Revolusi Berawal Dari Warteg

sumber asli: buletinmadubranta.blogspot.com
sumber asli: buletinmadubranta.blogspot.com

Bukan hanya tempat makan, warteg juga bisa memengaruhi banyak hal di negeri ini.

Sebagai orang yang tinggal di Makassar, saya tidak terlalu akrab dengan warteg. Tidak banyak warteg di sini, kalaupun ada tempat makan sederhana namanya bukan warteg, tapi rumah makan saja.

Tapi pengalaman pernah tinggal setahun di Jakarta coret (Cileungsi lebih tepatnya) dan bolak-balik Jakarta dalam kisaran empat tahun ini perlahan membuat saya mulai akrab dengan warteg. Salah satu pilihan makan yang murah, walaupun terus terang rasa makanannya tidak selalu bisa akrab di lidah. Maklum, warteg rata-rata menyajikan makanan khas Jawa yang kuahnya agak manis, berbanding terbalik dengan makanan khas Makassar yang rata-rata asin.

Makin lama saya makin percaya kalau sesungguhnya nasib republik ini banyak disokong oleh keberadaan warteg. Bagaimana tidak? Warteg jadi tempat berkumpulnya para pekerja kelas menengah di waktu makan siang (kadang juga makan malam). Mereka mengisi perut di warteg, mengumpulkan kembali tenaga agar bisa bekerja kembali, memutar roda ekonomi negeri ini.

Tidak bisa saya bayangkan kalau di kota besar seperti Jakarta tidak ada warteg. Mau makan di mana para pekerja kelas menengah itu? Makan di food court mall atau perkantoran? Atau makan di gerai makanan kelas atas di mall?

Sekali dua kali mungkin bisa, atau mungkin seminggu penuh. Tapi setelah itu, puasa jadi pilihan yang masuk akal. Bukan apa-apa, harga makanan di food court atau di gerai makanan di mall itu luar biasa bok! Bisa-bisa gaji sebulan hanya habis buat makan siang saja.

Pilihan lainnya mungkin di kantin. Ada beberapa perkantoran di Jakarta yang saya tahu menyediakan kantin yang nikmat dan lumayan terjangkau. Tapi, mungkinkan ibu kantin itu memenuhi kebutuhan perut ratusan atau mungkin ribuan pekerja itu? Berat pasti.

Makanya, warteg lalu muncul sebagai dewa penolong. Penyedia makanan, penyambung hidup para pekerja kelas menengah di kota besar seperti Jakarta.

Di warteg mereka berkumpul, menikmati makan siang sambil tentu saja bertukar obrolan. Mungkin dari persoalan kecil di sekitar kantor mereka yang bisa saja kemudian meluas kepada topik-topik hangat di republik ini. Mungkin tentang Ahok, mungkin tentang isu komunisme, atau mungkin juga topik-topik lain yang sedang hangat.

Dari obrolan ngalor-ngidul itu bisa saja muncul gerakan-gerakan kecil maupun besar yang suatu saat nanti mengguncangkan Indonesia raya.

*****

Pekan pertama bulan Ramadan tahun ini juga sudah memberikan bukti, betapa warteg memegang peranan penting di negeri ini. Sebuah warteg sederhana di Serang, Banten tiba-tiba mengguncangkan dunia persilatan Indonesia. Awalnya sebuah razia oleh Satpol PP yang sesuai khittahnya berusaha menegakkan aturan dari pimpinannya. Sialnya, aksi sang petugas yang berdedikasi tinggi itu terekam kamera. Bukan aksi sang petugas yang lantas memantik api revolusi, tapi wajah memelas sang ibu pemilik warteg dan segenap masakan yang disita Satpol PP.

Foto dan video penyitaan itu yang juga berisi wajah memelas sang ibu pemilik warteg menggerakkan seseorang untuk mengumpulkan donasi. Daripada hanya mengutuk, lebih baik berbuat sesuatu, katanya. Seperti teriakan diskon 75% di pasar moderen, ajakan itu segera bersambut. Dalam waktu singkat rekening sang pengajak itu dipenuhi sumbangan mereka-mereka yang juga merasa bersimpati pada si ibu pemilik warteg bermuka memelas itu.

Jutaan rupiah terus membengkak, bahkan hingga menjadi puluhan lalu ratusan juta. Luar biasa! Sebuah gerakan yang bermula dari warteg.

Seperti umumnya sebuah aksi, pasti akan ada reaksi. Benar saja, aksi solidaritas ibu warteg itu menuai reaksi beragam. Ada yang memuji tentu saja, tapi ada juga yang malah mencibir. Bahkan ada yang memberi label tindakan itu sebagai sebuah kebodohan. Lalu seperti biasa, sahut-sahutan muncul di media sosial. Debat-debat kusir tak bermoderator apalagi berujung mulai ramai. Yang setuju tentu saja membela aksi solidaritas itu, yang membenci tentu saja tetap bersikukuh memberikan cibiran.

Ributnya mungkin melebihi ributanya teriakan calo terminal di musim mudik. Riuh rendah perdebatan itu bermula dari warteg.

Bola panas dari warteg itu kemudian terus bergulir. Presiden dan Menteri Dalam Negeri konon juga ikut menunjukkan simpati mereka. Bahkan kehebohan itu berujung pada pemanggilan Walikota Serang sang pimpinan para Satpol PP yang menjalankan tugas merazia itu. Lalu bergulir lagi dengan rencana pembatalan lebih dari 3000 Perda di seluruh Indonesia.

Entah apakah rencana itu berhubungan dengan keriuhan dari warteg itu atau tidak, tapi seperti biasa; bola panas berkelojotan di media sosial. Rencana itu kabarnya termasuk rencana membatalkan Perda syariah. Wah, tidak benar ini! Dasar pemimpin kafir, pembenci Islam! Begitu kata mereka yang dari awal memang sudah tidak setuju dengan aksi solidaritas pada ibu pemilik warteg bermuka memelas dari Serang, Banten itu.

Lalu ribut-ribut berpindah lagi. Dari warteg, aksi solidaritas, sekarang pindah ke rencana penghapusan Perda.

Masih belum reda debat-debat tak berujung tentang rencana penghapusan Perda yang konon juga menyasar Perda syariah itu, muncul lagi keriuhan lain. Ternyata si ibu pemilik warteg itu bukan orang miskin, dia punya tiga warteg lain dan suaminya juga seorang bandar judi. Rumornya sih begitu, bahkan beberapa media besar menuliskan rumor itu dengan menghianati prinsip dasar jurnalistik. Hanya berisi opini satu pihak, tidak ada verifikasi di lapangan, wawancara pihak kedua, ketiga dan seterusnya. Pokoknya RIP cover both side-lah.

Dan keributan makin bertambah panjang.

Sungguh luar biasa! Sebuah warteg kecil di Serang, Banten bisa menggerakkan begitu banyak hal-hal kecil dan besar di seantero negeri. Ribuan bahkan mungkin lebih orang jadi ikut-ikutan kasak-kusuk membahas tentang warteg itu, tentang aksi dan reaksi setelahnya dan tentang topik-topik yang terus mengikutinya.

Saya kagum luar biasa pada efek yang disebabkan oleh sebuah warteg kecil di Serang, Banten itu. Jangan heran kalau suatu saat nanti sebuah revolusi yang mengguncang negeri ini bahkan mungkin menggulingkan kekuasaan akan berawal dari sebuah warteg. Sekarang kita sudah sama-sama tahu dan sama-sama melihat, betapa besar dampak sebuah warteg dalam riuh rendah interaksi sosial penduduk negeri ini.

Revolusi bisa saja berawal dari warteg! [dG]