Ambon, Beta Bale Lagi

Ah, akhirnya saya kembali ke Ambon setelah delapan tahun. Kenangan indah dulu kembali terbayang.

Lima tahun lalu saya ke Ambon untuk pertama kalinya. Dari Ambon saya – dan Mamie – menyeberang ke Seram, tepatnya ke Sawai. Menghabiskan beberapa malam di sana sebelum kembali ke Ambon dan menghabiskan juga beberapa malam di sana. Sejak saat itu saya jatuh cinta pada Ambon, dan Maluku. Sebenarnya sebelum itu saya sudah penasaran dan mulai suka sama Ambon, tapi kunjungan ke Ambon dan Seram semakin menguatkan rasa suka saya.

Impresi Berbeda

Mengunjungi Ambon seperti membuktikan kalau stigma yang kerap beredar tentang Ambon ternyata salah. Orang Ambon kerap digambarkan sebagai orang yang keras, bahkan kadang dianggap kriminal. Coba lihat bagaimana televisi dan industri hiburan memunculkan gambaran tentang orang Ambon – dan orang timur secara keseluruhan. Biasanya tidak jauh dari kesan preman, penagih utang, dan semacamnya.

Namun, ketika mendarat di Ambon kesan itu seperti menguap begitu saja. Saya menemukan orang Ambon yang ramah meski tentu saja tidak sehalus orang Solo, misalnya. Saya bertemu seorang mama penjual ikan asar yang justru menolak menerima pembayaran padahal ikan asarnya kami makan. Hanya karena mengajaknya mengobrol, tiba-tiba kami dianggap tamu, bukan pembeli.

Jang marah kaka e,” kalimat yang menjadi pengganti kata maaf bagi orang Ambon. Kalimat yang diucapkan dengan nada rendah dan halus, berkebalikan dengan gambaran orang Ambon yang kerap ditampilkan di media.

Itu baru orang-orangnya. Kita belum bicara soal alamnya. Ambon, kota yang berkontur. Banyak tanjakan, ada bukit, menghadap ke pantai. Sekilas mengingatkan saya pada Jayapura yang hampir sama konturnya. Dan buat saya kota seperti itu sangat menyenangkan. Kamu bisa tinggal di satu titik yang cukup tinggi, dan kamu bisa menikmat pemandangan yang memukau.

Satu sisi kota Ambon

Keluar sedikit dari kota Ambon, kita bisa bertemu Pantai Natsepa dengan jejeran penjual rujak di tepi pantai. Rujaknya mungkin biasa, tapi suasananya yang mahal. Bergerak ke utara kita akan bertemu kampung Tulehu, mungkin satu-satunya kampung di Indonesia yang berani menyebut diri sebagai “Kampung Sepakbola”. Lalu terus ke Liang, dan kita bisa menikmati pantai yang menyenangkan.

Itu baru di pulau Ambon, dan itu belum semuanya.

Pantai Liang

Beta Kembali!

Oktober 2023, akhirnya saya kembali ke Ambon setelah delapan tahun. Perubahan pertama adalah bandara Pattimura. Sudah lebih besar, tidak lagi seperti terakhir kali saya ke sana. Pattimura sudah lebih moderen meski belum semua beroperasi.

Perubahan kedua adalah Jembatan Merah Putih (JMP). Di tahun 2015 jembatan ini masih dalam pengerjaan, tapi sekarang jembatan yang membelah teluk Ambon ini sudah berdiri megah, memangkas jalur dari bandara ke kota yang dulunya harus memutar. Namun, sekaligus mematikan perahu rakyat yang dulu kerap dipakai untuk melintasi teluk Ambon. Selalu ada plus dan minus dalam sebuah pembangunan.

Jembatan Merah Putih di waktu malam

Kota Ambon seingat saya tidak berubah banyak. Masih seperti yang saya ingat meski katanya menurut orang lokal, semakin macet. Tapi, semacet-macetnya Ambon tentu tidak ada apa-apanya dibanding Makassar apalagi Jakarta. Masih macet yang masuk akal.

Lalu sama seperti delapan tahun lalu, kali inipun saya motoran mengelilingi sedikit bagian kota Ambon lalu menuju Tulehu dan Liang. Kota terakhir yang kami – saya dan teman – sambangi sebelum ke Ambon adalah Medan, dan kami langsung merasakan perbedaan yang besar sekali antara dua kota itu.

Di Ambon, kamu masih bisa menyeberang jalan dengan tenang karena angkot pun berhenti memberi jalan. Tidak seperti Medan yang mengharuskan kamu berjuang keras untuk bisa menyeberang jalan. Jalanan pun tidak riuh oleh klakson, meski ramai oleh kendaraan.

Saat menuju Liang yang jaraknya sekitar 40an km dari kota Ambon, kami bisa menikmati jalan yang lapang, mulus, dan sesekali diteduhi pepohonan, sesekali menyusuri tepian pantai. Sungguh perjalanan yang memanjakan pengendara motor. Kami langsung suka.

Ah, senang sekali rasanya kembali ke Ambon.

Di Tulehu, kami menemukan kampung yang tertata rapi dengan sungai bening yang membelahnya. Bangunan kayu dari zaman puluhan tahun lalu masih terawat, masih sangat indah dipandang mata. Dan di sana, kami juga menemukan hidden gem. Sebuah warung makan yang tampak biasa saja, tapi ternyata ramai dikunjungi orang. Tentu saja karena makanannya yang memang maknyus.

Ah Ambon, Beta bale lai.

Papeda di Tulehu

*****

Saya selalu menyukai Ambon. Kotanya, pemandangannya, orang-orangnya, dialeknya. Semua terasa nyaman. Saya betah seharian mendengarkan orang Ambon bercakap-cakap dengan dialek mereka, sambil sesekali ikut dan mencoba tampak seperti orang lokal. Saya bahkan hampir hapal lagu Puritan, salah satu soundtrack film Cahaya Dari Timur; Beta Maluku yang liriknya adalah bahasa Maluku. Saya selalu bilang kalau Ambon memang salah satu tempat yang selalu ingin saya kunjungi. Mungkin saya akan menetap di sana untuk beberapa waktu seperti ketika menetap di Papua? Entahlah. Kita aminkan saja. [dG]