A Long Way To Koroway (1)
Sebuah perjalanan panjang ke distrik terluar Asmat, distrik Koroway Bulanop. Perjalanan yang pasti akan saya ingat dalam waktu panjang.
PELABUHAN FERI AGATS BELUM TERLALU RAMAI PAGI ITU, Rabu 28 Nopember 2018. Matahari baru saja bangun di atas langit Agats. Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Di Agats, hujan adalah berkah. Tanpa hujan, warga akan kesulitan air bersih. Tidak heran kalau hujan selalu dinantikan, seperti kekasih. Hujan di pagi hari berarti pertanda bagus untuk hari itu. Itu juga yang jadi harapan saya.
Beberapa orang berkumpul di teras ruang tunggu pelabuhan. Melingkar dengan kepala tertunduk khidmat. Pendeta Mien memimpin doa, memanjatkan puji kepada Tuhan dan memohon berkat serta perlindungan-Nya. Pagi itu, belasan orang akan meniti sungai ke arah timur laut kota Agats. Mereka adalah anggota tim Sekretariat Bersama (Sekber) BANGGA Papua Kabupaten Asmat. Mereka inilah yang selama setahun lebih saling bahu membahu menyukseskan program BANGGA Papua. Program yang membuat saya juga bermukim di Papua, hampir setahun ini.
Hari itu ada tiga distrik yang akan dituju; Suator, Kolf Braza dan Koroway Bulanop. Tim Sekber Asmat berkunjung ke sana sebagai rangkaian kerja mereka, melakukan sosialisasi. Saya dan pak Rara sebagai wakil BaKTI ikut serta sebagai tim hore, bukan tokoh utama.
Saya memilih Koroway dan pak Rara memilih Kolf Braza. Dua-duanya termasuk distrik terjauh dari kota Agats. Susunannya seperti ini; distrik Suator dulu, baru Kolf Braza dan terakhir Koroway. Koroway berbatasan langsung dengan kabupaten Boven Digul dan Yahukimo, bahkan katanya jarak dari ibukota distrik ke Dekai, ibukota Yahukimo tinggal dua jam perjalanan meniti sungai. Berbanding jauh dengan perjalanan dari ibukota distrik ke ibukota kabupaten.
Koroway. Nama itu pertama saya dengar sekira bulan Januari tahun ini ketika saya baru saja ditugaskan di Papua. Karena merasa akan tinggal lama di sini, saya mulai sering mencari bahan dan cerita tentang Papua. Hingga akhirnya saya tertambat di cerita tentang suku Koroway.
Kalau kalian mengetik Koroway di Google, maka cerita yang muncul adalah tentang orang-orang yang baru dikenal peradaban moderen sekira 30an tahun lalu. Orang-orang yang tinggal di rumah di atas pohon, dan bahkan masih mempraktikkan kanibalisme. Siapa yang tidak penasaran, coba? Cerita itu juga yang membuat saya cukup bersemangat ketika nama Koroway masuk ke daftar distrik yang akan dikunjungi. Saya ingin melihat langsung, bagaimana Koroway itu.
Suku Koroway adalah salah satu suku yang hidup di bagian selatan Papua. Mereka menyebar di beberapa kabupaten seperti Asmat, Boven Digul, Mappi, Yahukimo sampai Pegunungan Bintang. Kalau menurut literatur, mereka memang termasuk suku yang paling terakhir mengenal peradaban moderen. Mereka juga punya keunikan sendiri dengan membangun rumah di atas pohon, sebagai metode untuk mempertahankan diri dan suku mereka. Baik dari serangan binatang buas, ataupun serangan suku lain.
Baca juga: Perjalanan Ke Asmat Dengan Kapal Laut
Di Asmat, sebagian besar dari orang Koroway bermukim di kampung-kampung yang masuk dalam wilayah distrik Koroway Bulanop. Kampung Mabul jadi ibukota distrik, dan ke sanalah kami akan menuju.
*****
PUKUL 7:15 WIT, MAHARI SUDAH MULAI SEGAR. Hujan pun sudah berhenti. Tiga speed boat yang memuat tiga tim Sekber Asmat mulai meninggalkan Agats. Kami menumpang speed boat kecil yang memuat maksimal lima penumpang dan satu supir. Mesinnya berkekuatan 85 pk, cukup besar untuk menempuh perjalanan jauh. Saya duduk di deretan belakang bersama pak Tobi, salah satu anggota tim. Di depan duduk pak Blas, koordinator tim bersama Joni dan pak supir yang ternyata berdarah Bugis Barru. Kursi speed boat cukup nyaman karena bentuknya seperti kursi mobil balap. Sepertinya perjalanan panjang tidak akan terasa menyiksa dengan kondisi speed boat seperti ini, kata saya dalam hati.
Sepertinya saya benar. Perjalanan memang cukup menyenangkan. Speed boat berjalan melintasi sungai dengan kecepatan tinggi, rasanya seperti sebuah mobil balap di jalanan yang rata. Di telinga saya bergantian Sabyan dan Linkin Park menemani perjalanan. Perpaduan yang unik,kan?
Angin kencang menerpa wajah, bercampur dengan terik matahari yang mulai menyengat. Hal pertama yang saya sesali adalah lupa membawa masker penutup muka. Belakangan, keteledoran ini akan meninggalkan bekas. Wajah saya belang-belang terbakar matahari. Speed boat sebenarnya dilengkapi dengan atap, tapi itu hanya dipasang ketika hujan karena posisi atap di bagian depan cukup mengganggu pandangan supir. Walhasil, sepanjang jalan matahari dengan ganasnya menerpa muka saya. Topi rimba yang saya pakai nyaris tidak ada gunanya, kecuali untuk menutupi kepala.
Speed boat rombongan kami dan rombongan tim Klof Braza sempat salah membelok. Rupanya kedua supir speedboat masih tergolong baru dan tidak tahu jalan, berbeda dengan supir speed boat yang membawa tim Suator.
Saya bisa maklum kalau supir speed boat baru akan tersesat. Sepanjang jalan saya merasa pemandangan di sekitar hampir sama. Deretan pepohonan yang rapat di tepi sungai yang lebarnya ratusan meter sepertinya sama semua. Belum lagi beberapa cabang sungai kecil yang pasti membingungkan kalau kita belum terbiasa. Benar-benar seperti maze. Salah belok berarti siap-siap tersesat jauh.
Pukul dua belas siang, atau lima jam setelah bertolak dari Agats, speed boat kami merapat di distrik Suator. Kami harus berhenti sejenak di sini untuk membeli minyak (sebutan orang Papua untuk bahan bakar) dan oli. Bukan untuk speed boat kami, tapi untuk perahu berikutnya yang akan kami sewa menuju ke Koroway. Yah, kami harus berganti kendaraan. Speed boat tidak akan bisa meniti sungai dangkal sehingga kami harus berganti ke perahu yang lebih panjang dengan mesin yang lebih kecil.
Cukup lama juga kami di distrik Suator. Urusan membeli minyak ternyata tidak mudah karena kami harus meminta izin untuk menurunkan minyak dari kapal BBM yang masih terparkir di luar distrik.
Distrik Suator dalam pengamatan saya cukup ramai. Ada banyak pedagang pendatang, salah satunya adalah H. Umar, pendatang dari Bulukumba yang sudah menetap di Asmat sejak 1986. Tokonya termasuk toko terbesar di ibukota distrik itu. Di ibukota distrik Suator juga sudah ada cabang pembantu Bank Papua yang melayani distrik Suator dan dua distrik lainnya; Kolf Braza dan Koroway. Meski di ibu kotadistrik tidak ada layanan seluler, tapi setidaknya mereka punya layanan internet. Beberapa warung menjual voucher internet. Saya tidak sempat mencobanya, tapi fakta itu saja sudah cukup membuat saya terkagum-kagum.
Hampir dua jam kemudian, setelah semua urusan bahan bakar selesai kami kembali meniti sungai menuju ke arah timur laut. Tujuan kami adalah kampung Sipanap, kampung terakhir sebelum Mabul, ibukota Koroway. Di kampung inilah rencananya kami akan berganti kendaraan, menyewa perahu long boat milik warga.
Saya sempat tertidur sebelum merasa speed boat berhenti. Rupanya kami sudah tiba di kampung Sipanap. Saya melirik jam tangan, kurang 15 menit menuju pukul empat sore. Speedboat kami merapat ke tepian, beberapa warga berlarian menyambut kami. Ada perempuan dewasa, lelaki dewasa dan lebih banyak anak-anak. Beberapa perahu tertambat malas. Tiga di antaranya perahu berbahan fiberglass dan beberapa lainnya adalah perahu kayu tradisional.
Pak Blas dan pak Tobi naik ke kampung sementara saya menunggu di speed boat, bertukar cerita dengan sang supir yang orang Barru itu.Dia sudah cukup lama di Papua, sudah lebih 10 tahun. Berpindah-pindah dari beberapa kabupaten sebelum menetap di Asmat dua tahun belakangan. Orang Bugis memang perantau, kata saya dalam hati.
Mungkin sekira 10 menit kemudian pak Blas dan pak Tobi turun bersama seorang warga.Saya lupa namanya, tapi dialah yang akan membawa kami menuju Koroway Bulanop. Tubuhnya kecil, mungil dan saya taksir usianya 20an akhir atau awal 30an. Dengan cekatan dia menyiapkan perahu yang akan kami tumpangi. Semua barang bawaan dari speed boat kami pindahkan ke perahu. Speed boat akan parkir di kampung Sipanap, menunggu kami keesokan harinya. Sang supir tentu saja memilih tidur di speed boat-nya. Sangat berisiko meninggalkan speed boat sendirian.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Asmat
Pukul empat sore, pelan-pelan kapal berwarna dominan biru itu meninggalkan kampung Sipanap. Hujan perlahan turun membasahi bumi, arus sungai sangat deras. Senti demi senti menuju Koroway mulai terpangkas. Kami sudah semakin dekat ke distrik terjauh itu.
Tapi yang saya belum sadari adalah bahwa petualangan sesungguhnya baru saja akan dimulai.[dG]
Bersambung ke bagian dua.
Perjalanan panjang itu baru dimulai
Mengikuti tulisan daeng dari awal tentang Papua membuat saya banyak tahu bagaimana keadaan di sana, akses yang beragam dan perjalanan panjang seperti tak berujung.
Aku pengen banget ke sini sejak tahun 2008. Dan sampai sekarang belum kesampaian. Ntah berapa kali ditolak waktu menawarkan diri jadi relawan macam2 biar sampai sana