Pesan Dari FOREPLAY Untuk Jokowi
Sejak akhir piala dunia 1994 di Amerika Serikat, Indonesia sudah menancapkan target besar; Menuju Piala Dunia. Jalan menuju target itu dimulai dengan menyatukan liga semi profesional Galatama dengan liga Perserikatan menjadi Liga Indonesia. PSSI yang bekerja mengatasnamakan 200 juta penduduk Indonesia nampak serius mencapai target itu.
Piala dunia memang jadi tujuan tertinggi bagi para olahragawan lapangan hijau. Tak peduli apa prestasimu di liga, tapi ketika kau berhasil bermain di pentas piala dunia maka banggamu pasti tak terkira. Tak peduli apa prestasimu di liga tapi ketika kau tak mampu bermain apik di piala dunia maka dunia akan selalu menganggapmu tak lengkap. Karena itulah, piala dunia jadi tujuan tertinggi para pesepakbola di planet ini.
Piala dunia adalah Mount Everest-nya para pesepakbola.
Karena itu juga, Indonesia sebagai negara yang juga sangat menggemari sepak bola merasa perlu memasang target dan impian menembus piala dunia. Indonesia sudah capek berlama-lama dalam memori “hampir menang” melawan Uni Sovyet. Sebuah kejadian yang selalu diulang dari masa-masa sampai-sampai ada ungkapan “Hampir menang saja bangga”.
Indonesia butuh mimpi tinggi untuk bisa melupakan memori itu sekaligus menumbuhkan memori dan kebanggaan baru. Tentu saja dengan piala dunia sebagai target tertingginya.
Lalu tahun berganti tahun, piala dunia tetap saja digelar setiap empat tahun sekali dan Indonesia tetap saja masih sulit menembusnya. Jangankan lolos ke piala dunia, untuk lolos dari penyisihan grup pertama saja sulit. Jangankan bermain di pentas piala dunia, bermain di level Asia Tenggara saja kita tidak bisa, selalu kalah bersaing dari Thailand dan Malaysia bahkan belakangan mulai keteteran menghadapi Myanmar, Vietnam, Singapura dan bahkan Filipina. Mimpi itu makin kabur, tetap menggantung tapi kabur seperti alat kelamin pria dan wanita di film porno Jepang.
Kemudian karena mimpi itu terasa semakin kabur, PSSI mencoba membuat mimpi baru. Salah satu cara untuk bisa lolos otomatis ke piala dunia adalah dengan menjadi tuan rumah. Mimpi ini dirasa lebih realistis daripada lolos sebagai peserta dengan melalui banyak fase grup. Lalu dicanangkanlah rencana menjadi tuan rumah piala dunia 2022. Kalau kita jadi tuan rumah maka otomatis kita juga pasti akan main di piala dunia kan? Bagus! Menepuk dua lalat dengan satu tepukan.
Tapi, mimpi ini ternyata sama sulitnya dengan mimpi pertama tadi. Piala dunia bukan ajang murahan yang bisa digelar secara serampangan. Bahkan negara sepakbola sebesar Inggrispun harus berjuang mati-matian merebut jatah sebagai tuan rumah, apalagi negara seperti Indonesia yang bahkan di level Asia Tenggarapun sulit berprestasi.
Dan mimpi kedua itu harus disingkirkan karena sama saja seperti membayangkan Lebug (kawan saya) duduk di pelaminan megah bersama Raisa. Bukan tidak mungkin, hanya saja sulitnya minta ampun. Butuh campur tangan Tuhan yang banyak.
***
20 tahun sejak mimpi itu pertama dicanangkan dan inilah kita. Masih tertatih-tatih menuju kejayaan sepak bola bahkan di Asia Tenggara sekalipun. Mimpi kita sempat terang ketika serombongan anak-anak muda usia 19 tahun menorehkan prestasi memuaskan di AFF U-19 dan memukul Korea Selatan U-19. Sebuah prestasi yang kita bahkan lupa kapan terakhir ditorehkan.
Anak-anak ini bermain apik, benar-benar bermain seperti sebuah kesebelasan yang bermain dalam 1 unit. Mereka jelas tahu cara bermain sepak bola, gaya mereka asing dan sama sekali berbeda dengan gaya tim nasional senior mereka. Mimpi kita jadi cerah kembali, kita pasti bisa lolos ke piala dunia meski itu piala dunia U-20. Tidak ada masalah, usia berapapun asal piala dunia!
Tapi rupanya Tuhan minta kita bersabar lagi. Di piala Asia U-19 anak-anak muda itu bermain canggung dan akhirnya gugur di fase grup dengan total kemasukan 8 gol, memasukkan 2 dan tidak membawa satupun poin. Hal biasa, kita sudah sering sekali merasakannya. Hanya sekarang bedanya karena tetangga kita Myanmar justru lolos ke semi final yang berarti otomatis lolos ke piala dunia U-20 tahun depan!
Myanmar! Iya, Myanmar yang itu, Myanmar yang 20 tahun lalu membuat anak-anak sekolahan seangkatan saya mengernyitkan dahi sambil bertanya, “Negara apa itu? Negara miskin pasti!” Iya, Myanmar yang itu, Myanmar yang penduduknya tidak lebih banyak dari Jawa Timur dan Jawa Tengah bila digabung. Myanmar yang dulu akrab dengan perang dan kemiskinan itu lho, Myanmar yang bahkan dulu adalah lumbung gol kita kalau bertemu di level Asia Tenggara. Iya, Myanmar yang itu.
Dan Myanmar yang itu sudah merebut mimpi kita. Kita yang sudah bermimpi masuk piala dunia sejak 1994, tapi kenapa mereka yang lolos? Benar-benar sebuah tindakan yang kurang ajar! Mereka baru belajar bermain sepak bola dengan benar ketika kita sudah jadi salah satu raja Asia Tenggara. Mereka bahkan belum tahu cara pakai sepati yang baik ketika tim nasional kita jadi salah satu yang disegani di Asia. Tapi kenapa mereka berani mencuri mimpi kita bermain di piala dunia?
Karenanya, atas nama FOREPLAY (Forum Penggemar Sepak bola Alay) saya mendesak pemerintah Indonesia untuk menuntut Myanmar karena sudah mencuri dan mengklaim mimpi kita. Saya berharap pemerintah mau mengambil langkah serius untuk menuntut mereka di Mahkamah Internasional. Cukuplah dulu Malaysia mencuri dan mengklaim sebagian budaya kita, sekarang jangan biarkan Myanmar mencuri mimpi kita! Kalau kita biarkan, bisa jadi suatu hari nanti tim sepak bola senior mereka juga akan lolos ke piala dunia sebelum kita. Karenanya harus kita cegah sekarang juga!
Atas nama FOREPLAY saya minta pemerintah Indonesia yang baru di bawah kepemimpinan pak Jokowi untuk menuntut Myanmar! Sekarang juga! Tegakkan harga diri bangsa, jangan sampai kita dihinakan oleh negara kecil seperti Myanmar yang sudah berani-beraninya mencuri mimpi kita! [dG]
dan saya pun gemes. sesegemes-sehemesnyanya ibarat mimpi basah tapi semuanya terlihat kabur seperti alat kelamin pria dan wanita di film porno Jepang.
Sepak bola kita mungkin akan maju kalo jumlah lapangan sepak bola sudah lebih banyak dari jumlah lapangan futsal…. 🙂