Seandainya Dulu Saya Dibiarkan Menggambar

Salah satu kartun saya
Salah satu kartun saya

Saya jadi berpikir, seandainya saya dulu dibiarkan menggambar dan bahkan difasilitasi untuk menggambar kira-kira jadi apa saya sekarang?

Sewaktu kecil, mungkin seusia 8-9 tahun saya pernah bercita-cita menjadi pelukis. Kala itu saya sudah membayangkan akan akrab dengan kanvas, kuas dan cat air. Pun saya sudah membayangkan suatu hari nanti saya akan berkeliling kampung, masuk lorong dan jalan setapak menjajakan lukisan saya yang sudah terbingkai dengan bagus. Sesederhana itu.

Entah sejak umur berapa saya mulai senang mencorat-coret di atas kertas. Saya juga lupa siapa yang jadi panutan saya ketika mulai suka menggambar. Saya hanya ingat satu nama, Alm. Pak Tino Sidin. Lelaki tua dengan baret khas di kepalanya yang kerap tampil di TVRI dan memberi tips cara menggambar yang baik. Di akhir acara lelaki tua yang kharismatik itu akan memamerkan karya anak-anak yang dikirim kepadanya sambil memberi komentar singkat yang sangat khas: ini gambar teman kamu anu di anu. Bagus!

Saya lupa apa saya pernah mengirim gambar ke pak Tino Sidin atau tidak, tapi sepertinya tidak karena saya tidak pernah punya pensil warna atau crayon yang bagus saat itu.

Meski sejak kecil saya senang menggambar (dan mungkin sudah memperlihatkan bakat menggambar) tapi orang tua saya tidak peka. Punya keahlian menggambar dalam keluarga kami bukan sesuatu yang istimewa. Pintar matematika dan ilmu eksak lainnya, baru istimewa! Walhasil minat besar saya pada dunia corat-coret tak tersentuh dan tak terasah sama sekali. Sayapun hanya kadang-kadang saja menggambar, tak ada guru atau pemandu sampai akhirnya kadang saya tak pernah menggambar sama sekali dalam waktu yang lama.

Tapi orang tua saya tidak sama sekali acuh, mereka masih sadar kalau saya suka dunia gambar. Itu juga yang jadi alasan mereka memasukkan saya ke SMK jurusan bangunan yang kata mereka masih dekat dengan dunia gambar. Padahal beda! SMK jurusan bangunan lebih dekat ke dunia arsitektur yang masih ada unsur eksaknya, bukan ke dunia desain grafis yang lebih dekat ke seni. Jadilah selama 4 tahun saya berkutat dengan dasar-dasar arsitektur dan dunia konstruksi. Sesekali saat bete saya masih selalu menyempatkan diri mencorat-coret bagian belakang buku tulis saya. Menggambar berbagai karakter yang berkelebat di kepala. Seorang kawan baik begitu menyukai gambar saya sampai-sampai dia rajin menyetor buku tulisnya hanya supaya saya menggambar apa saja di halaman paling belakang.

Hampir 20 tahun kemudian hidup saya tidak jelas. Karikatur bukan, arsitek bukan, programmerpun bukan. Saya bisa menulis, saya bisa memotret, saya bisa mendesain grafis dan saya juga bisa membuat ilustrasi dan kartun. Tapi, semua hanya bisa saya lakukan sedikit-sedikit dan sama sekali jauh dari kata sempurna. Banyak tahu tapi tak ada yang dikuasai, itulah saya.

Apa Yang Terjadi Seandainya?

Beberapa minggu belakangan ini saya mulai senang kembali mencorat-coret di atas kertas kosong, membuat kartun dan kadang strip komik. Perlahan saya mulai berpikir, apa yang terjadi seandainya kala itu orang tua peka pada bakat dan minat Ipul kecil ya? Apa yang terjadi seandainya kala itu mereka tidak memaksakan saya harus paham dan menguasai ilmu eksak tapi malah mendorong saya untuk lebih lekat pada dunia grafis dan gambar-menggambar?

Mungkin saat ini saya sudah jadi kartunis tetap di sebuah koran atau majalah, sudah menerbitkan buku komik atau paling sial saya sudah duduk di mall sambil menunggu orderan orang-orang yang ingin wajahnya dilukis serupa kartun.

Tapi, saya tidak pernah mengutuki apa yang sudah terjadi. Sedikit menyesal, tapi tak sampai mengutuk. Semua pasti ada hikmahnya karena toh hari inipun saya masih bahagia dengan apa yang saya punya. Masih bahagia karena saya masih punya waktu untuk mengusik kembali bakat saya itu. Saya masih bisa memegang pensil dan mencorat-coret apa yang saya mau, kembali belajar seperti ipul kecil dua puluhan tahun yang lalu.

Buat Anda yang punya anak, perhatikan bakat dan mereka. Tak usah memaksakan apa yang menurut Anda terbaik karena belum tentu itu juga terbaik buat mereka. Yakinlah, suatu saat nanti mereka akan menjalani hidupnya sendiri dan bukan menjalani hidup Anda. Tak penting dia dapat nilai matematika yang tinggi atau tidak, yang penting dia bahagia dengan apa yang dia punya. [dG]

Kartun lain yang saya bikin
Kartun lain yang saya bikin