Helmy Yahya Memang Tidak Untuk TVRI
Sepertinya TVRI memang tidak cocok bersaing dengan televisi swasta. Dia punya dunia sendiri.
Sebagai stasiun televisi tertua di Indonesia, TVRI – pertama mengudara 17 Agustus 1962 – pernah menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. TVRI mendominasi semua siaran televisi, bahkan menjadi corong kampanye dan propaganda pemerintah. Semua program yang disiarkan harus sesuai dengan batasan yang ditetapkan pemerintah lewat Menteri Penerangan. Tidak ada ruang untuk macam-macam, apalagi sampai mengkritik pemerintah. Apa yang disiarkan TVRI hanyalah semua kebaikan pemerintah di bawah kepemimpinan yang mana daripada Soeharto.
Masuk ke tahun 1989, stasiun televisi RCTI menjadi stasiun televisi swasta pertama yang hadir menyaingi TVRI. Butuh waktu beberapa tahun sebelum RCTI akhirnya disiarkan secara nasional, menyusul stasiun televisi swasta lain yang muncul belakangan.
Hari ini, di Indonesia setidaknya sudah ada belasan stasiun televisi yang mengudara secara nasional ditambah beberapa stasiun televisi lainnya yang hanya bisa ditangkap di frekuensi khusus. TVRI bukan lagi satu-satunya pilihan televisi seperti masa sebelum 1989.
Kondisi ini kemudian membuat orang mulai melupakan TVRI. Program acara yang jadul dan sangat terasa ketinggalan zaman terasa sangat aneh dan tidak cocok untuk masa sekarang. Apalagi untuk anak-anak yang lahir di tahun 90an dan setelahnya. Mereka bahkan tidak sadar kalau ada stasiun televisi bernama TVRI. Saking jadulnya stasiun televisi itu.
Andai saja TVRI bukan perusahaan pemerintah, pasti dia sudah lama gulung tikar. Hanya karena dia adalah perusahaan pelat merah dengan dukungan dana dari pemerintah, maka dia tetap bertahan. Meski terseok-seok tidak karuan. Menonton TVRI seperti membiarkan diri kita tersedot ke masa lalu. Seperti melihat museum.
Program acara yang ketinggalan zaman, ditambah dengan alat-alat penyiaran yang juga ketinggalan zaman, benar-benar jadi representasi kata jadul yang sebenarnya. TVRI kemudian seperti mati segan, hidup pun tak mau.
Berusaha Hidup Kembali
Tanggal 29 November 2017 adalah tanggal yang menandai usaha untuk bangkit kembali dari stasiun televisi pelat merah ini. Tanggal itu menjadi tanggal mulainya Helmy Yahya bertugas sebagai direktur utama TVRI. Helmy Yahya bukan orang baru di dunia televisi. Di akhir dekade 80an sampai 90an, lulusan University of Miami ini menjadi murid sang Ratu Kuis Ani Sumadi.
Bersama mentornya itu, Helmy Yahya menelurkan banyak sekali kuis yang mewarnai pertelevisian di Indonesia. Sebut saja kuis Serba Prima, Gita Remaja, Siapa Dia?, Aksara Bermakna, Tak Tik Bom, sampai Kuis Siapa Berani yang paling lama tayang di berbagai stasiun televisi dengan bermacam-macam nama. Bicara soal kuis di televisi Indonesia, Helmy Yahya adalah rajanya.
Alasan ini juga yang mendasari penunjukan dirinya sebagai direktur utama TVRI.
Angin segar memang ditiupkan oleh adik kandung Tantowi Yahya ini. Dia melakukan perubahan besar-besaran di tubuh TVRI. Dari peremajaan alat sampai mendatangkan acara-acara yang lebih segar. Bahkan, tahun 2019 lalu TVRI untuk pertama kalinya berhasil membeli hak siar Liga Inggris bekerjasama dengan Mola TV. Liga paling prestisius di dunia itu akan tayang di TVRI! Sesuatu yang lima tahun lalu bahkan dibayangkan saja tidak.
Selain Liga Inggris, TVRI juga memboyong hak siar untuk beberapa pertandingan bulu tangkis tingkat internasional. Mereka bahkan mengklaim diri sebagai Home of Badminton. Di sisi pengetahuan, TVRI juga bekerjasama dengan kanal pengetahuan yang sudah lebih mendunia seperti Discovery Chanel dan National Geographic. TVRI menayangkan beberapa mata acara produksi dua stasiun televisi itu.
Walhasil, TVRI seperti hidup kembali.
Gambar dan suaranya semakin enak di mata dan telinga, pilihan acaranya pun semakin memikat. Di akhir pekan, TVRI jadi pilihan banyak orang untuk menyaksikan para pesepakbola papan atas dunia berlaga di Liga Inggris. TVRI ramai kembali dilirik orang, TVRI seperti berusaha hidup kembali.
Helmy Yahya Dipecat
Tapi semua harapan itu sepertinya harus ditahan dulu. Tanggal 16 Januari 2020, Dewan Pengawas TVRI secara resmi memberhentikan Helmy Yahya sebagai direktur utama. Dengan demikian, karir sang Raja Kuis harus berakhir di stasiun televisi milik pemerintah itu.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas TVRI. Salah satunya adalah sorotan tentang penayangan Liga Inggris yang oleh ketua Dewan Pengawas – Arief Hidayat – dianggap tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
“Tupoksi TVRI sesuai visi-misi TVRI adalah TV publik, kami bukan swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa, prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris,” kata Arief Hidayat seperti yang diberitakan oleh Liputan6.com
Dalam surat resmi pemberhentian Helmy Yahya, ada beberapa acara lain yang juga disoroti dan dianggap melanggar aturan di dalam tubuh TVRI.
Dewas menilai Helmy melanggar beberapa Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) cfm UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Yakni asas ketidakberpihakan, asas kecermatan dan asas keterbukaan terutama berkenaan penunjukan/pengadaan Kuis Siapa Berani,” kata Arief Hidayat lagi.
Meski Helmy Yahya telah membuat pembelaan diri setebal 1.200 halaman, namun Dewas tidak merasa itu cukup. Mereka tetap mengetuk palu dan mengesahkan keputusan memberhentikan Helmy Yahya.
Memang Tidak Cocok
Sebagai orang luar, saya pastinya menyayangkan keputusan Dewas TVRI itu. Mereka seperti memutus harapan yang sedang dibangun oleh jajaran pengurus baru TVRI. Usaha untuk merombak wajah stasiun televisi tua itu seperti harus berhenti di tengah jalan dan harus dipaksa untuk kembali memasang wajah tuanya.
Saya tidak tahu urusan administrasi, apalagi administrasi di pemerintahan. Namun, bila memang alasan itu yang dijadikan pijakan untuk memecat Helmy Yahya, maka sepertinya memang TVRI tidak cocok untuk bersaing di dunia pertelevisian.
Dunia televisi itu dunia yang sangat dinamis dan butuh orang-orang kreatif. Orang-orang kreatif di manapun pasti akan sulit hidup di dunia yang terlalu dikekang birokrasi. Apalagi birokrasi yang rumit, kaku seperti kanebo kering. Mau mewujudkan kreativitas harus berurusan dengan banyak birokrasi dulu, melewati proses panjang sebelum disahkan. Sudah keburu basi itu ide.
Lalu, ada juga alasan seperti ini dari Dewas TVRI, “Seolah-olah Direksi mengejar rating dan share seperti TV swasta. Kita ada APBN harus bayar keluar negeri dalam bentuk hal ini BWF, Discovery, dan Liga Inggris, artinya uang rupiah kita APBN dibelanjakan keluar yang Presiden menyatakan dibatasi dan ini terjadi.”
Kalau sudah seperti itu maka jelas kalau orang seperti Helmy Yahya memang tidak cocok ada di TVRI. Dia pengusaha dan sudah lama berkecimpung di dunia kreatif, sementara TVRI adalah lembaga pelat merah yang harus patuh pada batas-batas yang sudah ditentukan. Apalagi kalau bicara soal APBN, uang negara. Pengeluarannya memang tidak bisa segampang uang milik swasta.
TVRI memang tidak cocok bersaing dengan televisi swasta lain di Indonesia, bahkan di dunia manapun. Dia harus dipisahkan dari stasiun-stasiun televisi lainnya. Dia harus berada di dunianya sendiri yang mungkin saja sudah ketinggalan zaman, tapi itu dunianya. Di sanalah dia cocok berdiri sendiri. Mungkin kesepian, berdebu atau bahkan dipenuhi sarang laba-laba. Tapi tak mengapa, karena memang dunia itu yang cocok buat TVRI.
*****
Jadi, tidak usahlah memperpanjang polemik kisruh Helmy Yahya vs TVRI karena memang itu tidak ada gunanya. TVRI tidak bisa mengikuti perkembangan zaman seperti stasiun televisi swasta. Dia televisi pelat merah yang punya banyak batasan yang kaku, tidak cocok di dunia industri kreatif yang dinamis dan terus berubah. Kasihan kalau dia harus dipaksa mengikuti tren dunia kreatif di industri televisi.
TVRI memang seharusnya dibiarkan menua dengan tenang, seperti kita membiarkan kakek-nenek kita menikmati masa tuanya. Tenang, jauh dari hingar-bingar. Sesekali bercengkerama mengenang masa jayanya dulu. Sekadar nostalgia. Sudah, biarkan saja. Kita kirim doa saja, semoga ketika akhirnya dia dipanggil Yang Maha Kuasa, semua amal ibadahnya diterima. [dG]
Kalau saya orang TVRI membaca artikel ta ini, pastimi mukaku merah semerah kepiting rebus.
Serasa ditampar berkali-kali.
Apalagi dengan kalimat penutupnya.
Tapi demi “kematian” yang hakiki ? saya mengaminkan doata.
tapi kalau untuk dewan pengawasnya, mereka kayaknya santai saja
Yang disayangkan, padahal TVRI ini secara infrastruktur termasuk yang maju. dia yang pertama menggunakan siaran digital. juga soal infrastruktur, dia punya jangkauan terluas. Tapi kalo sudah salah urus, ya pegimana.
Drama TVRI ini kok menurutku seperti drama-drama di Indonesia pada umumnya. selalu ada udang berbau amis di baliknya.
Infrastruktur bagus kalau manajemen jelek, ya jadinya kek gini. gak akan kemana-mana. untung kalau gak tutup. kalau swasta mah sudah lama gulung tikar kayaknya
Seorang teman yang bekerja di TV swasta pernah berkata ke saya “kalo di Makassar, TVRI mi itu yang paling lengkap dan canggih peralatannya dibanding TV swasta. Cuma begitumi”. Entah apa maksudnya.
iya, kalau alat di daerah pasti paling lengkap secara mereka dananya banyak
Mungkin yang sekarang di TVRI pengen balik lagi dengan siaran per daerah tanpa ada yang mau menonton. Sekarang orang mau nonton TVRI karena siarannya bagus-bagus. Nanti kalau sudah balik kayak dulu, biar kita kembali matikan TV hahahhahaha
makanya, TVRI seperti punya dunia sendiri
Saya biasa lupa kalau masih ada TVRI. Kalau bukan bapakku yang nonton, saya lupa tojeng mi.
Senangku waktu tahu Helmy Yahya jadi direkturnya. Ada harapan baru nih, pikirku.
Lalu …
Ah, sudahlah.
Meman TVRI tak cocok menjadi seperti TV swasta karena dia platnya merah sendiri. Biarlah dia tenang dan tetap disukai orang tua kita yang usianya 70 – 80 tahun.