Kisah Pilu Dari Dogiyai


Sebuah kejadian di jalur Nabire-Paniai, tepatnya di Dogiyai yang buat saya benar-benar memilukan dan menyayat hati.


Di jalur Nabire-Paniai, selewat kota Moenamani – ibukota Kabupaten Dogiyai – sebuah truk teronggok di tepi jalan. Tidak jauh dari Rumah Sakit Umum Dogiyai yang belum beroperasi. Sebagian badan truk masuk ke parit di tepi jalan. Bagian depannya menghitam, bekas terbakar. Di atas aspal, guratan hitam bekas ban yang beradu dengan aspal nampak jelas. Beberapa titik hitam bekas pembakaran juga bisa langsung terlihat mata. Jelas sekali kalau di area itu ada satu kejadian tidak biasa yang baru saja terjadi.

Truk itu adalah saksi mati sebuah kejadian pilu.

Hari Minggu 24 Februari 2020, di lokasi itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas yang merenggut dua nyawa. Satu nyawa langsung hilang karena kecelakaan itu, satunya lagi karena efek dari kecelakaan itu.

Menurut cerita beberapa orang, semua berawal dari seorang pengendara motor warga kampung Mapia – tidak jauh dari lokasi kejadian – yang sedang naas karena menabrak seekor babi yang melintas. Lebih naas lagi karena sebuah truk melintas di tempat kejadian. Si pemotor terlempar ke arah truk selepas menabrak babi tersebut. Betul-betul naas bagi dia dan sang supir truk karena si pemotor itu langsung meninggal di tempat.

Si supir truk menghubungi rekan-rekannya lewat radio yang memang selalu ada di setiap mobil yang melintas di jalur ini. Dia juga segera melapor ke Polsek Kamuu yang berada sekira 3 km dari lokasi kejadian. Laporan ini direspon polisi yang segera datang ke lokasi.

Bukan hanya polisi yang datang, tapi juga warga dari kampung terdekat. Kampung Ekimani. Dalam sekejap warga langsung tersulut emosinya melihat si supir truk yang oleh mereka diduga penyebab utama meninggalnya si pemotor warga setempat. Layaknya warga yang tersulut amarah, mereka terus menyerang dan memukuli si supir truk. Tangan kosong, potongan kayu, dan entah apalagi menjadi senjata. Si supir truk memelas, meminta belas kasihan, bersembunyi di belakang tubuh polisi-polisi bersenjata yang menemaninya.

Tapi percuma saja. Polisi juga tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya – sangat disayangkan – si supir truk meregang nyawa di tempat. Di lokasi kecelakaan. Di depan beberapa anggota kepolisian yang menemaninya.

Nyawa Dibayar Nyawa

Dalam penuturannya kepada media, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Musthofa Kamal berusaha menjelaskan kenapa anggotanya seperti tidak mampu melindungi korban saat kejadian. Menurutnya, masyarakat harus paham tentang kondisi di lapangan saat kejadian. Ada kondisi-kondisi yang tidak umum dan cukup merepotkan aparat keamanan.

Saya bisa mengerti sedikit tentang “pembelaan” aparat. Massa di Papua, utamanya di daerah pegunungan sedikit berbeda dengan yang biasa kita temui. Mereka bukan orang yang mudah diredakan amarahnya, bahkan ketika diancam dengan senjata api. Terlihat sama sekali tidak ada rasa takutnya.

Saya pernah berada dalam situasi yang lebih kurangnya sama. Saya bisa melihat sendiri di depan mata, bagaimana orang-orang mengamuk dan membanting benda-benda di depannya padahal ada dua orang anggota Brimob bersenjata lengkap di depan mereka. Tidak ada rasa takut sama sekali. Sepertinya berbeda dengan sebagian dari kita yang langsung merasa sedikit terintimidasi oleh aparat bersenjata.


paniai
Jalur Nabire-Paniai

Di sisi lain, aparat di Papua juga sedikit canggung dengan situasi seperti ini. Menembakkan senjata meski ke udara bisa dianggap sebuah pemicu untuk memulai sebuah perang. Menembakkan senjata ke depan berarti siap untuk menjadi terdakwa sebuah kasus kemanusiaan besar. Sudah bukan rahasia kalau perilaku aparat di Papua seringkali jadi sorotan, di Indonesia maupun di dunia. Serba salah memang.

Bagi sebagian warga di Papua, hukum nyawa dibayar nyawa adalah sebuah keharusan. Mereka tidak sepenuhnya percaya pada hukum negara. Kalau ada warga atau kerabat yang mati, maka cara untuk menegakkan keadilan hanya dengan cara mengambil nyawa sang pembunuh. Nyawa dibayar nyawa. Ketika si supir truk muncul, mereka sudah berpikir bahwa inilah saatnya untuk menuntaskan utang nyawa dari kerabat atau kenalan mereka yang sudah duluan menjadi korban. Mereka tidak mau tahu apakah si korban benar-benar menjadi korban dari si supir truk atau bukan. Pokoknya nyawa dibayar nyawa.

Puncak Gunung Es

Buat saya, apa yang terjadi di Dogiyai itu adalah puncak dari sebuah gunung es. Apa yang kita lihat di permukaan punya akar yang teramat panjang di bawah. Panjang dan kokoh. Seperti gunung es yang biasa kita lihat dan kita tahu.

Di atas ada kekerasan yang merenggut nyawa, dan jauh di bawah ada banyak sekali hal lain yang menyokongnya. Ada kesenjangan yang sangat jauh antara kita dan mereka. Kesenjangan pengetahuan, ekonomi, sosial, dan entah apalagi.

Mereka masih memegang hukum tradisional, nyawa dibayar nyawa. Sesuatu yang buat kita sudah tidak berlaku lagi dan lebih mempercayai hukum negara, tapi tidak bagi mereka. Lalu, ada kesenjangan ekonomi antara mereka orang asli dengan para pendatang. Mereka merasa tersisih oleh orang-orang yang datang dari luar pulau dan berhasil menguasai ekonomi, meninggalkan mereka yang orang asli.

Dalam skala berbeda saya membayangkan kejadian yang hampir sama akan terjadi juga bila misalnya di sebuah kota pelaku penabrakan adalah etnis Tionghoa. Etnis yang selalu menjadi kambing hitam di negeri kita. Sering jadi objek untuk disalahkan. Bila kasus yang sama terjadi dan pelakunya adalah etnis Tionghoa, maka bisa jadi kendaraan si pelaku pun akan dibakar meski mungkin si pelaku tidak sampai dianiaya hingga tewas. Kejadiannya hampir sama, hanya skalanya yang berbeda.

Kemarahan-kemarahan warga bisa jadi muncul dari deretan rasa inferior, rasa kalah, dan rasa tertindas yang selama ini mereka rasakan. Entah merasa kalah dari para pendatang, merasa ditekan aparat, atau merasa disisihkan penguasa negara. Rasa yang terus tertimbun, berkarat menjadi bom waktu yang siap merusak, lalu meledak di waktu yang tidak tepat. Si supir truk menjadi korban.

Menyalahkan satu-dua orang dalam kasus ini buat saya tidak bijak. Ini bukan sekadar soal siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi apakah kita mau menilik kaki gunung es itu hingga jauh ke bawah? Mengulik masalah utama yang menjadi pondasi kejadian ini dan mungkin kejadian-kejadian lainnya di Papua.

******


Suatu pagi di Paniai

Kejadian meninggalnya sang supir truk di jalur Nabire-Paniai ini buat saya sangat menyanyat hati. Jalur itu adalah salah satu jalur yang saya akrabi sehingga kejadian ini entah kenapa terasa sangat dekat. Sangat disayangkan memang bahwa satu lagi korban jiwa jatuh di tanah Papua. Satu lagi nyawa yang sangat berharga menjadi tumbal dari berbagai masalah sosial di tanah ini. Sesuatu yang seharusnya dihentikan. Tidak boleh ada siapapun yang jadi korban. Tidak peduli apa ras dan agamanya. Manusia tetaplah manusia dengan nyawa yang sangat berharga.

Memahami Papua memang tidak cukup dengan pendekatan hitam-putih. Tidak juga dengan sekadar pendekatan infrastruktur. Butuh kepekaan dan kemauan untuk mendengarkan, agar paham apa yang benar-benar terjadi di Papua. [dG]