Orang Indonesia Banyak Akalnya

ilustrasi
ilustrasi

Percayalah, orang Indonesia itu banyak akalnya!

Seorang kawan pernah bekerja pada sebuah perusahaan yang salah satu managernya adalah orang Jepang. Kawan saya kebetulan bekas montir dan dia bertanggungjawab pada kesehatan alat-alat berat di tempatnya bekerja. Suatu hari sebuah alat berat bermasalah, mesinnya mendadak mogok dan tidak bisa dioperasikan. Si orang Jepang atasan kawan saya memerintahkan untuk memanggil teknisi dari perusahaan asal si alat berat, tapi kawan saya menolak. Dengan kemampuan montirnya yang sudah berbilang tahun dia percaya diri bisa memperbaiki sendiri alat berat itu.

Benar saja, kawan saya akhirnya bisa membuat si alat berat kembali bersuara dan siap beroperasi. Rahasianya sederhana saja, memang ada alat yang harus diganti tapi daripada membeli alat baru yang mahalnya minta ampun kawan saya hanya sedikit mengakalinya dengan menggunakan mesin bubut atau mesin apa lagi saya tidak tahu. Jelasnya alat berat itu bisa beroperasi kembali dengan biaya nol. Si atasannya yang orang Jepang hanya geleng-geleng tidak percaya. Meski dengan berati hati dia mengijinkan mesin itu dipakai kembali tapi dia tetap bersungut-sungut marah karena proses seperti itu tidak sesuai dengan standar operasional di negerinya.

Mungkin Anda juga pernah mendengar cerita seorang warga negara Amerika yang mendapatkan musibah di Bali ketika laptop yang sedianya dipakai untuk presentasi tiba-tiba mati total. Si bapak panik, pilihannya adalah meminta mengirimkan laptop yang baru dari Amerika yang tentu saja menelan biaya besar dan butuh waktu panjang. Untuk saja resepsionis hotel tempatnya menginap memberi saran membawa laptopnya ke tukang servis tidak jauh dari hotel.

Si bapak Amerika itu sempat tidak percaya ketika melihat penampakan tempat servis yang dimaksud. Tentu saja jauh bila dibandingkan service center laptop di negaranya. Tempat servis yang didatanginya hanya sebuah ruangan kecil berisi beberapa komputer dan laptop rongsokan atau yang sedang diperbaiki. Pekerjanyapun jauh dari kata rapi. Hanya berkaos oblong dan bercelana pendek.

Si bapak Amerika pasrah saja ketika laptopnya mulai dianalisa oleh si tukang servis. Kemungkinan terburuk adalah data-datanya akan hilang tak berbekas. Tapi, dia berubah dari skeptis menjadi takjub ketika hanya berselang beberapa menit kemudian dengan cara sederhana dan susah masuk di akalnya sang laptop kembali menyala seperti sediakala. Tidak ada satupun data yang hilang! Hebatnya lagi, dia hanya harus membayar 2 dollar AS!

***

Dua cerita di atas adalah cerita tentang bagaimana hebatnya orang Indonesia dalam memperbaiki kekurangan. Standar operasional jadi tidak penting lagi karena kreativitas mereka berhasil mematahkan aturan-aturan itu. Kawan saya tidak merasa perlu mengganti perangkat mesin yang rusak karena toh dengan sedikit mengakalinya mesin itu bisa berjalan kembali seperti sediakala. Orang Jepang yang terbiasa bekerja dengan SOP dan peraturan-peraturan yang rapi tentu hanya geleng-geleng kepala melihatnya.

Di kisah kedua, sang teknisi komputer juga tidak perlu mengikuti SOP yang menurutnya ribet. Semua dikerjakan menggunakan insting berdasarkan pengalaman dan kreativitasnya sendiri. Hasilnya toh sama juga, laptop bisa dipakai kembali tentu dengan waktu dan biaya yang lebih murah.

Di film Outsourced saya juga menemukan cerita yang sama. Bagaimana orang Amerika yang sudah maju itu terkaget-kaget melihat kreatifnya orang India dalam memperbaiki sesuatu. Mereka tidak perlu alat yang banyak atau perangkat keselamatan kerja yang ribet untuk menyambung aliran listrik bertegangan tinggi. Sesuatu yang pasti tidak akan ditemukan di negara maju seperti Amerika Serikat. Mungkin ini memang ciri khas orang-orang dari negeri dunia ketiga.

Kalau dari kacamata kita, kreativitas seperti itu tentu banyak gunanya. Kita bisa menghemat banyak waktu, energi dan biaya untuk bisa menggunakan kembali mesin atau alat yang kita butuhkan. Tapi dalam kacamata mereka yang sudah maju, langkah-langkah itu sama sekali tidak dianjurkan. Mesin yang rusak tentu butuh penggantian agar sistem keamanannya tetap terjamin, begitu kata mereka. Mengakali perangkat yang rusak hanya menunda kerusakan yang lebih besar. Tapi, apa kita peduli? Yang penting alat itu bisa jalan lagi selesai persoalan. Soal kerusakan yang lebih besar yang hanya menunggu waktu, itu masalah belakangan.

Saya yakin, orang Indonesia memang banyak akalnya. Kita kreatif mengakali keterbatasan, buktinya kita tetap bisa bertahan hidup sampai sekarang meski negeri kita banyak masalahnya. Sayangnya karena karunia berupa akal yang banyak itu kadang disalahgunakan juga. Peraturan yang dibuatpun kadang kita akali. Contohnya peraturan 3 in 1 di kota Jakarta. Sejatinya peraturan itu ada untuk menekan jumlah pengguna kendaraan beroda empat yang biasanya berseliweran dengan penumpang kurang dari 3 orang. Tapi namanya orang kreatif, peraturan itu malah mendatangkan ladang pekerjaan baru bagi para joki 3 in 1. Jadilah peraturan tinggal peraturan, karena toh akal untuk mengakalinya masih banyak tersedia.

Yakinlah kalau orang Indonesia itu banyak akalnya. Cuma sayangnya karena akal yang banyak itu masih sedikit yang digunakan untuk sesuatu yang konstruktif. Masih sedikit orang Indonesia yang benar-benar memanfaatkan kelebihan akalnya untuk menciptakan sesuatu yang wah, sesuatu yang membuat orang-orang luar sana ternganga-nganga. Ngomong-ngomong, kita masuk yang mana ya? [dG]