Rasialisme Di Sekitar Kita
Sebuah tulisan ngalor-ngidul tentang rasialisme selepas menonton film Remember The Titans.
Semalam saya tidak sengaja menonton sebuah film di jaringan televisi berbayar, judulnya: Remember The Titans. Film lama sebenarnya, produksi tahun 2000 yang dibintangi salah satunya oleh Denzel Washington. Film ini diangkat dari kisah nyata pelatih futbol SMA bernama Herman Boone yang diperankan denga apik oleh Denzel Washington. Ada hal yang menarik dari film ini, cerita tentang rasialisme yang masih lekat di Amerika di penghujung tahun 1960an dan awal tahun 1970an.
Kala itu menemukan pemandangan kaum kulit putih duduk berdampingan dengan kaum kulit gelap adalah hal yang ganjil. Kalau sampai terjadi maka si kulit putih dan si kulit hitam yang duduk berdampingan akan dianggap penghianat oleh kaumnya. Rasialisme masih sangat kuat, perbedaan kelas menurut warna kulit yang disertai dengan sentimen negatif adalah hal yang jamak. Beberapa tempat umum seperti restoran milik orang kulit putih sekalipun dengan terang-terangan menolak kaum kulit hitam untuk datang ke tempat mereka. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi yang terjadi dalam kamp pelatihan tim futbol yang isinya merupakan gabungan antara kulit hitam dan kulit putih.
Perbedaan kelas beradasarkan warna kulit yang demikian kental di awal pelatihan coba dikikis sang pelatih dengan cara yang keras dan nyaris menyerupai pelatihan militer hingga akhirnya selepas kamp pelatihan para pemain yang berbeda warna kulit itu sudah bisa bergandengan tangan dan duduk bersebelahan. Kondisi ini justru mendatangkan masalah baru, lingkungan yang belum bisa menerima peleburan ras seperti itu dengan cepat bereaksi. Ibu-ibu kulit putih tidak rela anak-anak mereka bergaul mesra dengan anak-anak kulit hitam. Sementara itu di sekolah sendiri terjadi perpecahan, anak-anak kulit putih dan anak-anak kulit hitam memandang para pemain futbol yang akrab tanpa memandang warna kulit itu sebagai penghianat kaumnya.
Di sekitar kita.
Saya tidak hendak bercerita tentang film Remember The Titans, tapi saya lebih tertarik merenungkan perseteruan ras yang jadi bumbu utama film garapan sutradara Boaz Yakin itu. Perseteruan antar ras yang kerap disebut rasialisme itu sepertinya sudah jadi bumbu sepanjang sejarah manusia ketika peleburan antar ras mulai terjadi. Dominasi satu ras terhadap ras lainnya adalah perpanjangan tangan dari nafsu serakah manusia untuk menguasai manusia lainnya. Columbus membunuhi orang Indian yang dianggapnya sebagai ras terbelakang dan penganut berhala. Hitler membanggakan ras arya sebagai ras terbaik di dunia dan menolak menjabat tangan Jesse Owens, pelari kulit hitam Amerika yang berhasil meraih mendali emas di Olimpiade Berlin 1936. Semua itu lahir dari rasa superior dan perasaan sebagai ras terbaik.
Di sekitar kita sendiri rasialisme mungkin saja ada tanpa kita sadari. Ketika kita menetapkan stereotype tentang satu suku maka sesungguhnya kita sudah menjalankan praktek rasialisme tanpa kita sadari. Ketika kita secara sadar maupun tidak menganggap kalau suku A itu pelit, suku B itu keras dan kriminal atau suku C itu licik maka saat itu juga kita sudah sudah menyemai bibit rasialisme atau berprasangka kepada seseorang berdasarkan ras atau golongannya. Mungkin kadarnya saja yang tidak sampai sebesar gelombang rasialisme yang terjadi di luar negeri, tapi setidaknya kita juga melakukannya.
Rasialisme terus ada bahkan di jaman digital seperti sekarang, menyentuh semua aspek kehidupan termasuk dunia olahraga. Salah satu contoh seperti di cerita film Remember The Titans itu, bagaimana orang kulit putih (awalnya) begitu sulit untuk bekerjasama dengan rekan setim yang berkulit gelap hanya karena prasangka yang sudah ada selama berabad-abad. Atau contoh lain ketika Hitler begitu jijik bahkan untuk sekadar menjabat tangan Jesse Owens.
Di abad milenium, rasialisme dalam olahraga juga masih subur. Coba tanyakan pada Samuel Eto’o atau Yaya Toure bagaimana sakit hatinya mereka ketika menjadi korban rasialisme. Beberapa pendukung garis keras klub di Eropa terkenal memelihara rasialisme ini, sebut saja fans garis keras Lazio yang selama bertahun-tahun kukuh menentang pemain kulit hitam meski akhirnya mulai melunak. FIFA sendiri sudah mencanangkan gerakan Kick Out Racism yang bertujuan untuk memupus rasialisme dari lapangan hijau, sebagian besar berhasil meski praktek rasialisme (bahkan oleh FIFA sendiri) masih tetap ada.
Mungkin memang sudah suratan takdir bahwa selama bumi masih berputar maka selama itu pula rasialisme masih tetap ada, dalam kadar yang berbeda-beda tentunya. Manusia hidup dengan insting untuk jadi manusia yang lebih baik dari manusia lainnya, mungkin sama dengan insting binatang yang ingin menguasai binatang lainnya. Ketika kita menjadi mayoritas di sebuah wilayah maka ketika itu pula secara tidak sadar kita menumbuhsuburkan perasaan superior dan merendahkan ras lainnya. Perlu hati besar dan wawasan luas untuk mengakui kalau tidak semua persepsi buruk kita pada ras lain itu benar.
Kita hanya harus lebih luas berkawan, bertemu orang-orang baru dari beragam ras yang berbeda sampai akhirnya kita tahu kalau kita semua manusia ciptaan Tuhan yang dilahirkan dengan satu sisi baik dan satu sisi buruk. Rasialisme tidak akan pernah hilang sama sekali, kita hanya bisa meredamnya jangan sampai rasialisme jadi alasan konyol untuk membeda-bedakan antar sesama ciptaan Tuhan. [dG]