Ibu Tua, Sampahnya dan Keinginannya Untuk Dihormati

respect!
respect!

Kadang orang-orang yang merasa punya kekuasaan dan kelebihan materi malah lupa cara menghargai orang lain.

TERSEBUTLAH SEORANG IBU TUA yang kebetulan tinggal di sebuah perumahan kelas menengah. Kebetulan juga pengembang perumahan itu tidak mengijinkan para penghuninya untuk membangun pagar, baik pagar yang di bagian depan maupun pagar yang membatasi antar rumah. Jadilah semua rumah berderet tanpa pagar, hanya tembok kecil yang tidak lebih dari 50cm yang diperbolehkan.

Sang ibu tua yang juga kerap disapa Ibu Haji itu tinggal bersama cucu perempuannya. Cucu perempuan yang sangat dibanggakannya karena sedang menempuh pendidikan menjadi seorang calon dokter di universitas negeri ternama di ibu kota provinsi itu. Wajar kalau dia bangga, tak banyak anak-anak yang bisa menempuh pendidikan yang sangat menjanjikan masa depan itu.

Sayang, si Ibu Haji yang seharusnya bersikap bijak di usia tuanya itu malah perlahan-lahan mulai bertingkah seperti anak kecil.

Salah satu dari sekian banyak sifat kekanak-kanakannya adalah tidak mengijinkan cucu kecilnya yang kerap datang berkunjung ke rumahnya untuk bergaul dengan tetangga sebelah rumahnya yang kebetulan dihuni sepasang suami-istri muda. Si tetangga kerap kedatangan teman-temannya yang kadang berkumpul hingga jauh malam, bahkan menginap beramai-ramai.

Ketika teman-teman si tetangga berkumpul di teras, si cucu kecil yang mungkin baru berusia 3-4 tahun itu kerap nimbrung. Namanya anak kecil, tentu senang ketika suasana ramai. Apalagi anak-anak yang berkumpul di rumah sebelah ramah-ramah dan mau menemaninya bermain.

“Mana miong?” Tanyanya dengan riang ketika anak-anak muda tamu tetangganya sedang berkumpul di teras.

Dalam bahasa daerah miong berarti kucing. Di rumah sebelah memang ada kucing kecil peliharaan yang kerap jadi teman bermain mereka, dan si cucu kecil nampaknya juga senang bermain dengan kucing itu. Seperti umumnya anak-anak.

Karena kerap bermain dengan anak-anak muda tamu tetangganya, si cucu kecil itu makin akrab meski sesekali dari dalam rumah sang nenek yang disapa Ibu Haji kerap berteriak memanggilnya masuk. Suatu hari tamu tetangga sebelah menawarinya biskuit dan namanya anak kecil dia tentu senang menerimanya.

“Heh! Buang itu! Buang!” Tiba-tiba sang nenek dengan setengah histeris berteriak dari dalam demi melihat si cucuk kecil mengunyah biskuit pemberian anak muda tamu tetangga sebelah. Dia setengah berlari menghampiri cucu kecilnya, menarik tangannya yang memegang biskuit dan menyapukan tangan lainnya ke mulut sang anak, berusaha mengeluarkan biskuit yang sudah terlanjur digigit si cucu kecil.

Si cucu kecil menangis, entah kaget entah takut. Dia tidak melawan dan terus menangis ketika si nenek menariknya dengan kasar masuk ke dalam rumah dan membanting pintu. Tinggallah anak-anak muda tetangga sebelah rumahnya saling berpandangan dalam suasana yang canggung. An awkward moment kata orang Amerika.

Di lain waktu si Ibu Haji menunjukkan sifat anehnya yang lain. Rumahnya besar bertingkat, tapi tak punya tempat sampah. Ketika harus membuang sampah, kantongan plastik berisi sampah dilemparnya begitu saja ke tempat sampah tetangga sebelah. Kadang plastik itu mendarat dengan keras, tak jarang sampai berhamburan dan isinya terburai. Tak jarang pula si tetangga harus mengurut dada mengundang sabar ketika sampah yang dibuang si Ibu Haji ternyata adalah sampah yang berbau busuk.

Tapi namanya manusia, kesabaran tentu ada batasnya.

Suatu hari suami si tetangga mendapati si Ibu Haji yang kebetulan sedang menyapu teras dengan tanpa rasa berdosa membuang sampah plastiknya ke teras sebelah. Si suami tetangganya menegur, “Bu Haji, ini bukan tempat sampah.”

Tahu apa jawaban si Ibu Haji? Dengan ketus dia menjawab, “Saya tahu itu bukan tempat sampah! Saya bukan orang bodoh!” Lalu disusul dengan suara pintu yang dibanting.

Sejak saat itu hubungan dua tetangga itu memburuk. Si Ibu Haji bahkan membangun tembok pemisah yang tinggi antara rumahnya dengan rumah tetangga sebelahnya. Harusnya ini tidak boleh, tapi si Ibu Haji berkilah kalau dia sudah mendapat ijin dari ketua RT, ketua RW dan pengelola perumahan. Alasan utamanya dia kuatir pada keselamatan cucu perempuannya sang calon dokter karena tetangga sebelah kerap kedatangan tamu bertattoo yang berkumpul sampai subuh.

Alasan yang menggelikan karena tak ada seorangpun tamu tetangganya yang bertattoo.

Suatu hari istri si tetangganya datang dengan maksud baik mengundangnya ke acara akikah. Kesempatan itu digunakan si Ibu Haji untuk mengutarakan semua kekesalannya. Rupanya dia kesal ditegur oleh suami si tetangganya, apalagi dia mengaku sebagai orang terpandang di kampungnya. Dia kenal dengan wakil bupati, punya keluarga pejabat dan orang-orang hebat lainnya. Mungkin itu yang membuat dia benar-benar tersinggung ketika seorang anak muda yang bukan siapa-siapa berani menegurnya.

*****

HARI BERGANTI, SI TETANGGA IBU HAJI BERGANTI. Sekarang rumah sebelah dihuni bukan lagi oleh pasangan muda itu. Tapi tingkah si Ibu Haji masih tetap sama. Meski sekarang tembok tinggi sudah berdiri memisahkan dua teras rumah, dia tetap saja tak hendak membuat tempat sampah sendiri. Tanpa rasa bersalah, kresek sampah miliknya masih tetap melayang dari terasnya ke tempat sampah tetangganya. Karena sekarang ada tembok tinggi maka tak jarang kresek sampah itu tidak mendarat tepat di tempat sampah.

Si tetangga yang sudah berganti orang awalnya masih sabar. Sampai kemudian dia benar-benar emosi ketika sedang enak-enakan duduk di teras menikmati pagi tiba-tiba sebuah kresek sampah terlontar dari dinding sebelah dan mendarat dengan keras di tempat sampahnya. Dalam logika si tetangga baru ini, bagaimana mungkin Ibu Haji bisa membangun tembok tapi tak bisa membuat tempat sampah? Bukankah itu berarti dia hanya mau halamannya bersih dari sampah tapi tidak peduli kalau sampah itu memenuhi halaman tetangganya?

Karena sudah tidak bisa memunguti rasa sabar, si tetangga yang baru ini mengambil sikap. Semua sampah milik Ibu Haji dikeluarkannya dari tempat sampahnya sendiri dan lalu dikembalikan, dibuang begitu saja ke halaman si Ibu Haji! Konfrontasi terbuka mulai digelar! Sisa menunggu sikap si Ibu Haji selanjutnya.

Rupanya langkah ini berbuah positif. Si Ibu Haji tak lagi membuang sampahnya ke tempat sampah tetangganya. Entah dia membuangnya kemana, tapi mulai hari itu tak ada lagi sampah milik orang lain yang ditemukan si tetangga di tempat sampahnya.

Tapi, mungkin karena itu penyakit maka kebiasaan itu kembali berulang. Suatu hari si tetangga bangun pagi dan mendapati halamannya penuh dengan sampah rumput dan tanaman bekas pangkas. Herannya dia tidak merasa pernah menggunting rumput dan memangkas tanamannya sendiri. Ketika melirik ke halaman Ibu Haji terlihat jelas kalau halaman si Ibu Haji bersih bekas pangkas. Kontan dia menyimpulkan kalau si Ibu Haji atau siapapun itu baru saja membersihkan halamannya dari rumput dan tanaman lalu membuang kotorannya ke sebelah.

Si tetangga hanya geleng-geleng kepala. Dia belum yakin benar dengan kesimpulannya meski fakta sudah merujuk ke sana. Dia hanya belum melihatnya sendiri, berbeda dengan kasus sampah sebelumnya yang dia lihat dengan mata kepala sendiri. Meski begitu dia sudah menyiapkan langkah-langkah frontal yang akan diambilnya kalau kasus ini masih berlanjut. Si Ibu Haji yang konon adalah orang terpandang di kampungnya dan kenal banyak pejabat itu harus diberi pelajaran! Katanya dalam hati.

Punya kedudukan tinggi dalam masyarakat, sudah bergelar haji dan punya keluarga atau kenalan pejabat bukanlah jaminan seseorang hidup dengan penuh penghargaan pada orang lain. Mungkin dia hanya tipe orang dan minta dihargai karena semua kelebihannya tapi lupa bagaimana cara menghargai orang lain.

Seberapa sering kita menemukan orang seperti itu? [dG]