Rumahmu, Jiwamu
Punya rumah adalah impian semua orang bukan? Bagi sebagian orang, rumah bukan hanya tempat tinggal tapi juga belahan jiwa tempat mereka merasa nyaman bersamanya.
Selama kurang lebih 15 tahun saya hidup dari lingkungan yang setiap hari berurusan dengan rumah dan segala desainnya. Saya sudah cukup kenyang melihat desain rumah yang kadang bikin ngiler karena terlihat nyaman bagi mereka yang menempatinya. Dari rumah sederhana tapi fungsional sampai rumah super mewah yang kadang bikin bertanya-tanya: memang perlu ya rumah sebesar itu?
Sabtu kemarin (1/6-2013) saya dapat kesempatan mengunjungi sebuah rumah yang boleh saya bilang unik. Pemiliknya adalah seorang arsitek berdarah Surabaya lulusan ITB. Namanya pak Furqon Affandi. Sehari-hari beliau adalah petinggi di salah satu pengembang terbesar di Makassar.
Rumah pak Furqon ini disebutnya sebagai rumah tropis dengan banyak bukaan yang memang cocok untuk iklim tropis. Dari luar bangunan ini memang sepintas seperti bangunan yang belum jadi karena seluruh dindingnya tidak ada yang dicat alias dibiarkan begitu saja setelah diaci halus. Konstruksi utamanya dari baja, alasannya biar sewaktu-waktu kalau ingin mengubah ruang tidak perlu lagi membongkar konstruksi.
Rumah yang berada di dalam kawasan Bukit Baruga ini berlokasi di sebuah tebing. Kalau umumnya orang membangun rumah di tebing akan melakukan penimbunan hingga tanah rata dengan jalan, tapi tidak dengan pak Furqon. Tebing itu malah dimanfaatkan sehingga menambah eksotisme rumah tropisnya. Dari luar rumah ini terlihat hanya punya 1 lantai, tapi sesungguhnya punya 3 lantai karena memanfaatkan tebing tersebut.
Jika masuk dari depan maka kita akan segera disambut teras samping dengan kolam ikan kecil di bagian kanan. Tapi itu baru permulaan, kejutan lainnya ada pada ruang tamu yang didesain sederhana dengan dinding penuh bukaan. Dinding ruang tamu ini menggunakan bilah-bilah kayu dan grass block yang disusun vertikal. Tidak ada plafond di ruang tamu ini, hingga detail atap terlihat jelas dari dalam. Bukaan yang banyak membuat ruang tamu yang menghadap ke timur ini terasa sangat sejuk.
Material bekas dan kuno.
Kejutan-kejutan lain dari rumah ini menunggu begitu kita masuk lebih dalam. Konsep bukaan yang banyak terus dipertahankan sehingga hampir di setiap ruang kita akan jarang menemukan dinding yang massif. Kejutan lainnya, pak Furqon banyak menggunakan material bekas dan material yang murah. Beberapa bagian dengan dinding yang diekspos menggunakan bata bekas bongkaran rumah, utamanya rumah tua yang didapatkannya dari beberapa tempat di Makassar. Sementara itu lantainya menggunakan ubin terasso yang dipesan dari pekerja ubin di Makassar. Harganya Rp. 7.000,- per biji, sangat murah bila dibandingkan lantai keramik buatan pabrik.
“Coba lihat ubinnya, tiap ubin berbeda kan? Namanya juga buatan tangan manusia”, kata beliau sambil menunjuk ubin yang kami injak. Perbedaan corak dan warna tiap ubin memang berbeda dan ini yang membuatnya jadi tambah menarik.
Tidak hanya pada konstruksi rumah beliau menggunakan barang bekas, beberapa benda yang menghiasi interior rumah juga menggunakan barang bekas serta barang yang sekarang mungkin sudah dianggap ketinggalan jaman.
Keunikan lainnya juga terletak pada kamar mandi utama serta kamar mandi di ruang tidur utama yang tidak didesain dengan bentuk kotak. Beliau mengaku ingin mendobrak anggapan orang bahwa ruang itu harus kotak karenanya beliau mendesain kamar mandi berbentuk setengah lingkaran dengan bukaan besar yang membuat udara dan sinar matahari bebas menerobos ke dalam kamar mandi.
Tour singkat ke rumah pak Furqon hari itu diakhiri dengan makan bersama di atas meja makan dari kayu bekas yang dibiarkan begitu saja. Konsep membiarkan begitu saja diaplikasikan pada semua bagian rumah. Dinding yang tidak dicat terlihat sudah penuh dengan rembesan hujan dan dibiarkan begitu saja, bahkan bagian luar rumah yang sudah berlumut dibiarkan begitu saja. Sepintas kondisi ini membuat rumah terlihat lebih natural.
Ketika ditanya kenapa memilih desain rumah yang tidak umum, ayah 4 anak ini menjawab, “Rumah itu harus sesuai dengan jiwa pemiliknya. Kadang dalam mendesain rumah kita lupa kalau kitalah yang menghuni rumah itu, bukan orang lain. Kadang kita lebih peduli pada apa kata orang sehingga kita jadi lebih memilih desain yang disukai orang ketimbang yang kita sukai”.
Benar juga, kadang dalam membangun rumah kita lebih berpikir tentang bagaimana rumah itu nyaman dilihat orang bukan bagaimana supaya rumah itu membuat kita nyaman tinggal di dalamnya. Tidak salah kalau saya bilang, rumah itu adalah representasi jiwa sang pemilik. Rumahmu, jiwamu [dG]
Hahahaha, *langsung jatuh cinta sama rumahnya*
Entah kenapa persoalan mengenai rumah sendiri selalu menghantui selama beberapa minggu terakhir. Konsep mandiri dan rumah sendiri selalu yg ada di kepala. Mungkin sudah saatnya. #eh
kalo memang tidak buru-buru sebaiknya memang beli tanah dan bangun sendiri biar sesuai kemauan..
tapi kalo butuhnya cepat yaaa mau tidak mau harus beli yg sudah jadi 😀
foto tampak luarnya mana daeng?
waktu itu belum sempat motret luarnya karena cahayanya gak bagus.
tar deh balik lagi buat motret luarnya
wuih kerennya….jadi ngiler pengen punya rumah sendiri..hmm kapan yaks *tanya’ma* hahaha
pokoknya simpan dalam hati…suatu saat pasti dapat lelaki yg bisa menyediakan rumah buatmu #eh
😀
rumahnya artistik tauwwa daeng……..
btw, saya sendiri kepikiran kalau nanti mau dan bisa bikin rumah…maunya bikin Rumah Pohon….
tapi mau bikin dimana di ? di Malino mungkin bisa….hmmm
rumah pohon? duh..susahmi itu, makin berkurangmi pohon..hahaha
wuih, keren aseli.. iya saya penasaran liat penampakan depannya daeng, dibaruga ini yah?
iyya, ini di Baruga..persis dekat masjid Fatimah
wowowow.. keren sekali desain interior rumahnya..