbangan masih satu maskapai – walaupun dioperasikan oleh maskapai lain sebagai mitra mereka – kita tidak butuh visa apapun karena kita tidak keluar dari bandara sama sekali. Meski begitu, tetap saja ada rasa kuatir kalau saya ternyata butuh visa transit. Sudahlah, kita lihat nanti saja.
Bismillah! Mari kita jalan.
Etape Pertama.
Perjalanan ini memang akan sangat panjang, dibagi menjadi tiga etape. Etape pertama, Jakarta-Doha (Qatar) yang akan ditempuh dengan waktu 8 jam penerbangan. Di Doha saya akan transit selama 8 jam, lalu melanjutkan ke etape berikutnya; Doha-Madrid (Spanyol) yang ditempuh selama lebih kurang 8 jam. Di Madrid saya akan menunggu selama 2 jam 15 menit sebelum lanjut ke etape terakhir; Madrid-Bogota (Kolombia) yang ditempuh dengan waktu 10 jam penerbangan. Total perjalanan dengan transit adalah 36 sampai 37 jam, itu belum termasuk perjalanan dari Makassar ke Jakarta dan waktu menunggu di bandara Cengkareng. Total lebih dari 40 jam perjalanan selepas dari rumah.
Bukan perjalanan yang singkat.
Di konter imigrasi pertanyaan yang lebih kurang sama dengan pertanyaan petugas maskapai juga dilontarkan bapak-bapak berseragam biru tua. Saya menunjukkan semua dokumen yang sudah saya cetak dan saya siapkan. Dari undangan, pemesanan hotel, sampai tiket balik. Semua dokumen diperiksa dengan seksama sebelum akhirnya si bapak membubuhkan stempel di paspor saya.
“Selamat jalan,” katanya.
Dan saya melenggang ke ruang tunggu internasional. Kepala dipenuhi dengan banyak pikiran. Dari bayangan akan perjalanan yang panjang dan melelahkan, sampai ketakutan akan penolakan di imigrasi Kolombia atau hal-hal buruk lain yang bisa saja terjadi. Saya memang begitu, suka overthinking kata anak sekarang.
Pukul enam sore lewat sedikit, panggilan boarding untuk penumpang Qatar Airways bergema. Saya mengantre bersama beberapa penumpang lain, lalu perlahan masuk ke dalam tubuh burung besi itu. Saya duduk di kursi 32A, seperti yang biasa saya lakukan. Kalau bisa memilih kursi, saya memang selalu memilih bagian belakang dan dekat jendela sebelah kiri. Itu bagian favorit saya.
Ketika perlahan pesawat Qatar Airways bergerak menuju runway, beragam pikiran masih berkecamuk di kepala.
“Apakah perjalanan akan lancar? Apakah akan ada hambatan? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Tapi kalau ini bagaimana?” Dan banyak lagi.
Hingga akhirnya saya mengucap bismillah dalam hati. Mari kita jalan!
Doha yang Wow!
Saya harus mengakui kalau Qatar Airways ini adalah pesawat paling enak yang pernah saya tumpangi. Mungkin karena pengalaman saya naik pesawat tujuan internasional memang masih sedikit, atau memang Qatar Airways ini yang tidak biasa.
Kursinya enak, empuk, dan nyaman. Mereka juga memberikan satu paket gratis berisi kaus kaki, penutup mata, dan penutup lubang kuping yang bisa dipakai dan dibawa pulang. Belum lagi bantal dan selimut yang tidak bisa dibawa pulang. Makanannya melimpah dan enak, begitu juga dengan minumannya. Hiburan di pesawatnya juga film-film yang tergolong baru. Kalau sandaran kursinya dimiringkan ke belakang, bantalan kursi yang kita duduki bergerak ke depan. Seperti kursi kereta api kelas executive atau bisnis. Pokoknya benar-benar memanjakan penumpang. Saya sampai bertanya-tanya, kalau kelas ekonomi saja senyaman ini bagaimana dengan kelas bisnis dan first class ya? Pasti jauh lebih nyaman.
Tapi saya tentu saja tidak iri pada mereka yang bisa membeli tiket bisnis dan first class, itu rezeki mereka. Saya lebih baik berpikir bagaimana caranya bisa tidur sepanjang perjalanan. Dan Antimo adalah penyelamat! Saya menelan satu pil Antimo, bukan supaya tidak mabuk tapi supaya bisa tidur. Buat saya ini cukup ampuh karena sepanjang perjalanan saya lebih sering tidur. Hanya bangun ketika ditawarkan makan, sekali ke kamar kecil, dan menjelang tiba di Doha. Mungkin sekitar 5 jam saya tertidur di pesawat.
Sekitar pukul 11 malam waktu Qatar, burung besi dengan gambar domba warna merah marun di bagian ekornya itu mendarat di Doha, tepatnya di bandara internasional Hamad. Saya mengemasi barang, memasukkan paket komplementari dari Qatar Airways ke tas, termasuk paket milik tetangga sebelah kursi yang tidak disentuhnya. Lumayan buat oleh-oleh, kata saya. Maklum bos, orang kampung yang masih norak naik Qatar Airways ha-ha-ha-ha.
Lalu perlahan saya ikut turun dari pesawat, lau naik ke bis menuju terminal kedatangan, dan berjalan mengikuti penumpang ke bagian transfer. Beberapa petugas bandara memberi instruksi ke mana kami harus menuju.
“Transfer this way,” katanya sambil menunjuk arah yang harus kami lalui.
Karena semua penerbangan dilakukan oleh satu maskapai, jadi saya tidak harus melakukan check in ulang lagi. Saya mengikuti alur saja, berjalan ke arah pemindaian x-ray untuk masuk ke ruang tunggu. Boarding pass sampai Bogota sudah di tangan, barang saya pun akan terbang ke Bogota dan tidak perlu saya urus di tengah jalan.
Begitu keluar dari pemindaian x-ray dan turun ke lantai satu saya baru sadar betapa besarnya bandara ini. Eh maaf, bukan besar tapi: buesaaaar! Dan ramai. Sudah hampir pukul 12 malam waktu Doha, tapi ratusan orang masih berlalu-lalang di bandara itu. Sebenarnya saya lebih melihatnya sebagai mal daripada bandara. Saking besarnya. Beragam merek mahal ada di sana, dari pakaian, tas, jam tangan, alat ektronik, parfum, dan entah apalagi. Semua punya konter yang mewah. Benar-benar pemandangan mal, bukan bandara.
Hal pertama yang saya lakukan adalah: mencari ruang merokok. Dan ternyata di tiap terminal di bandara Doha ada. Bahkan bisa lebih dari satu di tiap terminal. Kita hanya perlu jalan agak jauh dan menajamkan mata untuk bisa melihat ruangan kecil dengan gambar ikon rokok. Di ruangan merokok itu saya bertemu dua orang Indonesia – satu orang Makassar – yang baru saja balik dari Saudi Arabia, menunaikan ibadah haji lewat “jalan tikus”. Tapi tidak usah saya ceritakan, biarlah itu jadi cerita kami di ruang merokok.
Puas merokok saya mencari ATM, saya butuh membeli makanan dan minuman karena perut mulai keroncongan meskipun di pesawat saya sudah makan. Sebelum berangkat saya sudah bertanya ke sepupu yang bekerja di Mandiri, soal apakah kartu debit saya bisa dipakai di luar negeri atau tidak. Karena ada logo Visa di kartu debit saya maka artinya saya bisa menggunakannya di merchant mana saja yang menerima transaksi dengan kartu Visa, termasuk menarik uang tunai di ATM berlogo Visa. Saya hanya kena biaya Rp.20.000,- sekali penarikan. Saya menarik 100 Qatari Real, lembaran terkecil yang ada di mesin ATM.
Tidur di Bandara Doha
Selesai makan roti dan minum kopi, saya bergeser mencari tempat tidur. Oh saya lupa bilang kalau di bandara Doha kamu mudah saja berkomunikasi dengan petugas atau siapapun yang bekerja di sana dengan bahasa Inggris. Ini karena mereka semua datang dari berbagai ras dan negara, jadi bahasa Inggris jadi bahasa pemersatu. Ini tidak saya temukan di bandara Madrid dan Bogota. Sebagian besar mereka hanya bisa berbahasa Spanyol dan sedikit bahasa Inggris dengan terbata-bata.
Oke, sekarang mari kita cari tempat tidur. Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 2 dini hari waktu Qatar. Dari yang saya baca di internet, ada banyak tempat tidur atau tempat istirahat di bandara Hamad yang ditandai dengan “Quiet Room”. Ini adalah ruangan kecil yang memungkinkan penumpang untuk beristirahat di dalamnya. Ada kursi-kursi yang landai dan bisa dipakai tidur dan ada karpet tebal yang tetap nyaman untuk tidur.
Saya masuk ke salah satu quiet room itu, membuka pintu perlahan dan menemukan pemandangan seperti layaknya barak pengungsian. Orang-orang (kebanyakan laki-laki) tidur di lantai, bergelimpangan dengan suara ngorok bersahutan. Sebagian besar adalah orang Afrika yang terlihat dari pakaian tradisional mereka. Semua kursi untuk tidur sudah terisi, jadi mau tidak mau saya harus mencari karpet yang kosong.
Beruntung di salah satu bagian ruangan itu ada bagian yang lowong. Pas untuk tidur. Saya menaruh tas, mengamankannya sebisa mungkin, dan mengeluarkan sarung. Ruangan itu dingin sekali meski sudah penuh dengan orang yang tidur. Saya memasang penutup mata, menutup kepala dengan kupluk, membungkus badan dengan sarung, dan meletakkan kepala di atas bantal leher yang menemani saya sepanjang perjalanan. Mari kita tidur!
Saya memasang alarm pukul 5:30, walaupun penerbangan saya masih pukul 7 pagi. Dan tidak butuh lama saya sudah terlelap. Mungkin suara ngorok pria Afrika di samping saya ikut menjadi musik pengantar tidur selain tentunya rasa capek setelah penerbangan 8 jam dari Jakarta. Ada sedikit rasa kagum menyelinap di dada. Saya sudah sangat jauh dari rumah, jarak terjauh dari yang pernah saya lalui. Tapi ini baru sepertiga perjalanan.
Saya tidur sekitar dua jam lebih dan terbangun sekitar pukul setengah 5. Meski lelap, saya masih cukup awas. Saya bangun, memastikan semua barang saya masih aman, dan beranjak dari quiet room itu. Tujuan saya selanjutya adalah mushallah yang berada tidak jauh dari quiet room. Solat subuh dulu, dan berdoa semoga perjalanan dilancarkan.
Suasana mushallah sangat ramai. Bukan ramai oleh mereka yang solat, tapi ramai oleh mereka yang tidur. Saya sampai kesulitan mencari tempat kosong untuk solat. Padahal jelas-jelas di dinding mushallah ada tulisan yang melarang siapapun untuk tidur di dalam mushallah. Tapi melawan peraturan adalah sebuah hal yang menyenangkan kadang-kadang, apalagi ketika kita merasa sangat terdesak.
Oh ya, meski bandara ini sangat besar dan megah tapi menurut saya ada satu kekurangan yang cukup esensial: urinoirnya bukan urinoir muslim yang ada airnya buat cebok. Jadi agak repot untuk cebok selepas kencing. Bahkan bandara Madrid yang mayoritas pengelolanya non muslim masih lebih bagus karena ada keran untuk ceboknya. Aneh juga sih.
Selepas solat saya beranjak ke papan informasi, mencari nomor gate keberangkatan saya yang sebelumnya belum muncul. Sekarang sudah muncul, terpampang nomor C32 yang berarti saya harus berjalan makin ke dalam karena saya baru di bagian B. Di luar matahari mulai bangun, terlihat dari kaca di pinggiran ruang tunggu.
Siap Ke Etape Kedua
Saya berjalan ke arah dalam dan baru tahu kalau bandara ini ternyata jauh lebih besar dari yang saya bayangkan. Di dalam suasananya jauh lebih ramai dan lebih menyerupai mal. Itu belum termasuk satu bagian yang ditata seperti sebuah hutan tropis dengan pohon-pohon hijau yang besar. Benar-benar seperti suasana hutan tropis, menutupi kenyataan bahwa sebenarnya kita ada di tengah padang pasir.
Orang Qatar memang gila!
Saya tidak tahu apakah itu memang sudah dari dulu, atau dikondisikan seperti itu sebagai bagian dari perhelatan Piala Dunia dua tahun lalu, yang jelas saya yakin bahkan orang Eropa sekalipun akan terkagum-kagum pada bandara Doha. Megah, besar, moderen, dan entah apalagi julukan yang pas. Saya tidak tahu apakah bandaranya memang sudah semegah itu dari dulu, atau dibuat megah karena mereka akan jadi tuan rumah Piala Dunia 2022 yang lalu.
Karena waktu boarding masih lama, saya masih sempat berkeliling ke banyak bagian bandara itu, termasuk mengunjungi toko-toko yang ada di sana. Salah satunya adalah toko ofisial dari FIFA. Kembali saya membuktikan bahwa kartu debit Mandiri saya bisa berfungsi. Sebenarnya tidak niat membeli kaos ofisial Piala Dunia 2010, lebih karena ingin mencoba saja apakah kartu saya bisa terpakai atau tidak. Dan ternyata bisa, jadi ya sudahlah. Kaosnya saya bawa pulang saja.
Setelah cuci muka dan sikat gigi, saya siap untuk menjalani etape kedua. Sekitar 45 menit sebelum boarding, saya baru sadar kalau orang di depan gate C32 terlalu sedikit untuk ukuran gate internasional. Tidak mungkin pesawat ke Madrid hanya diisi sekitar 20-an orang. Saya penasaran dan beranjak ke papan informasi. Benar saja, ternyata pesawat Qatar Airways yang akan membawa saya ke Madrid berpindah gate ke C58. Pfiuh, syukurlah! Saya tidak ketinggalan.
Waktu masih panjang, saya masih sempat mampir membeli kopi, masuk ke ruang merokok, buang air kecil, sebelum akhirnya panggilan boarding bergema.
Bismillah! Mari bersiap untuk etape kedua. [dG]
Cerita selanjutnya bisa dibaca di sini.