Bisakah Kita Percaya Online Review?

Riset menunjukkan bahwa orang lebih mudah mengindahkan review negatif dari sebuah produk atau layanan, meskipun kredibiltas pembuat review dipertanyakan.



JADI CERITANYA SAYA DAN MAMIE sedang menyiapkan rencana liburan. Maklumlah, kami sering terpisah jarak dan waktu. Jadi ketika ada kesempatan, libur berdua dan menjauh dari rutinitas sepertinya jadi pilihan yang sangat menggoda. Lokasi sudah ditetapkan dan saya yang diberi tanggung jawab untuk membereskan segalanya. Dari menentukan waktu, mencari penginapan, sampai mengurus tiket pesawat. Untungnya karena pembayarannya dilakukan lewat kartu kredit yang nanti akan dibayar bersama #eh.

Mulailah saya menjalankan tugas. Mencari penginapan yang sesuai dengan kriteria kami. Penginapan yang cocok untuk bulan madu entah yang keberapa kalinya.

Ternyata tugas ini tidak mudah saudara-saudaraku yang baik hatinya. Masalahnya bukan di harga, tapi lebih kepada kenyamanan. Saya harus bilang kalau urusan harga tidak jadi masalah buat saya. Serius. Kalau harganya terjangkau ya saya bayar, kalau tidak ya saya tinggalkan. Tidak masalah kan? Akan menjadi masalah kalau harganya tidak terjangkau tapi saya memaksakan diri untuk menjangkaunya. Itu baru masalah namanya.

Baik, mari kembali ke pencarian saya.

Masalah terberat ternyata adalah ketika menemukan tempat yang saya anggap sudah memenuhi kriteria, direkomendasikan oleh beberapa blog yang saya temukan dengan kata kunci tertentu, tapi ternyata mendapatkan tinjauan (review) yang kurang bagus di beberapa aplikasi booking online.

“This is not a hotel, this is boarding house. Anytime we want to get in or get out the hotel, we have to call the staff. The gate is locked all the time. And caterpillars everywhere.”

Itu contoh review tentang sebuah villa yang sempat saya incar. Lalu ketika layar saya gulung ke bawah, beberapa review lain muncul. Nadanya hampir sama negatifnya. Tapi di antara beberapa review negatif itu masih ada juga beberapa review positif yang memberi pujian pada villa yang saya incar itu.

Beberapa review hotel dari sebuah situs layanan booking online

Tapi saya sudah terlanjur terpengaruh review negatif tersebut dan memilih mengecek villa lain. Hasil yang sama kemudian saya temukan. Beberapa review negatif yang bersanding dengan review positif. Kembali saya terpangaruh review negatif. Begitu terus hingga tidak terasa berjam-jam sudah saya habiskan hanya untuk menimbang-nimbang mana yang kira-kira yang terbaik untuk kami pilih. Sungguh tidak sia-sia saya terlahir sebagai seorang Libra yang memang penuh pertimbangan.

Hingga akhirnya saya menyerah. Memilih sebuah villa dengan review negatif paling sedikit sambil berharap kami tidak mendapatkan pengalaman buruk seperti sang penulis review negatif.

Bismillah! Mari kita berangkat.

Baca juga: 5 Hotel “Yang Paling” Buat Saya

Terpengaruh Review Negatif.

Pengalaman ini sedikit banyaknya membuat saya berpikir; bisakah kita memercayai review online? Pertanyaan ini muncul melihat beragamnya sebuah review di website atau aplikasi yang saya gunakan. Review positif bersanding dengan review negatif. Padahal, tempatnya sama, waktunya berdekatan. Kenapa bisa ada dua review yang berbeda?

Tahun 2014, ada sebuah studi yang dipublikasikan di The Journal of Marketing Research dibuat oleh Duncan Simester, seorang profesor marketing di M.I.T Sloan School of Management. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa review positif jumlahnya masih jauh lebih banyak dari review negatif. Mereka mengambil sampel di Amazon. Menurut penelitian itu, ada 4,8% review negatif dengan satu bintang yang diterbitkan. Berbanding 59% review positif dengan lima bintang. Perbandingan yang sangat jauh, bukan?

Tapi kenapa kadang kala kita sangat percaya dan terpengaruh pada review negatif tersebut?

Dalam sebuah artikel di New York Times, professor Duncan Simester menyatakan bahwa orang kadang memang terpengaruh pada review negatif tersebut dan membuat mereka seakan tidak peduli pada review lainnya yang mungkin lebih positif.

Contoh review yang lain

Review negatif tersebut seakan-akan salah satu alarm yang menandakan akan terjadi sesuatu yang sama buruknya jika kita memilih produk atau layanan tersebut. Menurut Duncan Simester lagi, orang-orang lebih menilai bahwa review negatif tersebut lebih informatif. Review negatif lebih menekankan pada kecacatan sebuah produk atau layanan sehingga lebih mudah terlihat dan secara tidak sadar sangat memengaruhi kita dalam memutuskan sesuatu. Walaupun tidak semuanya benar.

Dalam kasus penyediaan layanan seperti hotel misalnya. Kita hampir tidak mungkin memuaskan semua orang. Apalagi bila layanan yang kita pilih masih tergolong kelas menengah, dan bukan kelas mewah. Meski menginap di hotel berkelas juga bukan berarti jaminan bahwa semua layanan mereka akan pasti memuaskan semua orang.

Saya ingat sebuah kejadian. Beberapa tahun lalu saya pernah menginap di sebuah hotel mewah di Jakarta. Saya anggap hotel mewah karena harga per kamarnya per malam tidak pernah berada di bawah angka Rp.1,5 juta. Semua serba mewah. Layanan stafnya, kondisi kamarnya, lokasi dan pokoknya semuanya, sangat menyenangkan. Hanya saja saya menemukan satu cacat. Bathrobe atau mantel mandinya sudah terlihat kusam dan di satu bagiannya ada yang bolong dengan benang yang terurai. Untuk hotel seharga di atas Rp.1,5 juta per malam itu adalah sebuah cacat besar, menurut saya.

Saya memberikan review dengan 4 bintang di Tripadvisor untuk hotel tersebut, sambil tetap menyebutkan soal bathrobe yang cacat itu beserta foto buktinya. Apa yang terjadi? Seseorang yang mengaku manager hotel mengirimkan email permintaan maaf ke saya. Lengkap dengan tawaran memberikan diskon 10% jika di lain waktu saya menginap lagi di hotelnya. Tawaran yang tidak pernah saya pergunakan karena toh saya juga menginap di sana atas biaya dinas. Saya belum mampu bayar sendiri. Hahahaha.

Cerita di atas sekadar menggambarkan bahwa harga bukan jaminan kalau layanan yang kita terima akan selalu prima, meski saya juga setuju kalau harga adalah patokan dasar. Ada harga, ada mutu.

Semakin tinggi harga sebuah layanan, semakin tinggi juga tuntutan penggunanya. Kemungkinan untuk menerima komplain lebih besar karena toh pelanggan sudah membayar mahal dan tentu berharap mendapat layanan yang kelas satu juga.

Kembali ke soal review negatif. Akuilah bahwa kita kadang memang lebih mudah terpengaruh review negatif daripada review positif. Di alam bawah sadar, ketika menemukan review positif kita akan sedikit berujar bahwa “memang seharusnya begitu.” Menyediakan sesuatu yang bagus adalah kewajiban semua penyedia layanan atau pedagang, bukan? Jadi kalau layanan atau barangnya bagus, ya memang sudah tugasnya. Akan berbeda ketika menemukan review negatif. Kita akan menjadikannya sebagai patokan, lalu secara tidak sadar memberi cap negatif pada barang atau layanan tersebut.

Padahal tidak selamanya itu akurat.

Online Review Tidak Selamanya Bisa Dipercaya.

Bagaimana sebenarnya kita memperlakukan review online tersebut? Apakah kita harus benar-benar memercayainya atau mengabaikannya? Sebuah jurnal yang dipublikasikan di The Journal of Consumer Research tahun 2016 menyebutkan bahwa korelasi antara kepuasan pelanggan dengan review online ternyata sangat sedikit.

Kenapa? Karena online review biasanya sangat subyektif dan jumlah mereka yang meninggalkan review sangat sedikit dibanding mereka yang melakukan transaksi.

Menurut Duncan Simester, jumlah mereka yang memberikan review online hanya 1,5% atau hanya 15 dari 1000 orang. Kita tidak bisa benar-benar memercayai 15 orang ini sebagai representasi dari 985 orang lainnya bukan? Apalagi jika obyek dari review tersebut adalah sebuah layanan yang sangat abstrak dan punya banyak hal yang memengaruhinya.

Ambil contoh layanan hotel. Sesuatu yang bagi seseorang sangat krusial dan mengganggu, bagi orang lain mungkin masih bisa diterima. Tidak perlu dikomplain.  Khusus untuk hotel atau layanan perjalanan lainnya, kondisinya bisa berubah-ubah dan tergantung suasana saat itu.

Baca juga pengalaman saya menginap di hotel berbintang sampai hotel 60rban di sini.

Motivasi seseorang dalam memberikan review juga sangat berpengaruh. Menurut Ulrike Gretzel, seorang profesor bidang komunikasi di University of Southern California dan juga direktur riset di Netnografica, seseorang yang sudah sering bepergian cenderung akan sangat kritis dalam memberikan review, utamanya di website atau aplikasi yang berhubungan dengan traveling. Contohnya di situs Trip Advisor. Para “Super Contributor” di situs tersebut lebih sering memberikan review negatif atau bernada kritik dibanding anggota lain yang kurang aktif. Menurut studi Ulrike Gretzel, posisi mereka sebagai expert travel reviewers membuat mereka merasa harus terus memberikan review kritis yang akan membuat mereka terlihat lebih profesional.

Sebuah studi lain dari Electronic Commerce Research and Application yang meneliti 125.076 review online menyebutkan bahwa mereka yang berwisata dengan pasangan biasanya lebih banyak memberikan review positif, diikuti oleh mereka yang berwisata dengan keluarga atau teman. Sebaliknya, mereka yang berjalan sendirian atau bepergian karena urusan bisnis adalah yang terburuk atau paling sering memberikan review negatif. Ini membuktikan bahwa review yang kita berikan juga sangat bergantung pada suasana hati ketika melakukan perjalanan atau menikmati layanan.


online review
Bisakah kita percaya online review?

Bagaimana Menyikapi Online Review?

Meski beberapa studi menyiratkan bahwa kita sebaiknya jangan bergantung 100% pada review online, namun rasanya tidak pantas juga untuk benar-benar mengabaikan review tersebut. Bagaimanapun, review tersebut pasti menyiratkan sesuatu. Baik atau buruknya. Dijadikan salah satu pertimbangan tentu lebih bijak daripada sama sekali tidak menghiraukannya.

Hal yang saya lakukan – utamanya bila menyangkut layanan hotel – adalah memilah mana review buruk yang kira-kira masih bisa saya toleransi.

Nyamuk di kamar, sarapan yang tidak enak, ulat bulu di dinding, sepertinya masih bisa saya terima. Saya sudah pernah menginap di kamar yang lebih buruk. Apalagi bila harganya memang saya anggap masih murah. Istilahnya; bayar murah tapi minta layanan mahal? Yang benar saja.

Kebetulan saya – dan Mamie – bukan orang yang cengeng dan sangat mudah bertoleransi. Sudah beberapa kali kami berwisata berdua dan mendapati layanan hotel yang mungkin bagi orang lain sudah efektif membuat mereka mencak-mencak protes. Tapi kami terima saja, selama tidak benar-benar mengganggu dan membuat tidak nyaman. Karena buat kami, yang terpenting adalah bisa berdua. Itu rasanya dunia sudah milik berdua saja, yang lain ngontrak. #halah.

Saya juga sebisa mungkin memberikan apresiasi ketika merasa layanan yang kami terima sangat memuaskan. Kalaupun ada yang mengecewakan, saya berusaha memberikan review dan kritikan membangun tanpa bermaksud menjelek-jelekkan hotel tersebut.

Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian sangat memercayai review online, atau sekadar menjadikannya sebagai salah satu patokan dalam menjatuhkan pilihan? [dG]