Salam Presisi!
Catatan akhir tahun tentang salah satu isu yang ramai menjelang pergantian tahun ini.
Saya ingat waktu di Bogota, Kolombia. Saat istirahat siang, saya dan kawan-kawan lain dari Kolombia, Paraguay, dan Mexico sedang bersantai di depan hotel sambil merokok. Salah satu pembahasan kami – melanjutkan pembahasan di dalam ruangan – adalah tentang kondisi polisi di negara kita masing-masing. Kami punya kesepakatan yang sama, sama-sama mengkritisi perilaku polisi di negara masing-masing.
Teman-teman bercerita bagaimana bobroknya polisi di negara mereka. Mulai dari tindakan yang tidak profesional sampai ketidakpastian hukum dari polisi yang seharusnya jadi penegak hukum. Kondisi yang hampir sama yang saya ceritakan tentang polisi di Indonesia.
Percakapan ini membuat saya bertanya-tanya; ada tidak ya negara yang rakyatnya memuji-muji atau mencintai polisinya?
Tingkat Kepercayaan Pada Polisi
Saya kutip dari laman di Goodstat tahun 2023, disebutkan bahwa ada lima negara yang warganya sangat percaya pada polisi, yaitu: Belanda, Swedia, Selandia Baru, Singapura, dan Jerman. Belanda ada di urutan pertama dengan nilai kepercayaan 55%, Jerman ada di peringat kelima dengan nilai kepercayaan 50%.
Selanjutnya ada negara-negara dengan tingkat kepercayaan polisi terendah. Posisi pertama diduduki oleh Afrika Selatan dengan skor 65% warga yang tidak percaya polisi. Disusul oleh Meksiko, Peru, Thailand, dan Kolombia. Indonesia ada di urutan keenam dengan skor 43% warga tidak percaya pada polisi.
Melihat statistik di atas, kita bisa lihat perbedaan paling besar yaitu tingkat kesejahteraan negara yang percaya pada polisi dengan negara yang tidak percaya pada polisi. Lima negara yang warganya sangat percaya pada polisi bisa dianggap sebagai negara maju dengan tingkat ekonomi yang tinggi dan kesejahteraan yang cukup tinggi. Sementara di daftar enam negara yang warganya tidak percaya pada polisi, diisi oleh negara dengan tingkat kesejahteraan yang masih menengah, masih berkembang.
Apakah kesejahteraan warga berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan pada polisi? Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak. Salah satu buktinya adalah tidak ada nama Amerika Serikat di daftar 10 negara yang warganya percaya pada polisi. Secara kedudukan, AS bisa dibilang negara yang cukup makmur, stabil, dan negara maju. Tapi rakyatnya memang tidak percaya pada polisi.
Citra Rusak Karena Ulah Sendiri
Kepercayaan publik pada polisi di Amerika Serikat memang terus menurun menyusul beragam insiden yang disebabkan oleh polisi itu sendiri. Salah satunya yang paling ramai adalah aksi polisi yang menyebabkan kematian seorang pria berkulit hitam, George Floyd di tahun 2020. Kematian George mendorong gerakan anti rasial dan perlawanan terhadap polisi di seluruh Amerika Serikat.
George bukan orang pertama yang meninggal di tangan polisi. Dalam beberapa catatan, polisi di Amerika Serikat berkali-kali melakukan aksi salah tangkap, salah tembak, atau aksi represi berlebihan yang menghilangkan nyawa orang sipil. Sebagian besar adalah orang kulit hitam.
Jadi tidak heran kalau citra polisi di Amerika Serikat terus memburuk dalam beberapa tahun belakangan. Di survey yang dilakukan oleh Forbes tahun 2023, didapatkan angka bahwa hanya 19% orang berkulit hitam Amerika Serikat yang percaya pada polisi, sementara orang berkulit putih yang percaya pada polisi berada di angka 56%. Jumlah ini menurut Forbes terus menurun dari tahun ke tahun.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Bulan Juni 2024, Kompas menerbitkan survei yang menilai kepuasan masyarakat pada beberapa lembaga negara di Indonesia. Hasilnya, Polri ada di urutan kedua setelah TNI dengan nilai 73,1%. Ini seperti bukti kalau masyarakat masih banyak yang percaya pada polisi dibanding penegak hukum lain seperti kejaksaan, DPD, bahkan DPR. Awalnya saya mau tidak percaya, tapi karena ini dibuat oleh Kompas yang bisa dibilang cukup terpercaya jadi ya saya percaya saja.
Citra polisi di Indonesia sempat turun cukup jauh menyusul kejadian tahun 2022 ketika seorang jenderal polisi terbukti membunuh anak buahnya, di rumah dinasnya. Kejadian ini menyita banyak sekali perhatian warga Indonesia bahkan internasional. Nofriansyah Yosua Hutabarat meninggal di tangan komandannya – Ferdy Sambo – meski di awal konferensi pers disebutkan kalau dia meninggal karena adanya tembak-menembak. Belakangan terbukti kalau pernyataan itu ternyata tidak benar.
Menjelang berakhirnya tahun 2024 ini, citra polisi di Indonesia seperti tercoreng berkali-kali. Beragam kasus muncul di publik dengan cerita yang seharusnya membuat malu kepolisian.
Salah satunya adalah kisah ibu guru Supriyani di Sulawesi Tenggara yang harus berurusan dengan hukum setelah dituduh menganiaya anak seorang polisi. Pembelaan ibu Supriyani, dia hanya melakukan pendisiplinan pada si anak dan bukan penganiayaan. Sialnya, dalam proses itu ibu guru Supriyani sudah sempat menjadi korban pemerasan oleh pihak polisi. Belakangan terungkap bahwa dana Rp.2.000.000,- yang dibayarkan oleh ibu guru Supriyani dipakai untuk merenovasi salah satu ruangan di Polsek Baito.
Lalu yang paling ramai adalah soal kematian seorang murid SMK bernama Gamma Rizky Oktafandi di Semarang yang dilakukan oleh seorang polisi, Aipda Robiq Zainuddin.
Awalnya kisah yang beredar adalah, sang polisi berusaha melerai tawuran dengan senjata tajam yang dilakukan oleh sekelompok anak muda. Karena nyawanya terancam dalam usaha melerai itu, sang polisi terpaksa melepaskan pembelaan. Tembakan yang mengenai tiga orang, salah satunya meregang nyawa.
Kisah awal itu bahkan diperkuat dengan jumpa pers Kapolresta Semarang, lengkap dengan penunjukan barang bukti berupa pedang dan clurit yang diklaim milik para pelaku.
Belakangan terbukti lewat rekaman CCTV bahwa cerita itu ternyata bualan belaka. Tidak ada aksi tawuran dengan senjata tajam. Kejadian sebenarnya adalah seorang polisi yang merasa tersinggung karena merasa dipepet oleh sekelompok anak muda bermotor yang kemudian berakhir dengan tembakan. Sontak fakta baru ini membuat orang mempertanyakan pernyataan polisi sebelumnya. Pernyataan resmi dan diikuti dengan memamerkan “barang bukti” yang ternyata hanya rekayasa. Orang waras pasti mempertanyakan kejujuran polisi. Bisa-bisanya mereka membuat pernyataan seperti itu, lengkap dengan memamerkan “barang bukti”. Benar-benar seperti skenario film murahan.
Sampai hari ini belum ada pernyataan resmi dari polisi tentang insiden “memamerkan barang bukti” yang ternyata hanya bagian dari skenario pembohongan itu.
*****
Tahun 2024 sebentar lagi akan berakhir. Beragam kejadian yang mencoreng citra polisi Indonesia masih seperti terngiang di telinga kita. Masih ada yang mengganjal dan terus terasa menggerogoti kepercayaan orang Indonesia terhadap polisi. Entah bagaimana polisi akan memperbaiki kepercayaan publik di tahun yang akan datang. Apakah dengan kinerja yang semakin baik, atau dengan menggunakan penggaung atau buzzer? Kita lihat nanti.
Sebagai informasi, anggaran untuk polisi menjadi anggaran terbesar kedua setelah kementerian pertahanan, bahkan lebih tinggi dari anggaran kesehatan dan pendidikan. Tapi herannya, kenapa untuk renovasi kantor saja harus minta sama guru honorer ya? Ah, salam presisi! [dG]