J.S Badudu, Kita dan Bahasa Indonesia

Sumber foto: ssicommunity.com
Sumber foto: ssicommunity.com

Tentang seorang penjaga bahasa Indonesia yang begitu melegenda.

Namanya akrab di kuping anak-anak yang tumbuh di tahun 1980an sampai (mungkin) 1990an. Namanya seperti legenda, sering disebut para guru. Tentu karena karyanya yang memang luar biasa, yang menjadi rujukan para pengguna bahasa Indonesia selama beberapa dekade. Bahkan sampai hari ini.

Kata guru bahasa Indonesia saya di SMP, acara beliau di TVRI dicekal pemerintah orde baru dan dia dipaksa berhenti jadi pembawa acaranya. Alasannya karena beliau mengkritik presiden Soeharto, sosok yang saat itu sangat berkuasa. Konon dalam sebuah acaranya, beliau melontarkan kritik kepada bapak presiden yang memang kita tahu kental sekali logat Jawanya itu. Peterna’an, memasyarakatken, itu hanya dua dari sekian banyak bahasa khas bapak presiden yang tentu saja tidak nyaman di kuping seorang J.S Badudu yang sepanjang hidupnya bergaul dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mungkin dalam pikirannya, seorang presiden harusnya jadi contoh bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan malah asyik memperkosa bahasa persatuan itu. Tapi lain di kepalanya, lain juga di kepala bapak presiden.

Jusuf Sjahrir Badudu lahir di Gorontalo 19 Maret 1926. Jejak pendidikannya cukup panjang, dari Sulawesi Tengah dia sempat belajar di Makassar sebelum pindah ke Bandung dan menamatkan B1 dan S1-nya. Kecintaannya pada bahasa jualah yang membawanya sampai ke negeri Belanda, menamatkan sekolah sampai tahap doktor. Beliau juga sangat aktif mengajar, bahkan sampai menjadi penatar untuk para guru-guru. Bahasa dan pendidikan sepertinya menjadi dua hal yang paling penting dalam hidupnya.

Tapi puncak kerja kerasnya tentu saja adalah deretan buku bertema bahasa dan sastra serta kamus besar Bahasa Indonesia yang terbit atas kerja kerasnya. Selama bertahun-tahun, buku-buku dan kamus itu jadi pegangan para siswa dan mahasiswa atau mereka yang ingin belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Di masa kami sekolah di tahun 1980an sampai 1990an, nama J.S Badudu sangat akrab. Tentu karena karyanya. Setiap guru bahasa Indonesia pasti akan menjadikan buku karya J.S Badudu sebagai buku pegangan yang paling wajib. Sisanya hanya sunnah saja. Saking seringnya beliau disebut-sebut, saya sampai mereka-reka sendiri bagaimana seorang J.S Badudu yang sebenarnya.

Bayangan saya beliau pasti seorang yang sangat hebat, berkharisma, benderang dengan aura yang menyilaukan. Sampai beliau pergi mengadap-Nya saya tidak tahu apakah beliau memang seperti gambaran masa kecil saya atau tidak, tapi nama harumnya di telinga para pecinta bahasa Indonesia pastilah sangat tajam merebak.

Lalu saya pun sempat berpikir, bagaimana perasaan beliau melihat anak-anak jaman sekarang berbahasa Indonesia ya? Apakah beliau bisa tenang melihat betapa bahasa Indonesia benar-benar sudah bergeser jauh dari jaman ketika beliau masih sehat dan aktif?

Bahasa gaul yang sejatinya memang jadi bagian peradaban merangsek semakin jauh. Kalau dulu bahasa gaul atau bahasa prokem sengaja diciptakan sebagai kode rahasia untuk sebuah komunitas, maka sekarang bahasa gaul melebar menjadi identitas penanda kemajuan. Kalau tak berbahasa gaul maka kamu tak maju, tak moderen. Lalu bahasa Indonesia yang baik dan benar jadi terlihat begitu kaku dan ketinggalan jaman.

Saya pernah bertanya-tanya, bagaimana gerangan perasaan J.S Badudu ketika melihat anak-anak muda sekarang begitu jamak kesulitan menempatkan “di” dan “ke”. Di makan, di minum, diatas, dan di lainnya yang salah tempat. Apakah beliau bisa tenang melihat itu semua?

Kata orang, kalau mau menghancurkan sebuah bangsa maka hancurkan dulu bahasanya. Bangsa yang kehilangan bahasanya pelan-pelan akan kehilangan jati dirinya, makin mudah untuk dipengaruhi dan lalu dikuasai.

Zen RS dalam sebuah esainya juga bilang, bagaimana upaya pemerintah orde baru menghapus jejak orde sebelumnya lewat penyempurnaan ejaan yang sekarang kita kenal sebagai ejaan yang disempurnakan atau EYD. Perubahan itu membuat generasi berikutnya menjadi malas untuk membaca teks dari orde sebelumnya yang memang terasa sulit dan ribet. Bayangkan, untuk menuliskan “membaca sebuah tulisan” saja harus menjadi “membatja seboeah toelisan”. Susah bukan?

Bahasa memang tidak sekadar penanda atau alat komunikasi semata. Bahasa juga jadi alat politik, jadi alat tukar, alat untuk menguasai dan alat-alat lainnya yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang awam. J.S Badudu pernah menjadi penjaga bahasa Indonesia, menyumbangkan hidupnya untuk memberi panduan bagi mereka yang ingin berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sampai akhirnya dia menyerah pada takdir, kembali ke pencipta-Nya.

Indonesia masih punya banyak penjaga bahasa lainnya, tapi Indonesia juga masih punya banyak perusak bahasa lainnya. Pada akhirnya kita akan tahu, siapa yang kuat dan siapa yang bertahan. Selamat jalan pak J.S Badudu, Insya Allah kerja kerasmu akan jadi amal jariyah yang menerangi jalanmu sampai kapan pun. [dG]