Usia dan Selera Musik Yang Lapuk
Semakin tua seseorang, semakin sulit dia menerima referensi musik yang baru.
SUATU HARI SEORANG KAWAN BERCERITA. Ayahnya yang seorang haji dan aktif di kepengurusan masjid meski belum berstatus ustad merobek-robek poster di kamarnya. Beragam poster mulai dari Nirvana, Guns N Roses dan Metallica tinggal menjadi kertas tak beraturan yang tergeletak begitu saja di lantai. Sang Ayah gemas karena menganggap semua itu perlambang setan, sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat.
Cerita itu terjadi kalau tidak salah ingat sekitar dua puluh tahun lalu, ketika saya dan kawan itu masih sama-sama berseragam putih abu-abu dan menikmati hormon yang sedang menggelegak. Hormon yang meggelegak itu pula yang mengantar kami menyukai beragam band-band luar dan dalam negeri yang musiknya bertempo cepat dengan vokalis berambut panjang dan berjaket kulit atau berdandan kumal. Kami sedang mencari jati diri kata orang, dan kebetulan kami terdampar di musik-musik seperti itu.
Dua puluh tahun kemudian saya masih mendengarkan musik-musik seperti itu. Masih nyaman dengan musik dari Pearl Jam, Nirvana, Metallica, Guns N Roses, Jamrud, Dewa 19 (jaman Ari Lasso sebagai vokalis) dan banyak lagi band-band lain dengan gaya yang nyaris sama.
Saya bukan pemerhati musik, kadang saya malah berucap kalau selera musik saya berhenti tepat di akhir dekade 90an dan setelahnya terseok-seok nyaris tak bergerak lagi. Jadi jangan heran kalau di komputer, laptop atau koleksi CD, lagu-lagu yang diproduksi pada dekade 90anlah yang lebih banyak. Ada beberapa penyanyi atau lagu produksi dekade berikutnya, tapi tak seberapa banyak.
Saya kesulitan menikmati lagu-lagu yang lahir setelah tahun 2000 sampai sekarang. Hanya beberapa nama yang sukses membuat lagunya tertinggal di kepala dan bisa saya nikmati. Setidaknya hanya Jason Mraz, John Mayer, Linkin Park dan Adele yang hampir semua lagunya bisa saya terima, sisanya lebih banyak melintas sekelebat atau sama sekali tidak pernah mengadar.
*****
SELERA MUSIK KATA BEBERAPA AHLI memang berhubungan erat dengan usia. Daniel J. Levitin, seorang professor psikologi dan direktur Laboratory for Music Perception, Cognition and Expertise di Universitas McGill Amerika Serikat mengatakan kalau rentang paling krusial dalam penentuan selera musik seseorang adalah di usia 14-24 tahun. Di masa itu pubertas yang dialami manusia membuat semua hal yang dialami menjadi sangat penting, termasuk musik.
Dalam rentang usia tersebut, para pelakunya yang lebih sering disebut sebagai remaja berusaha mencari jati diri dan menentukan batas-batas untuk dirinya dan lingkungannya. Ciri khas lingkungan sangat berpengaruh pada penentuan selera musik. Sebagai contoh, remaja yang cenderung mempunyai sifat pemberontak akan memilih musik yang keras dan bertempo cepat, sedang remaja yang lebih tenang akan memilih musik yang lebih lembut dengan tempo yang lebih lambat.
Lepas dari rentang usia tersebut atau memasuki usia 25 tahun ke atas, referensi musik akan mulai berkurang. Ada banyak alasan, secara fisiologis telinga manusia sudah mulai kehilangan sensitifitasnya di usia 25 tahun ke atas. Ini membuat banyak orang makin selektif dengan musik yang baru mereka dengar, apalagi selama ini referensi musik mereka secara tidak sadar sudah mulai terbentuk.
Secara psikologis, usia 25 tahun ke atas adalah usia ketika manusia mulai memasuki masa kematangan. Mulai usia tersebut manusia sudah mulai merasa menemukan jati diri, mulai nyaman dengan pilihan-pilihannya sendiri dan tentu saja mulai sulit untuk berubah, termasuk dalam selera musik. Kalaupun ada yang masih bisa menerima musik-musik baru, itu tidak sebanyak yang mereka terima di rentang usia sebelumnya.
Semakin dewasa seseorang, referensi musik akan semakin menyempit. Sebaliknya, musik-musik nostalgia yang mungkin hadir di masa ketika mereka masih remaja atau berada di rentang 14-24 tahun makin nyaman di telinga. Alasannya, musik tersebut secara tidak sadar membawa banyak kenangan yang terjadi dalam rentang masa keemasan dunia remaja tersebut. Musik sangat berperan dalam membawa rasa nostalgia.
*****
AKHIR-AKHIR INI SAYA MEMANG SEDIKIT-SEDIKIT mendengarkan musik anak-anak jaman sekarang. Tapi selalu berakhir dengan dahi berkerut dan kesulitan untuk menerimanya. Secara tidak sadar otak saya membandingkan musik-musik tersebut dengan musik-musik di jaman remaja saya, dan selalu saja saya berhasil menemukan perbandingan yang membuat saya sulit menerima musik jaman sekarang. Mulai dari syair yang terlalu datar, kualitas vocalist yang itu-itu saja sampai kualitas teknis musik yang tak seberapa. Tapi tentu saja itu hanya pandangan pribadi yang sudah lebih dulu membentengi diri dengan asumsi kalau musik dari jaman remaja saya lebih baik.
Pada akhirnya musik memang soal selera dan usia jadi sangat berpengaruh. Musik yang saya dengarkan perlahan mulai lapuk dimakan usia, tapi dalam ingatan saya musik-musik itu akan tetap kekal. Karena dia datang dari masa penuh nuansa emas.
Saya hanya takut satu hal, menjadi seseorang seperti Ayah teman saya yang merobek-robek poster pemusik idola anaknya. Semoga saja tidak. [dG]
saya walaupun doyan musik dangdut, cuma yang dikoleksi seinget saya hanya poster Rhoma Irama dengan Gitar tuanya (itupun poster film) hahahha
saya walaupun penggemar dangdut, poster yang terpampang hanya Rhoma Irama dengan Gitar tuanya, maklum di pelosok tak ada penjual poster 😀
*komen lagi setelah komen pertama kok raib*
Dangdut masih menjadi selera sebagian kecil remaja. jaman sekarang pada suka kpop, rock, dsb hehehe
Wah ngerii juga yah ayahnya temanmu kak,,
Ilmu agamanya tinggi tp masa poster kayak gitu dianggap pemuja setan