France 98; Obat Mujarab Bagi Tragedi 98?
France 98 datang sebulan setelah tragedi Mei di Indonesia, buat sebagian orang France 98 adalah obat yang mampu membuat mereka melupakan beban hidup untuk sejenak.
Mei 1998, saya termangu di depan televisi. Gambaran kacaunya ibu kota waktu itu benar-benar menghantui. Bangunan terbakar, mobil hangus, api menjilat dan orang-orang yang berlarian membawa barang-barang hasil jarahan. Dengan cepat bayangan kejadian yang hampir sama setahun sebelumnya berkebelat di kepala. Makassar pernah mengalaminya, September 1997 dan hampir setahun kemudian Jakarta mengalaminya bahkan lebih parah.
Tragedi Mei 1998 adalah satu lembaran kelam dalam sejarah negeri kita yang berujung pada tumbangnya orde baru. Ratusan nyawa jadi tumbalnya, termasuk beberapa yang sampai sekarang tidak ketahuan rimbanya, tidak bisa kembali ke keluarganya dan bahkan tidak ketahuan nasibnya.
Dalam hiruk pikuk tragedi Mei itu terselip satu pertanyaan dalam kepala saya: bagaimana nasib tayangan langsung piala dunia 98? Bisakah kami duduk tenang menikmatinya? Saya akui saya sangat naif kala itu, tentu karena usia yang masih sangat muda. Saya masih fokus pada kepentingan pribadi, tidak mempedulikan perasaan korban. Saya masih sempat-sempatnya kuatir pada tayangan langsung Piala Dunia France 98 yang hanya berjarak sekisar sebulan dari tragedi Mei.
Dan ketakutan saya yang sangat egois dan naif itu tidak jadi kenyataan. Sebulan kemudian hampir semua orang Indonesia sudah larut dalam euforia Piala Dunia yang tahun itu digelar di Perancis. Tragedi Mei langsung sayup dalam semua pemberitaan media. Semua media memfokuskan energi mereka pada perjuangan para pesepakbola di tanah Perancis sana, mungkin ada yang masih membahas tragedi Mei 98 tapi saya yakin jumlahnya tidak seberapa banyak.
France 98 sendiri dibuka dengan keraguan orang akan kekuatan tim tuan rumah. Mereka punya banyak bakat hebat di dalamnya, mereka punya Zinedine Zidane yang mulai meroket bersama Juventus dan bahkan mulai disamakan dengan sosok Michel Platini legenda mereka di periode 80 dan 90an. Tapi, Perancis tidak punya striker mumpuni, kala itu hanya ada Christophe Dugarry yang jadi tulang punggung di barisan depan. Tapi Dugarry tidak sama dengan Raul Gonzales atau Ronaldo Da Lima yang kala itu duduk di jajaran penggedor elit.
France 98 juga jadi piala dunia pertama dengan format 32 tim, atau menambahkan 8 tim baru, sebagian besarnya adalah penambahan kuota dari benua Afrika dan Asia.
Jagoan saya kala itu adalah jagoan-jagoan yang secara tradisional sudah saya dukung sejak jaman masih berseragam putih merah. Belanda dan Italia tentu saja, disusul jagoan lain yang saya pilih hanya karena beberapa pemainnya saya suka seperti Spanyol dan belakangan Perancis. Satu per satu jagoan utama saya gugur, termasuk Italia yang secara menyakitkan kembali mengulang kebiasaan mereka, gugur dalam adu ketahanan mental di kotak penalti. Penggugur mereka kala itu adalah Perancis yang secara luar biasa perlahan tapi pasti menjadi makin solid.
Brazil sekali lagi jadi unggulan tentu saja. Mana pernah ada piala dunia yang tidak menempatkan mereka sebagai unggulan? Mana ada negara yang bisa menghasilkan pemain-pemain berbakat nyaris sepanjang tahun seperti Brazil? Dan mereka melaju nyaris mulus hingga ke babak final.
Di babak semifinal mereka menyisihkan jagoan saya, Belanda. Satu pertandingan yang membuat saya berdebar sedemikian rupa karena efek dramatisnya. Belanda menyamakan kedudukan menjelang akhir pertandingan dan memaksa Brazil untuk terus lanjut hingga babak adu penalti. Tapi Belanda memang seperti Inggris dan Italia, tidak punya mental yang cukup kuat untuk bertahan di adu penalti. Brazil lolos ke babak final dengan status sangat diunggulkan dibanding Perancis yang kala itu tertatih menuju final.
Saya menonton final bersama puluhan teman kantor, dari semuanya hanya saya dan satu lagi teman lain yang mendukung Perancis, sisanya adalah para pendukung Brazil. Bayangkan bagaimana kami berdua berteriak kegirangan dalam keheningan pendukung Brazil ketika dua kali Zinedine Zidane membobol gawang Brazil dengan kepalanya. Bayangkan juga bagaimana puasnya kami berdua menari-nari di tengah umpatan kesal para pendukung Brazil. Benar-benar pertandingan yang akan terus saya ingat dalam waktu sangat lama.
***
Piala dunia 1998 memang berlangsung hanya berjarak sekisar sebulan dari sebuah tragedi besar negeri ini. Entah ini adalah sebuah keuntungan atau malah kerugian. Untung karena bisa dengan segera menyembuhkan luka warga Indonesia, menyembuhkan kekhawatiran rakyat Indonesia setelah tragedi yang merenggut ratusan nyawa itu. Rugi karena ajang ini membuat banyak orang lupa pada tragedi yang sudah membuat ratusan keluarga menanggung perihnya kehilangan orang yang mereka cintai.
Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, kalau saja bulan Juni 1998 itu tidak ada piala dunia mungkinkah rakyat kita akan larut dalam depresi yang panjang? Mengingat kala itu ekonomi Indonesiapun turut terpuruk, nilai rupiah melemah sangat kuat, inflasi juga menguat dan banyak lagi persoalan ekonomi lainnya.
Di satu sisi saya bersyukur kala itu piala dunia datang berdekatan dengan tragedi yang menimpa negeri kita, terbukti kalau piala dunia jadi obat yang manjur untuk mengobati luka, derita dan depresi bangsa ini. Mungkin hanya sesaat, tapi setidaknya kala itu kita masih bisa bersenang-senang dalam euforia piala dunia dan sejenak melupakan beban hidup.
France 98 secara ajaib jadi obat penawar duka orang Indonesia kala itu. Mungkin hanya buat sebagian. [dG]