Di Antara Dua Nurdin


Dua Nurdin dari Sulsel. Keduanya pernah dan sedang tersandung kasus hukum. Keduanya mendapat respon berbeda dari masyarakat Sulsel perihal kasus yang menimpa mereka.


Tahun 2007 lalu, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Nurdin Halid atas dugaan kasus penyelundupan gula ilegal. Saat itu Nurdin Halid juga sedang menjabat sebagai ketua umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), sebuah jabatan yang sangat mentereng dan selalu diperebutkan banyak orang. Maklumlah, sepakbola adalah olahraga paling populer di Indonesia meski prestasinya ya begitu-begitu saja.

Ketika Nurdin Halid resmi menjadi tahanan negara, saya termasuk orang yang cukup berbahagia. Tidak terlalu berbahagia sampai bersorak riang, tapi cukup senang dengan keputusan ini. Selama ini orang – utamanya orang di Sulsel – sudah paham bagaimana pergerakan beliau. Dia hampir tidak pernah lepas dari yang namanya kontroversi, bahkan yang dekat dengan urusan hukum.

Bahkan tercatat seorang Baharuddin Lopa pun pernah mencoba mengusut laku culasnya, namun tak berhasil. Baharuddin Lopa keburu “ditarik ke pusat”. Konon, itu karena kedekatan Nurdin Halid dengan Cendana, pusat kekuasaan Orde Baru.

Jadi ketika merebak kabar Nurdin Halid akhirnya diputus bersalah dan harus mendekam di penjara, publik sepertinya tidak terlalu kaget. Sudah hal yang wajar, kata orang-orang. Sebagian malah menyesalkan, kenapa baru sekarang?

Nurdin Yang Lain

Tahun 2021 baru saja dimulai, bulan kedua belum juga tuntas tapi sebuah berita mengejutkan datang dari kota Makassar. Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dibawa Komisi Pemberantasan Korupsi ke Jakarta. Kabarnya, beliau dijemput di rumah dinasnya menyusul operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK kepada beberapa orang di sebuah rumah makan.

Tidak sampai 24 jam kemudian, KPK sudah menyiarkan kabar kalau Nurdin Abdullah resmi menjadi tersangka kasus korupsi infrastruktur. Sebuah kabar yang mengejutkan.

Berbeda dengan Nurdin yang satu, Nurdin yang ini punya citra yang sangat bagus. Dua periode memimpin Kabupaten Bantaeng, namanya meroket, menjadi perbincangan banyak orang. Dalam nada positif, tentu saja. Seorang akademisi, lulusan luar negeri, pengusaha sukses, dan akhirnya menjadi pemimpin daerah. Seperti sebuah kisah dongeng yang sangat indah.

Dalam dua periode kepemimpinannya pun dia terlihat berhasil mengubah Kabupaten Bantaeng. Wajah kabupaten yang dulu termasuk kumuh itu perlahan berubah menjadi sangat indah. Kedekatannya dengan banyak pengusaha Jepang ikut membantunya memperbaiki citra Bantaeng. Kepemimpinannya membawa harapan akan hadirnya seorang pemimpin baru untuk Sulawesi Selatan.

Harapan yang kemudian menjadi kenyataan di tahun 2019 ketika Pilkada Sulsel membuahkan hasil kemenangan untuk Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman, pasangannya. Sulawesi Selatan punya pemimpin baru, seorang akademisi, mantan profesor, dan sudah terbukti berhasil membawa perubahan untuk Bantaeng. Plus, jangan lupa dia juga pernah menerima penghargaan Bung Hatta Award sebagai salah satu kepala daerah yang gigih melawan korupsi.

Mimpi yang sempurna, kata Peter Pan.

Reaksi Berbeda

Tapi mimpi tetaplah mimpi. Ada saatnya kita harus bangun dan mendapati kalau mimpi itu berjarak dengan kenyataan. Dan itulah yang terjadi pada masyarakat Sulsel, utamanya yang dulu begitu menaruh harapan pada sosok Nurdin Abdullah.

Mimpi buyar. Pecah berkeping-keping. Citra yang terbangun selama belasan tahun, runtuh dalam semalam. Puja-puji seketika berubah menjadi kekecewaan, kalau tidak mau dibilang caci-maki.

Ketika Pilkada Sulsel digelar, saya berdoa dalam hati. Semoga bukan Nurdin Halid yang menjadi gubernur. Entah bagaimana saya harus menjawab pertanyaan teman-teman bila ditanya, “Koq bisa orang Sulsel memilih mantan koruptor jadi gubernur?”

Dan saya kemudian senang ketika akhirnya orang Sulsel terbukti masih sangat rasional. Mereka memilih Nurdin yang lain, Nurdin yang – saat itu – terlihat masih bersih dan membawa harapan. Buat saya Nurdin yang ini memang tidak sempurna, tapi setidaknya dia yang terbaik dari yang terburuk.

Lalu berita itu datang, dan saya terhenyak. Waduh! Ini artinya sama saja dong? Ibarat lepas dari mulut harimau, tapi jatuh ke mulut buaya. Nurdin yang ini ternyata bernasib sama dengan Nurdin yang itu, sama-sama tidak tahan godaan uang dan kekuasaan.

Tapi reaksi saya berbeda dengan reaksi ketika Nurdin yang itu terbukti bersalah. Kali ini ada kekecewaan dan sedikit rasa sedih yang menyelinap ke dalam hati. Kecewa karena ternyata saya salah berharap. Meski saya tahu Nurdin yang ini memang tidak sempurna dan tetap punya cacat, tapi saya tidak menyangka dia akan sebodoh itu. Jatuh ke lubang yang sama dengan Nurdin yang itu. Kekecewaan yang kemudian mengerek rasa sedih.

Bias Persepsi

Berbeda dengan Nurdin yang dulu, Nurdin yang ini sedikit membuat saya bias dalam melihat kasusnya. Catatan kinerja dan pencitraannya plus faktor lain membuat saya harus mengaku kalau saya sulit untuk benar-benar objektif melihat apa yang terjadi. Saya tidak benar-benar merasa kalau dia jahat, sudah menghianati amanah dan harapan warga. Masih ada sejumput rasa sedih melihat gambar dia memakai rompi oranye dan berdiri membelakangi kamera. Tapi saya juga tidak percaya kalau dia hanya “orang baik yang dijebak.” Tidak, tidak, dia tidak sepolos itu.

Namun, tetap saja saya merasa ada penilaian saya yang bias. Tidak sepenuhnya “mensyukuri” penangkapannya, seperti yang dulu saya rasakan waktu Nurdin yang satu tertangkap. Untuk kasus Nurdin yang ini, ada rasa kecewa dan sedih. Hanya sedikit, tapi tetap ada. Entahlah, mungkin itu karena citranya yang terlihat seakan-akan bersih dan mau bekerja untuk provinsi ini. Sehingga ketika itu terbukti sebaliknya, rasanya koq mengecewakan ya. Atau, mungkin juga karena ada faktor lain.

Terus terang saya sudah menduga dia akan dijegal kasus hukum. Tapi, saya mengira kasusnya akan disimpan lalu di-blow up menjelang pilkada gubernur. Tentu untuk menghambat jalannya maju ke periode kedua. Tapi ternyata saya salah, arisannya naik jauh lebih cepat dari yang saya bayangkan.

*****

Komisi Pemberatasan Korupsi sudah resmi menetapkan Nurdin Abdullah sebagai tersangka kasus suap, disangka melanggar hukum. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kekecewaan akan tetap ada, tentu saja. Itu manusiawi, menurut saya. Tapi kekecewaan itu tentu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa dia telah melanggar hukum, mengecewakan banyak orang. Sebuah kesalahan yang sangat berat dan sudah pasti akan merusak citranya, bahkan mungkin akan merusak karirnya.

Dari kejadian ini saya belajar bahwa citra dan kedekatan memang begitu mematikan. Keduanya bisa menghadirkan reaksi yang berbeda. Ketika Nurdin yang itu ditetapkan sebagai pesakitan, saya senang-senang saja. Toh citranya sebelum itu memang sudah tidak terlalu bagus, dan saya pun tidak punya kedekatan dengan dia. Tapi ketika Nurdin yang ini ditetapkan sebagai tersangka, ada rasa yang berbeda. Tentu karena citra dan kedekatan. Dua faktor yang sulit membuat saya menjadi 100% objektif.

Nasi sudah jadi bubur. Nurdin yang ini ditangkap karena kesalahannya sendiri, dan kesalahan itu bukan kesalahan ringan. Tidak ada jalan lain selain membiarkan langkah hukum berjalan. Tidak ada kata maaf untuk mereka yang menyalahgunakan kekuasaan dan uang rakyat. Siapapun itu. [dG]