Sampai Kapan Kita Mencintai Timnas?
Kata orang, kita harusnya mencintai seseorang atau sesuatu itu tanpa syarat. Harus tulus dan benar-benar tidak mengharapkan pamrih.
Mungkin pameo itu juga yang terus dipegang teguh oleh jutaan pecinta tim nasional sepakbola Indonesia. Mereka larut dalam cinta yang buta, cinta yang tidak mengenal kata menyesal. Padahal cinta mereka belum pernah terbalas, mereka juga sangat jarang dibahagiakan oleh tim yang mereka cintai.
November 2014, tim nasional sepak bola Indonesia kembali menyakiti para pemuja mereka, para pecinta mereka. Datang ke Vietnam dengan harapan tinggi bisa berjaya di piala AFF, nyatanya mereka sekali lagi pulang dengan coreng moreng di jidat. Bahkan untuk lolos dari gruppun tidak bisa! Parahnya lagi, mereka menelan kekalahan 0-4 dari Filipina, negara yang masih ingusan di dunia sepakbola Asia Tenggara, negara yang dulu pernah dibungkam 13-0.
Malam ketika tim nasional Indonesia dibungkam 0-4 oleh Filipina adalah malam yang memalukan. Kalah dengan margin besar dari negara sekelas Thailand masih bisa diterima logika, toh Thailand memang sudah lama jadi negara yang selalu sulit kita imbangi di bidang sepakbola. Tapi, ini Filipina! Negara yang..ah sudahlah, bahkan untuk meneruskannya saja saya tidak sanggup.
Tim nasional sepakbola kita adalah sekumpulan orang-orang yang sombongnya minta ampun. Mereka pasti sadar kalau di luar sana ada jutaan rakyat Indonesia yang mencintai mereka, jutaan orang Indonesia yang harus menerima takdir hidup di negeri merah putih ini dan secara otomatis harus mencintai tim nasionalnya sendiri. Tim nasional kita pasti sadar itu.
Tapi, meski mereka sadar begitu banyak orang yang mencintainya mereka tak hendak membalas cinta tanpa pamrih itu dengan sebuah hasil yang membahagiakan. Tim nasional sepakbola kita cuek seperti bebek, mereka tetap saja menyakiti orang-orang yang mencintainya. Tetap saja menyetor hasil buruk yang sama sekali jauh dari kata menyenangkan.
Musim demi musim berganti, ajang demi ajang berganti tapi hasilnya hampir selal sama. Kalau tidak gagal lolos dari babak penyisihan ya gagal di kaki tim negara lain dengan sangat menyakitkan. Bahkan negara yang dulu adalah anak bawang kala berhadapan dengan Indonesiapun sekarang bisa menegakkan kepala, menunjuk hidung kita dan tertawa mengejek. Tim nasional yang dicintai rakyat Indonesia itu tidak lama lagi akan bertransformasi jadi tim nasional lumbung gol di kawasan Asia Tenggara.
Lalu, kenapa masih ada jutaan orang Indonesia yang bebal dan terus mencintai mereka meski mereka juga terus saja menyakiti? Kata teman saya; karena darah dan kewarganegaraan tidak bisa kita tukar. Yah, sayangnya kita tidak bisa menukar darah kita dengan darah orang Italia atau orang Inggris misalnya. Menukar kewarganegaraan juga bukan hal yang mudah. Jadi, mereka-mereka yang mencintai timnas Indonesia sepertinya memang selayaknya orang yang terjebak dalam cinta yang mengikat, cinta bersyarat yang mengharuskan mereka mencintai tanpa syarat.
Jadi jangan salahkan para pecinta itu jika di musim-musim tertentu mereka larut dalam cinta kepada tim nasional negara lain. Dalam gelaran piala dunia atau piala Eropa para pecinta itu berubah wujud jadi pecinta tim nasional negara lain. Mereka larut dalam sorak-sorai mendukung tim nasional negara lain, larut dalam kegembiraan ketika negara lain menjadi juara, larut dalam kesedihan ketika tim nasional negara lain kalah dan bahkan larut dalam perkelahian membela kehormatan tim nasional negara lain.
Jangan salahkan mereka, mereka hanya pecinta yang terluka oleh orang yang mereka cintai dan berusaha mencari kompensasi, mencari penyejuk dari aksi tim nasional negara lain. Itu karena tim nasional yang mereka cintai terus menerus membuat mereka malu dan sakit hati.
Kalau sudah begini, sampai kapan mereka harus mencintai tim nasionalnya sendiri? Sampai darah mereka bisa ditukar? Atau sampai kapan? [dG]