Selera Humor Yang Beda-Beda

Sumber: thetimes.co.uk
Sumber: thetimes.co.uk

Beberapa hari yang lalu saya terlibat sebuah obrolan dengan seorang teman. Sambil bermain kartu kami mengobrolkan tentang selera humor. Kebetulan dia mengaku tidak bisa (atau belum bisa) menikmati stand up comedy. Belum ada satupun stand up comedian atau kerap disebut komik yang mampu membuatnya terpingkal-pingkal, atau minimal geli.

Sebenarnya saya hampir sama dengan si teman ini. Sampai sekarang saya juga masih sulit menemukan komik yang materinya selalu berhasil membuat saya ketawa. Setidaknya hanya ada 3 komik yang selalu saya suka materinya. Mereka adalah Abdur, Arie Keriting dan Pandji. Saya suka materi mereka yang kebanyakan berisi satir dan sinisme.

Aslinya saya bukan orang yang gampang ketawa. Entah kenapa, tidak banyak komedi atau lelucon yang bisa membuat saya tertawa lepas. Orang-orang yang sudah lama mengenal saya pasti tahu, saya sangat jarang tertawa lepas apalagi sampai terpingkal-pingkal.

Saya tidak tahu masalahnya apa, saya hanya merasa saya orang yang sangat logis dan selalu berpikir menggunakan logika. Mungkin ini yang sering membuat saya gagal tertawa lepas untuk sebuah komedi atau lelucon. Saya bukan seorang yang suka menjaga image atau jaim, jadi alasan saya ketawa lepas tentunya bukan karena saya jaim.

Soal selera humor, saya juga merasa selera humor saya cukup lebar. Saya bisa tertawa di komedi sederhana seperti punya Srimulat dan tetap bisa menikmati komedi (yang mungkin dianggap cerdas) seperti komedi di film serial Friends atau Big Bang Theory.

Soal selera humor, manusia memang punya selera yang beragam. Orang-orang hanya mengkategorikan selera humor rendah dan tinggi tanpa ada batasan yang jelas. Komedi slapstik yang mengandalkan fisik lebih banyak dikategorikan sebagai komedi dengan selera humor yang rendah sehingga penikmatnya dianggap sebagai orang-orang dengan selera humor yang rendah. Sementara itu, humor cerdas yang membuat orang berpikir kadang dianggap sebagai humor dengan berselera tinggi. Dikotomi ini kemudian seperti membelah dua kubu; orang cerdas dan tidak cerdas.

Sah-sah saja ada orang yang membagi strata penikmat humor seperti itu, dan sah-sah saja kalau ada orang yang tidak setuju dengan pembagian itu. Toh semua soal selera, tidak ada yang bisa memaksakan selera seseorang dan tidak selamanya selera berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan.

Satu hal yang saya percayai, orang yang bisa tertawa lepas untuk humor yang menjelek-jelekkan fisik seseorang bukan tipe orang dengan selera humor yang baik.

Bagaimana dengan selera humor Anda? [dG]