Menggali Persoalan Dengan Analisis Sosial
Catatan pertemuan kesembilan Kelas Menulis Kepo
JUMAT (31/4) YANG LALU, Kelas Menulis Kepo memasuki pertemuan kesembilan. Seorang Nurhady Sirimorok dihadirkan sebagai pembagi ilmu (begitu kami menyebut mereka yang berdiri di depan kelas). Nurhady atau kerap kami sapa kak Dandy adalah seorang peneliti, penulis dan pemikir (dalam arti sebenarnya) yang sudah lama akrab dengan kami. Sejak angkatan pertama, Dandy sudah beberapa kali membagikan ilmunya pada kami, utamanya di materi otoetnografi.
Apa itu Otoetnografi? Saya pernah menuliskannya di sini
Kelas Jumat kemarin agak berbeda. Kalau biasanya kelas diisi dengan materi seputar teknis menulis atau foto, maka kali ini tidak. Dandy membagikan materi tentang analisis sosial temasuk memperkenalkan struktur sosial dan efeknya pada sebuah kejadian, gejala atau fenomena sosial.
Apa sebenarnya analisis sosial itu? Secara singkat analisis sosial adalah kemampuan untuk melihat duduk perkara sebuah kejadian, gejala atau fenomena sosial. Analisis sosial menuntut kita untuk bisa berpikir lebih jauh ketika melihat kejadian, gejala atau fenomena sosial tersebut. Bukan sekadar melihat di permukaan saja lalu membuat kesimpulan.
Ambil contoh fenomena maraknya begal. Di permukaan kita hanya melihat beberapa anak-anak muda (bahkan ada yang masih dianggap anak ingusan) yang beredar di jalanan, mengadang pemotor, merebut harta mereka dan bahkan tidak segan melukai korbannya. Di permukaan kita hanya melihat kalau anak-anak ini adalah segerombolan penjahat, perusuh dan meresahkan masyarakat. Pantaslah mereka ditangkapi, ditembak atau bahkan kalau sempat dipukuli massa dan sampai dibakar.
Hal yang terlupakan adalah mempertanyakan lebih jauh, kenapa mereka para pelaku itu bisa jatuh menjadi seorang begal? Apakah mereka memang melakukannya dengan sukarela? Atau jangan-jangan mereka dipaksa? Atau lebih parah, jangan-jangan lingkungan yang membentuk mereka jadi seperti itu.
Kita coba ilustrasikan, anggaplah namanya si A. Dia kebetulan tinggal di lingkungan sub urban yang didominasi warga prasejahtera. Orang tuanya harus bekerja dari sejak matahari terbit hingga matahari menghilang hanya supaya mereka sekeluarga bisa makan keesokan harinya. Si A kekurangan kasih sayang, tidak mendapat sentuhan dan perhatian seperti layaknya anak-anak remaja yang sedang berkembang. Lalu dia coba mencari perhatian dan kasih sayang di luar rumah, bergaul dengan teman-teman yang juga punya masalah sama dengan latar yang sama. Bersama mereka menikmati masa remaja dengan adrenalin yang bergolak dan tak terarah.
Di sekolah, si A merasa bosan dan sama sekali tidak tertarik pada beragam pelajaran yang dijejalkan satu arah tanpa ada ruang diskusi yang terbangun. Akibatnya, nilai-nilai si A jeblok, lebih banyak angka merah daripada biru. Tak mau menggali akar masalah lebih jauh, guru-guru di sekolah dengan gampangnya menempelkan label: BODOH di kening si A. Tidak cukup di situ, label: NAKAL pun sekalian ditempelkan karena si A memang agak susah diatur dan sering membuat keributan.
Dijauhi di sekolah dan tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan di rumah membuat si A semakin akrab dengan teman-teman senasibnya. Sama-sama mencari eksistensi dan pengakuan dari lingkungan baru, karena lingkungan lama sudah terlanjur memberi cap BODOH dan NAKAL.
Si A kemudian bertemu dengan lingkungan baru yang memberinya ruang dan kesempatan untuk dihargai. Syaratnya cukup mudah, dia hanya harus menunjukkan keberanian dengan membegal seseorang di jalan raya. Jika berhasil maka dengan resmi dia akan diterima dalam komunitas itu, menjadi bagian mereka dan dihargai seperti dia ingin dihargai. Bum! Lahirlah seorang begal baru yang bisa jadi kelak di kemudian hari akan menjadi raja begal atau jika sedang sial akan jadi korban bulan-bulanan massa atau pelor panas pak polisi.
*****
ILUSTRASI KEHIDUPAN SI A adalah sesuatu yang banyak terjadi di sekitar kita. Sayangnya, kita lebih banyak membahas ujung dari persoalan itu. Kita lebih mudah memberi label dan membuat kesimpulan tapi lupa membuat analisis sebab-akibat. Tidak heran kalau masalah seperti itu akan terus ada, karena akarnya toh tak pernah tersentuh.
“Stok orang-orang seperti itu akan terus ada,” kata Dandy.
Di sinilah analisis sosial dirasa penting, agar kita tidak hanya sibuk mengaduk permukaan tapi lupa menyelam ke dasar. Dalam sebuah tulisan, kemampuan melakukan analisis sosial tentu akan membuat sebuah tulisan hadir dengan nilai yang lebih. Penulis diajak untuk berpikir lebih kritis, menyelami sebuah masalah, menggali sampai ke akar dan menghadirkannya dalam sebuah tulisan.
Tentu bukan hal yang mudah karena penggalian seperti itu butuh penelitian panjang. Namun, untuk konsumsi sebuah artikel (apalagi artikel populer, bukan ilmiah) tidak perlulah penelitian secara mendalam. Cukup dengan menghadirkan beragam asumsi yang membangun pikiran kritis atas sebuah persoalan, mencocokkan dengan beragam teori atau artikel yang mendukung. Tentu saja asumsi itu tidak akan benar 100% karena toh itu bukan hasil sebuah penelitian panjang.
Mendengar penuturan Dandy tentang beragam struktur sosial dan pengaruhnya terhadap sebuah persoalan ternyata sangat menarik. Beragam pikiran muncul ke permukaan, satu persatu dan bahkan berdesakan. Betapa hal-hal yang terjadi di sekitar kita ternyata tidak berdiri sendiri, individu-individu juga tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada pengaruh dari struktur sosial yang sudah berdiri begitu tegak dan sulit digoyahkan.
“Seorang tersangka koruptor bisa saja secara individu tetap orang baik dan taat pada ajaran agama, tapi dia menjadi pelaku korupsi karena ada struktur sosial yang tidak bisa dia lawan,” kata Dandy.
Begitulah, kita memang hidup dalam sebuah dunia yang diatur oleh sebuah struktur sosial yang tak kasat mata tapi susah untuk dilawan. Hanya mereka yang punya dana tak terbatas dan kuasa super besar yang mampu melawannya. Bagi orang biasa seperti kita, hanya pasrah yang bisa kita lakukan. Tentu saja sambil terus menanamkan kebiasaan melakukan analisis sosial, agar kita tidak hanya sibuk mengaduk permukaan. [dG]