Jalan Berat Pak Prof di Atas Banteng

Pengukuhan dukungan PDIP kepada NA

 

Profesor Nurdin Abdullah resmi didukung PDI Perjuangan. Apakah ini jalan lapang buat pak Prof, atau justru menambah berat bebannya menuju SulSel 01?

 

DI TAHUN 2001 SAYA SEMPAT menjadi simpatisan PDI Perjuangan. Waktu itu PDI Perjuangan (lebih sering disingkat PDIP) memang jadi partai idola banyak anak-anak muda yang anti kemapanan. Maklum, PDIP dengan keteguhannya melawan tirani Orde Baru dianggap cocok menjadi simbol perlawanan. Cocok untuk anak-anak muda yang (merasa) kritis dan skeptis pada kemapanan.

Saya yang masih naif salah satunya.

Ini persis sama ketika sepuluh tahun sebelumnya saya juga jatuh cinta pada Nirvana, band rock yang saya anggap mewakili sikap anti kemapanan remaja saat itu.

Saya jadi simpatisan PDIP meski tidak ikut-ikutan jadi kader. Sekadar suka saja, dan memilih partai berlambang banteng itu di pemilu tahun 2014.

Pilihan saya menjadi simpatisan PDIP tidak diterima baik oleh keluarga besar yang adalah Islam konservatif dan akrab dengan Muhammadiyah.

Erokna tong antu nyawanu ammilei PDI?” Gugat seorang tante kepada saya. Terjemahan bebasnya; koq ya tega kamu memilih PDI?

Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. PDIP bagi pemilih tradisional di Sulawesi Selatan akrab sebagai partai non muslim. Ini berawal dari kisah jaman Orde Baru. Waktu itu partai di Indonesia dibatasi hanya ada tiga: Golkar, PPP dan PDI. Golkar adalah partainya orang pemerintah, nasionalis kata mereka. Sementara itu PPP adalah partainya orang Islam, sehingga pilihan yang tertinggal bagi PDI adalah partai non muslim.

Kenyataannya memang begitu, PDI jaman Orde Baru memang banyak dihuni dan didukung oleh orang-orang non muslim. Wajar, karena mereka yang tidak berafiliasi ke pemerintahan pasti enggan memilih partai Islam seperti PPP. PDI jadi pilihan terakhir dan satu-satunya bagi mereka.

Maka lekatlah anggapan kalau PDI (kemudian PDIP) sebagai partai non muslim.

Sepuluh tahun sejak mendukung PDIP di Pemilu 2014, saya bukan lagi simpatisan partai itu. Saya tidak lagi senaif dulu dan tidak lagi memandang politik dan partai dengan pandangan hitam-putih. Meski begitu saya juga bukannya memusuhi PDIP. Simpatisan bukan, musuh pun bukan. Karena saya percaya, politik itu hanya soal siapa yang berkuasa. Tidak ada teman dan lawan yang abadi dalam politik.

*****

MINGGU 15 OKTOBER 2017, PDI Perjuangan lewat ketua umum abadi mereka, Megawati Soekarnoputri resmi mengumumkan dukungan kepada Nurdin Abdullah di Pilkada SulSel 2018.

Desas-desus soal ini sudah lama berembus dan akhirnya jadi kenyataan. Nurdin Abdullah (selanjutnya disebut NA) memang salah satu calon kuat dalam Pilkada SulSel nanti. Sosoknya yang sempat melejit sebagai salah satu bupati terbaik mengundang simpati banyak orang. Belakangan popularitasnya memang sedang menurun, tapi tidak berarti sinarnya benar-benar meredup. Bagaimanapun dia adalah terbaik dari yang terburuk, menurut saya.

Tapi, ketika dia diusung partai banteng apakah jalannya akan mulus, atau justru akan semakin berat?

Sulit menjawab pertanyaan ini, tapi kalau melandaskan pada citra PDIP di Sulawesi Selatan saya bisa bilang kalau (untuk sementara) jalan pak Prof akan berat.

Berat karena citra PDIP kurang bagus di provinsi ini. Beda dengan citra Golkar misalnya, atau anggaplah PKS atau PAN yang masih jadi salah dua kekuatan besar dalam mendulang suara. PDIP dalam benak kebanyakan pemilih – utamanya pemilih tradisional – adalah partai non muslim, bahkan ada yang menempelkan cap “partai anti Islam”.

Padahal, Sulawesi Selatan termasuk salah satu provinsi yang cukup religius dengan basis Islam yang kuat. Bahkan provinsi ini sempat dijuluki Serambi Madinah. Karenanya, PDIP seakan tidak mendapat tempat yang cukup nyaman dalam peta politik SulSel. Anggota DPRD SulSel tahun 2014 dari PDIP hanya diisi oleh lima orang, dari total 85 kursi yang tersedia. Sedikit sekali bukan?

Di sisi lain, NA juga bukan politisi ulung. Dia berangkat sebagai seorang akademisi yang kemudian menjadi seorang birokrat. Dibanding dengan Nurdin Halid (calon lain di Pilkada SulSel), NA jelas hanya anak bawang, anak kemarin sore. Tahu sendiri kan bagaimana jagonya Nurdin Halid di dunia politik? Tangan kanan Papa Setya Novanto ini bahkan masih memimpin PSSI ketika jelas-jelas dia ada di balik bui.

Sementara NA? Jauhlah ya.

Contoh konkrit kalau dia bukan politisi ulung adalah ketika dia dengan pedenya mendeklarasikan diri berpasangan dengan Tanribali Lamo untuk maju dalam Pilkada SulSel. Padahal Tanribali Lamo juga bukan orang partai dan tidak terlalu populer. Bagaimana NA bisa “menjual” diri ke partai kalau pasangannya bukan orang partai dan tidak terlalu populer?

Akibatnya kan kelihatan juga. NA harus mengganti pasangan di tengah jalan karena toh dia mau tidak mau harus tunduk pada keinginan partai, atau keinginan “orang kuat”. Tanribali Lamo harus digeser oleh orang lain yang punya dukungan kuat: Andi Sudirman yang adalah adik kandung Amran Sulaiman, menteri pertanian sekarang. Walaupun namanya juga kurang populer, tapi dukungan dari belakang jelas lebih besar.

Nah gabungan antara pengalaman politik yang masih cetek dengan dukungan partai yang tidak populer tentu jadi beban berat buat NA. Dia harus memutar otak dan belajar dengan cepat untuk bisa menguasai medan. Mudah-mudahan saja mesin partai PDIP bisa membantunya, baik itu mesin lokal di SulSel maupun mesin di tingkat nasional.

Sebenarnya NA akan bisa terbantu kalau  saja ada partai Islam yang ikut mendeklarasikan dukungan buat dia. Entah itu PAN atau PKS. Ada kabar kalau keduanya akan mendukung NA di Pilkada nanti bersama dengan PDIP yang sudah pasti dan Gerindra yang juga katanya akan merapat. Tapi ini politik bung! Tidak ada yang pasti dalam politik sampai semua benar-benar terjadi.

Jalan panjang dan berliku membentang buat pak Prof.

Beberapa nada kekecewaan pada pak Prof

Sementara itu, banyak yang galau sodara-sodara. Mereka simpati pada pak Prof, tapi tidak simpati atau malah benci pada PDIP. Mau mendukung NA, tapi koq ya tidak sreg sama partai pendukungnya. Jadi PR besar buat pak Prof, bagaimana menarik kembali simpati mereka?

Selamat berjuang pak Prof! Jangan menyerah! [dG]