Mengenal Lebih Dekat Persoalan Difabel Lewat Kritikan

Membaca sebuah kritikan panjang terhadap tulisan saya sungguh memberi pencerahan dan memperluas wawasan.

PAGI KEMARIN SAYA MENERIMA sebuah komentar di salah satu status Facebook saya. Komentar itu dari Ishak Salim, seorang pegiat di PERDIK (Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan). Dari nama organisasinya saja kita pasti sudah bisa menebak kalau sehari-harinya dia akrab dengan teman-teman difabel, dan komentarnya di status saya menyertakan sebuah tautan.

Tautan itu bukan tautan sembarangan, tapi sebuah tulisan berisi kritikan panjang perihal tulisan saya “Fajrin dan Pendar Cahaya Dari Hatinya”, sebuah tulisan yang saya buat bulan sebelas tahun lalu. Tulisan ini kalau tak salah ingat saya sertakan dalam sebuah kompetisi menulis tentang kesetaraan kaum difabel yang diadakan sebuah lembaga di Solo. Tulisan itu terinspirasi dari kisah Fajrin, seorang penyandang low vision yang saya temui di PERTUNI beberapa tahun sebelumnya.

Ishak Salim dalam kritikannya yang berjudul “Praktik Kuasa-Pengetahuan di Balik Pemikiran Seorang Penulis: Respon Kritis atas tulisan Daeng Gassing” memberikan banyak sekali respon dan kritikan untuk tulisan saya. Saya coba urai satu per satu.

Pertama, kritikan soal memandang Fajrin dari “pendekatan medis”.

Mengutamakan kalimat “meski matanya tidak sempurna” adalah bentuk memandang Fajrin dari pendekatan medis itu. Secara medis manusia dianggap sempurna apabila semua organ tubuhnya sempurna dan bekerja dengan baik, dan karena Fajrin punya sesuatu yang berbeda maka secara otomatis menurut pendekatan medis, dia jadi tidak sempurna.

Terus terang saya memang masih terperangkan pada pandangan dan pendekatan seperti ini. Pendekatan dan pandangan yang –saya kutip dari tulisan Ishak Salim- karena rejim kebenaran sejak berabad lamanya sudah menguasai alam pikiran yang bersemayam di kepala orang-orang. Secara tidak sadar saya mengamini pendapat itu dan terperangkap menilai semuanya semata lewat pendekatan medis saja. Mengutamakan “mata yang tidak sempurna” dibanding “semangat yang luar biasa”.

Fajrin (berbaju cokelat) ketika saya temui di Pertuni

Kedua, saya luput mencari tahu sebab Fajrin akhirnya berhenti sekolah.

Benarkah dia berhenti sekolah karena kemauannya sendiri atau dia terpaksa diberhentikan karena dianggap tidak sempurna dan tidak bisa mengikuti proses belajar-mengajar?

Sekali lagi saya terperangkap pada kondisi medis Fajrin yang matanya tidak sempurna, alih-alih mencari tahu apakah ini terjadi bukan karena sekolahnya yang justru tidak mampu menerima orang seperti Fajrin. Saya luput melihat aspek sosial yang terjadi di sekeliling Fajrin, bahwa bisa saja dia terpaksa keluar (atau dikeluarkan) karena desain sosial yang memang meminggirkan orang-orang seperti dia. Fajrin tidak bisa melanjutkan sekolah bukan karena ada anggota tubuhnya yang tak sempurna, tapi karena desain sosial yang tidak dibentuk untuk menerima orang seperti dia.

Ketiga, saya luput melihat kondisi abelism atau kondisi dan penghakiman sosial terhadap orang dengan kebutuhan berbeda (difabel).

Saya hanya fokus pada usaha keluarga Fajrin untuk menyembuhkannya dan lupa mengkaji lebih dalam bagaimana lingkungan sosial kita memang sulit menerima orang-orang berkebutuhan berbeda.

Dalam struktur sosial kita, manusia memang diasumsikan untuk sempurna secara fisik dan karenanya semua didesain untuk manusia yang sempurna secara fisik. Hampir tidak ada ruang untuk menerima mereka yang punya kebutuhan berbeda. Desain inilah yang turut menyumbang kontribusi besar untuk menidakmampukan mereka yang buta, tuli atau pengguna kursi roda. Mereka jadi tidak bisa berkontribusi dalam beragam sektor kehidupan di lingkungan sehari-hari. Ketidakmampuan mereka jelas disumbang secara penuh oleh desain sosial yang ada.

Parahnya, dalam lingkungan paling kecil sekalipun seperti keluarga, kadangkala para difabel juga mendapatkan diskriminasi dan bahkan dicap sebagai “kutukan” dan karenanya harus disembuhkan. Ini yang luput saya gali dalam tulisan tentang Fajrin tersebut.

Keempat, saya luput memperdalam cerita tentang diskriminasi pada sekolah umum untuk orang-orang seperti Fajrin.

Dalam cerita itu saya memang menyinggung sedikit kisah Fajrin yang bersikeras untuk bersekolah di sekolah umum, alih-alih di sekolah luar biasa (SLB). Saya luput menggali lebih dalam tentang diskriminasi yang terjadi di lingkungan sekolah umum yang semata-mata memang didesain untuk “manusia normal”. Pada akhirnya Fajrin memang diterima di sekolah umum, namun dia tetap harus berhadapan dengan kondisi yang menidakmampukan dirinya. Semua tentu karena desain sosial yang memang tidak ramah untuk orang seperti Fajrin.

Kondisi seperti itu kemudian dianggap sebagai kondisi yang lumrah dan justru orang-orang seperti Fajrinlah yang harus menerima konsekuensi jika tetap ingin bersekolah di sekolah umum.

Kelima, saya lebih fokus pada perjuangan Fajrin dan bukan menyoroti bebalnya orang-orang di sekitar kita (termasuk para pendidik) untuk mengubah cara atau sistem pendidikan agar lebih inklusif.

Fajrin adalah salah satu korban desain sosial dan struktur sosial yang memang menempatkan orang-orang seperti dia sebagai “orang-orang kelas dua”. Kondisi ini membuat Fajrin dan teman-temannya harus berusaha lebih keras agar kemampuan dan semangatnya tidak pudar. Usahanya tentu berlipat-lipat ganda dibanding “manusia normal” karena kondisi yang memang tidak ramah buat mereka di samping diskriminasi yang memang akrab dengan mereka.

Penutup. Sebuah kritikan panjang yang dibuat Ishak Salim itu benar-benar menjadi pencerahan baru buat saya. Saya memang belum punya banyak teman-teman difabel dan situasi itu membuat saya canggung dan kesulitan untuk menggali lebih dalam tentang persoalan difabel. Saya lebih banyak berhenti di kulit saja dan lebih fokus pada mereka sebagai subjek ketimbang melihat realita, struktur atau desain sosial yang ada di sekeliling mereka.

Kritikan yang dibuat dengan sungguh-sungguh itu buat saya adalah sebuah penghargaan besar, bukan hanya karena berfungsi meluruskan cara saya memandang persoalan difabel, tapi juga menambah begitu banyak wawasan baru.

Tulisan ini saya tutup dengan salah satu komentar Ishak Salim di status Facebook saya:

Beberapa difabel dewasa yang saya ketahui menjadi difabel sejak kecil atau balita, tidak memedulikan kondisi tubuhnya karena bisa bermain dengan anak-anak lain tetangganya, tentu dengan peran yang disesuaikan. Nanti mereka menyadari bahwa dirinya berbeda setelah masuk ke sekolah luar biasa. Jadi menurut saya, sekolahlah, institusi yang paling bertanggungjawab membuat banyak orang begitu canggung dengan perbedaan fisik. Sekolah adalah ‘teknologi kekuasaan’ yang membentuk cara pandang kita dan mengantar bentuk perilaku yang kita pertontonkan. Semakin banyak bergaul dengan difabel, semakin terkikis rezim pengetahuan medik dalam pikiran kita, karena banyak hal lain yang bisa dikerjakan bersama-sama ketimbang mengurusi soal impairment.

Selamat hari Jumat, semoga kita semua mendapat berkat. [dG]